Selasa, 29 Juli 2014

Jadi, Kapan Nikah?

0 komentar

H-1 Idul Fitri.

Gak kerasa udah sebulan Ramadhan dan besok kita sudah bersama-sama merayakan Idul Fitri atau lebaran. Banyak teman-teman yang mungkin sudah diperjalanan mudik ke kampung halaman. Bersiap merayakan lebaran dengan keluarga tercinta. Namun, rasanya untuk teman-teman seusia saya dan yang satu sampai lima tahun lebih tua dari saya, lebaran di kampung halaman terkadang menjadi hal yang berat ketika pertanyaan 'khas lebaran' berkumandang dimana-dimana. Ya, apalagi kalau bukan, "jadi, kapan nikah?", "calonnya mana?", "kok masih single aja." bla bla bla bla

Saya yang gak ngerasain mudik saja, terkadang sering juga ditanyakan hal semacam itu. "Kok pacarnya gak silahturahmi?" Saya kadang jengkel. Ya gimana engga jengkel kalau mereka sesungguhnya tau sudah dua tahun saya putus. *sigh*

Wajar sih memang kalau mereka bertanya, mungkin mereka terlalu sayang kepada kita hingga tak ingin membiarkan kita menikah terlambat--walaupun menurut saya tidak ada kata terlambat dalam menikah.

Mengapa?

Bagi saya, menikah ibarat menuntut ilmu. Tidak ada kata terlambat bukan bagi seseorang yang ingin menuntut ilmu? Bahkan Rasul pun menyampaikan tuntutlah ilmu sampai akhir hayat. Pun hal yang sama dengan menikah.

Dalam menuntut ilmu tersebut, tentulah kita tidak sembarangan mencari pengajar. Kita selalu berusaha mencari yang terbaik. Juga begitulah dalam mencari pasangan hidup. Bagi saya, pasangan hidup haruslah yang terbaik. Karena kelak, melalui dia lah saya berjalan menuju surga, begitu pun sebaliknya.

Bagi saya, menikah bukan perkara kemapanan harta, melainkan juga kemapanan hati. Bagi saya, menikah bukan perkara secepat apa, melainkan selama apa pernikahan tersebut dibina.

Beberapa teman, menikah hanya berbekal kesiapan hati. Beberapa lagi, memilih mundur walau telah memiliki calon yang mapan. Beberapa juga, masih menikmati masa sendirinya. Tak ada yang salah, ketiganya memiliki alasannya sendiri.

Karena menikah bagi saya adalah satu hal sederhana yang sangat 'mewah'. Yang mesti saya persiapkan dengan hati-hati.

Kamis, 24 Juli 2014

Sulung

0 komentar

Berat ya jadi anak pertama...

Kalimat tadi baru saja saya ucapkan untuk seorang teman yang sedang berbagi cerita mengenai tanggung jawab sebagai seorang gadis sulung. Ya, semua sulung pasti juga tau bagaimana rasanya mengemban julukan ini. Dilahirkan menjadi seorang sulung juga berarti dilahirkan sebagai calon penanggung jawab sebuah keluarga.

Menjadi sulung, sungguhlah bukan perkara mudah. Apalagi jika Ia jugalah seorang wanita. Mungkin itu yang saya sendiri rasakan. Menjadi sulung untuk sebuah keluarga. Ya, walaupun keluarga saya hanya terdiri dari ayah, ibu dan seorang adik. Juga walalupun kedua orang tua saya tak pernah melimpahkan tanggung jawabnya kepada saya. Namun, tetaplah, keluh-kesah tak pernah lepas.

Engga boleh egois mikirin diri sendiri...

Begitulah teman saya bilang. Dan saya sangat setuju. Kami—sebagai seorang sulung—memang ditakdirkan untuk terkadang menyampingkan keinginan diri sendiri. Terkadang kami juga harus siap menunda bahkan membenam mimpi kami sendiri agar mampu melihat mimpi adik-adik kami mencapai semua mimpi-mimpinya.

Dilahirkan menjadi sulung seperti dilahirkan menjadi seoarang diploma. Ya, kami diharuskan mampu memiliki kemampuan diplomasi untuk menjadi penengah yang baik. Menjadi sulung juga diwajibkan menjadi seorang pendengar yang baik. Kami diwajibkan untuk tidak memihak. Tidak membela siapapun. Dan tidak menggurui siapapun. Inilah hal terberat bagi saya menjadi seorang sulung.

Tapi,

Bersyukurlah menjadi sulung. Karena itu menandakan Tuhan percaya kami—para sulung—mampu dengan segala tanggung jawab yang ada. Dan saya sangat bersyukur, karena Tuhan menyediakan kado terindah untuk seorang sulung setelah semua tanggung jawabnya, yaitu  senyum bahagia keluarganya.

Rabu, 09 Juli 2014

Happy Election Day, IndONEsia!

0 komentar

Dua bulan lalu, pada pemilu legislatif saya memutuskan untuk tidak memakai hak suara saya. Dengan alasan tidak adanya calon wakil rakyat yang mampu membuka kebutaan saya akan politik dan mampu saya percaya untuk menaruh harapan pada mereka.

Dan hari ini, pemilu presiden tiba. Jujur, sampai hari ini--sebelum akhirnya saya memutuskan untuk menulis postingan ini--saya belum memutuskan untuk mendukung satu diantara dua calon. Saya berniat untuk lagi-lagi golput. Dengan alasan yang tak jauh berbeda dari sebelumnya; tak ada yang mampu membuka kebutaan saya akan politik dari visi dan misi yang mereka ajukan.

