Sabtu pukul tujuh, aku sudah berada di ruang kelas. Aku datang terlalu pagi padahal jadwal kuliahku baru nanti pukul sebelas. Tapi ini akhir pekan, semua orang rumah memilih kembali tidur setelah solat subuh, jadi daripada aku terlambat dan tidak bisa lagi mengisi daftar hadir karena absenku sudah empat, aku memilih berangkat pagi-pagi. Sesampainya di kampus, aku berencana untuk tidur sampai pukul sepuluh. Kampus sepi sekali pagi ini, karena memang hanya beberapa kelas yang begitu sial mendapat jadwal di akhir pekan.
Aku terbangun kaget saat mendengar suara wanita tertawa kencang sekali, rasanya aku baru tidur sebentar, tidak mungkin teman-temanku datang sepagi ini. Aku menoleh ke belakang dengan takut-takut, semoga tidak ada hal aneh. Semoga yang tertawa memang teman sekelasku.
Ku lihat perempuan berjilbab biru duduk di pojok belakang dengan fokus ke layar tabletnya. Sesekali tertawa tanpa perduli bahwa aku mengamatinya. Aku tidak kenal dia, siapa? Apakah anak kelas lain yang mengambil mata kuliah pengganti di kelasku? Aku mengamati cukup lama sampai akhirnya dia tersadar.
“Eh, maaf. Keganggu ya? Maaf ya.” Ucapnya sambil melepas headsetnya.
“Iya.” Ku jawab dengan raut wajah yang masih bingung.
“Gue Sinta. Harusnya sih kelas gue di sebelah, tapi karena belum ada yang dateng jadi gue takut mau masuk. Pas mau turun lagi, gue liat di kelas ini ada lo lagi tidur. Yaudah gue masuk aja. Habis capek kalau harus turun ke lantai satu lalu nanti naik lagi ke lantai empat.” Ia menjelaskan seolah mengerti bahwa aku bertanya-tanya dalam hati.
“Oh.” Aku menjawab datar bukan karena tidak suka tapi karena aku tidak tau harus merespon apa.
“Lanjutin aja tidurnya. Gue gak bakal ketawa keras-keras lagi kok hehe.”
“Eng, iya.” Sesungguhnya aku sudah tidak bisa lagi kembali tidur. Huh, padahal aku masih mempunyai waktu dua jam sampai pukul sepuluh.
“Kelas jam berapa?” Tanyanya dari belakang.
“Sebelas....” Belum selesai aku menjawab, ia sudah kembali merespon.
“Yampun, kok pagi banget datengnya. Udah sarapan? Gue punya roti kalau mau.”
Aku yang mendengarnya bingung. Hah? Kenapa tiba-tiba dia nawarin gue sarapan? Bahkan dia belum tau namaku.
“Engga usah, makasih. Oh iya, nama gue Dimas.” Jawabku yang akhirnya memperkenalkan diri.
“Oh oke, Dimas. Sorry ya jadi ngeganggu lo.”
Aku tersenyum datar. Lalu kami kembali sibuk dengan handphone kami masing-masing. Sebenarnya tidak ada pesan masuk di handphoneku, lini masa media sosialku juga tidak ada yang baru. Tapi situasi ini terlalu canggung untukku, hingga akhirnya aku memilih pura-pura sibuk. Sepertinya Sinta sendiri sudah kembali sibuk dengan tontonannya, entah apa yang ia tonton sampai membuatnya tertawa keras sekali sepagi ini.
“Dim, mau ikutan nonton gak? Dari pada bosen.” Tanyanya yang membuat ku kaget apakah dia bisa membaca pikiranku. Belum sempat kujawab, dia sudah menarik kursi di depanku untuk ia putar ke belakang dan meletakan tabletnya di kursi tersebut lalu duduk di sampingku.
“Pernah nonton gak?” Tanyanya sambil kembali memulai videonya yang ku jawab dengan menggelengkan kepala.
“Ya wajar sih, cowok mana suka sih ya sama Korean series gini. Tapi, ini lucu lho beneran deh. Mau nonton kan?” Tanyanya dengan nada yang seolah menyuruhku menjawab dengan iya.
“Boleh.” Aku pun ya mau gak mau akhirnya bergabung dengannya menonton series yang ia bilang lucu ini.
Tapi ternyata keputusanku untuk ikut menonton dengannya tidak buruk juga, Sinta benar saat ia bilang lucu meski ada beberapa bagian yang tidak aku mengerti, mungkin karena aku menontonnya tidak dari awal. Ku perhatikan Sinta yang menonton dengan begitu serius. Wajahnya mungil dan senyumnya manis, tawanya juga renyah dan begitu lepas, sepertinya ia pribadi yang menyenangkan.
Tunggu... aku sedang apa? Kenapa fokusku ke Sinta bukan series ini? Untung ia belum tersadar bahwa aku mengamatinya. Aku pun melanjutkan kembali fokusku pada series yang belum aku ketahui apa judulnya.
“Lucu kan, Dim?” Tanyanya saat episode series ini selesai.
“Iya, lumayan.”
“Judulnya Reply 1988, kalau lo mau nonton lagi. Punya Netflix kan? Ada kok di Netflix. Cuma 16 episode, satu episodenya cuma satu jam. Tadi itu episode 4. Coba deh tonton lagi, sebelumnya ada Reply 1997 sama Reply 1994 gitu, ceritanya tentang kehidupan-kehidupan pada tahun itu. Selain lucu, series Reply tuh selalu heartwarming banget. Jadi coba deh ditonton. Favorite gue banget Reply series ini tuh. Gak pernah nyesel deh kalo ditonton.” Jelasnya seakan bagian dari pembuat series ini.
“Oh gitu. Ok, Reply 1988 ya.”
“Iya. Gue balik ke kelas gue ya. Gue kelas jam sembilan nih.” Ucapnya sambil membereskan tablet, headset dan kursi.
“Bye, Dim. Sorry ya tadi.” Sinta berjalan keluar dari kelasku menuju ke kelasnya.
“Iya, gak apa-apa. Thanks ya.” Ucapku seadanya yang ia balas dengan senyum manis.
Selepasnya Sinta dari penglihatanku, aku menyadari bahwa perkenalanku dengan Sinta pagi ini lebih lucu dan Sinta sendiri lebih heartwarming dibanding series favoritenya.
Tulisan keduabelas untuk #30DaysWritingChallenge dengan tema Favorite TV Series.