"MAU KAMU APA SIH?"
Terdengar seseorang setengah berteriak dari sudut cafe ini. Dan hampir semua pengunjung, termasuk aku, yang tengah bersantai saat itu berpaling ke sumber teriakan tersebut. Ternyata seorang wanita, di depannya terlihat pria yang tengah terduduk diam, seperti sedang menahan sedih yang begitu dalam. Ia bahkan tak meminta wanitanya untuk tenang. Seperti ingin berkata, Marah lah sayang, setelahnya aku harap kamu mengerti.
***
Seketika ia meluapkan amarahnya tanpa perduli keadaan sekitarnya. Ia masih seperti ini, begitu mudah meluapkan perasaanya. Dan itulah yang membuatku begitu menyukainya.
"Mau kamu apa?" Ucapnya setengah berteriak seraya berdiri dari tempat duduknya.
Sontak semua pengunjung mengarahkan perhatiannya kepada kami. Aku hanya bisa diam dalam posisiku. Dibanding malu karena kini kami menjadi perhatian semua pengunjung, aku lebih malu terhadapnya. Aku paham sekali perasaanya, kecewanya pasti begitu dalam.
Aku tatap wajahnya dan seketika air mata deras mengalir di wajah mungilnya. Bahkan ia masih begitu cantik. Tenanglah sayang, duduklah terlebih dahulu. Hatiku berbicara.
Seakan mendengar hatiku berbicara, seketika itu pun ia kembali duduk. Aku genggam tangannya, namun air matanya menjadi semakin deras.
***
Aku kembali memalingkan pandanganku dari sejoli tersebut. Tak ingin begitu lama memperhatikannya, karena pasti mereka pun tak ingin menjadi bahan perhatian seperti itu. Namun karena posisiku tak jauh dari mereka, suara mereka masih dapat dengan jelas aku dengar.
Maksud hati untuk menghibur diri setelah suntuk dengan rutinitas sepanjang minggu, aku malah menjadi saksi pertengkaran sepasang kekasih. Hatiku berbicara sembari menertawakan diri sendiri.
Aku pun melanjutkan kegiatanku, aku kembali fokus dengan tulisanku. Berusaha melanjutkan untuk mengundang inspirasi yang pergi karena kegaduhan tadi.
"Kenapa kamu memilih pergi saat aku berusaha meyakinkan diriku untuk berusaha tetap bersamamu?" Dengan jelas pertanyaan tersebut terdengar di pendengaranku. Aku pikir itu adalah bisikan inspirasi, namun lagi-lagi sepasang kekasih tadi. Aku pun spontan memalingkan pandanganku kepada mereka lagi, seraya membuang nafas panjang.
***
"Kenapa kamu memilih pergi saat aku berusaha meyakinkan diriku untuk berusaha tetap bersamamu?" Kali ini ia bertanya dengan lembut. Namun pertanyaannya begitu menghujam hatiku amat dalam. Aku tidak tau harus menjawab apa. Segala usahaku untuk membuatnya benci kepadaku seakan berbalik kepadaku, seketika aku membenci diriku sendiri.
"Aku hanya ingin tidak ada lagi yang tersakiti. Apa kamu yakin kita akan tetap bahagia di saat orang di sekitar kita tersakiti hatinya?" Tanyaku dengan nada yang tidak tergesa-gesa.
"Dan kamu dengan yakin menyakiti hatimu sendiri." Jawabnya.
Jawabannya seakan membuat otakku berhenti berkerja. Mengapa ia menjadi begitu pandai meluluhlantahkan keyakinanku? Tanyaku sendiri.
"Sejak kapan hakikat cinta menjadi rela menyakiti diri sendiri?" Tanyanya lagi.
Aku semakin terdiam. Entah apa yang harus aku jawab.
"Silahkan lakukan keinginanmu itu. Jika kamu yakin memang tidak ada yang tersakiti. Sebelumnya, tanyalah pada hatimu, siapa aku untukmu? Dan lihatlah bagaimana keadaan hatimu setelah mengetahui jawabannya." Ucapnya lembut namun dalam.
Ia pun pergi dan menembakkan kembali segala peluru yang sedaritadi sudah berusaha aku tembakan kepadanya untuk membenci diriku. Kini, aku begitu membenci diriku sendiri.
***
Wanita itu pergi meninggalkan prianya yang masih terduduk diam. Aku yang memperhatikan mereka pun ikut terdiam karena pertanyaan terakhirnya. Siapa aku untukmu? Dan lihatlah bagaimana keadaan hatimu setelah mengetahui jawabannya. Pertanyaan tersebut seakan membawaku kembali pada beberapa waktu lalu.