Sedari awal diumumkannya dua calon tersebut, saya ragu apakah mereka--yang terpilih nantinya--akan benar-benar mampu untuk memberikan perubahan kepada Indonesia--dengan segala visi dan misi mereka? Saya sudah cukup kecewa dengan pemerintah periode 5 tahun ini. Saya begitu berharap Indonesia akan menemukan sosok yang mampu membawa perubahan tersebut menjadi nyata, tak hanya janji semata. Namun, dengan hanya terpilih dua calon, harapan itu pupus--di awalnya.

Selama masa kampanye, tak ada satupun yang mampu membuat saya yakin untuk mendukung salah satu dari dua calon. Ditambah selama kampanye, banyak pendukung keduanya yang saling menjatuhkan. Saling menjelekkan. Saling hina. Saling benci. Saling maki. Membuat saya muak.

Beberapa kali saya memutuskan untuk membaca berbagai tulisan mengenai profil keduanya. Berharap saya mampu menjatuhkan pilihan. Namun, lagi-lagi, yang saya dapat hanya tulisan berat sebelah. Yang selalu berakhir pada mengungkit kesalahan yang kiri ataupun memfitnah yang kanan. Media pun seolah hanya mampu menyebarkan keunggulan satu pihak.

Sungguh saya muak.

Namun sungguh, kali ini saya ingin sekali memilih. Satu diantara dua. Dengan harapan Indonesia yang lebih baik. Satu diantara dua, Bapak Prabowo dengan segala kesalahan dan rekam jejak masa lalunya atau Bapak Jokowi dengan segala keberhasilan memimpinnya. Saya tidak mudah begitu saja memilih satu diantara mereka. Banyak hal yang membuat saya ragu, ditambah banyak pendukung mereka merupakan orang-orang yang sangat tidak saya suka.

Sampai akhirnya hari ini, ada keyakinan yang begitu saja muncul dalam hati saya untuk menyerahkan harapan saya pada Beliau. Entah, saya menjadi percaya--setidaknya saya akhirnya mampu untuk percaya--kepada Beliau.

Dan Bismillah, dengan penuh harap..... saya memilih #Satu untuk Indonesia satu.

Mengapa Bapak Prabowo?

Selain keyakinan yang begitu saja muncul dalam hati saya di detik-detik pemilu ini. Dengan segala rekam jejaknya di masa lalu, masa jaya nya sebagai tentara kemudian keterpurukan dan kebangkitannya lagi. Saya rasa saya tak perlu membeberkan lagi cerita masa lalunya. Semua orang sudah tau dan seolah merasa sangat paham betul apa yang terjadi pada dirinya. Kesalahan yang mereka katakan tak termaafkan. Kesalahaan yang menurut mereka tak perlu diberi kesempatan untuk berubah.

Ya, dengan akhirnya memutuskan untuk memilih Bapak Prabowo, saya memberi Beliau kesempatan untuk berubah memperbaiki diri dan juga untuk melakukan perubahan untuk Indonesia. Saya berharap, jika Beliau terpilih sebagai Presiden selanjutnya, Beliau mampu untuk mengembalikan lagi keyakinan rakyat Indonesia yang telah terluka karena kesalahannya. Saya berharap, jika Beliau terpilih, Beliau mampu membuat kita semua belajar untuk tak melulu mencap seseorang karena masa lalunya. Biarlah kita terlebih dulu memberikan kesempatan untuk Beliau--dan atau orang-orang dengan kesalahan masa lalu--untuk berubah. Saya yakin, masa lalu tersebut juga bukan hal yang mudah untuk Beliau. Tapi, melihat Beliau mampu bangkit dari keterpurukan masa lalunya, saya yakin--dan semoga keyakinan saya tidak disalahgunakan--Beliau mampu belajar dari masa lalunya tersebut untuk terus dan terus menjadi seseorang dan juga pemimpin yang lebih dan lebih baik.

Ya, semoga saja.

Mengapa tak Bapak Jokowi?

Pak Jokowi dengan segala keberhasilannya dalam masa kepemimpinannya memang menjadi angin segar untuk Rakyat Indonesia, terlebih lagi sosok beliau yang sederhana dan sangat merakyat. Sungguh pemimpin yang sangat Rakyat Indonesia rindukan. Lalu, mengapa saya tak memilih Beliau? Ada banyak hal, yang membuat saya menunda untuk memilih Beliau. Ya, saya bukan tidak memilih Beliau namun saya menunda. Pak Jokowi ibarat kepompong yang kelak akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang sangat indah. Sebelum menjadi kupu-kupu, biarkan Beliau bermertamorfosis secara alami. Tanpa campur tangan manusia lainnya. Ya, begitulah pemahaman saya tentang Bapak Jokowi. Saya tak ingin Beliau, pemimpin yang begitu sukses sejauh ini, menjadi 'kuda tunggangan' untuk permainan politik mereka yang menjadikan Beliau 'kupu-kupu' paksaan.

Kita semua tau, siapa yang memberikan perintah--atau mungkin bahasa halusnya tawaran--untuk Beliau maju menjadi Capres.

Ya, begitulah menurut pendapat saya.

Namun, siapapun Presiden yang terpilih, semoga kelak kita tak malah perang saudara karena kekalahan calon yang kita dukung. Bagaimanapun, kita Satu Bahasa, Satu Nusa, dan Satu Bangsa..... Indonesia. Siapapun Presiden terpilih, saya percaya ada banyak hal yang mampu ia ubah dari Indonesia menuju yang lebih baik, menuju negara yang mandiri yang lebih sejahtera juga damai.

Dan selamat berpesta demokrasi, Indonesia!!

 

cinderlila's diary Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template