Sabtu, 05 Oktober 2013

Angkasa...-3-

0 komentar

Thi, ada yang mau gue omongin. Bisa ketemu sepulang kerja?

Aku baca pesan singkat dari Angkasa. Seperti biasa, walau sebenarnya ada banyak hal yang harus aku kerjakan namun kali ini aku tidak bisa lagi menolak permintaan Angkasa untuk bertemu. Sebelumnya, sudah hampir tiga kali aku menolak bertemu. Bukan karena tak ingin--sejujurnya entah mengapa akupun sedikit merindukannya--namun beberapa minggu ini, aku terlalu sibuk berkutat dengan proposal bisnis yang sedang aku kerjakan--demi mimpiku.

Bisa. De'Saphire ya. Traktir.

Balasku untuk pesan singkatnya. Entah mengapa, setelah Ia mengakui perasaannya, aku menjadi lebih nyaman untuk bertemu dengannya. Aku sendiri jika ditanya bagaimana perasaanku terhadapnya, masih tidak tau harus menjawab apa. Selama ini aku masih tak mau begitu serius menaruh hati untuk seseorang. Aku tak lagi ingin patah hati.

Sepulang kerja, kami pun bertemu. Angkasa menggunakan kemeja lengan panjang garis abu-abu yang lengannya ia gulung sesiku. Celana bahan hitam dan sepatu abu-abu. Tetap menggunakan kacamata--yang menurutku merupakan salah satu daya tariknya. Sepertinya Ia baru saja mencukur rambutnya, tak seperti terakhir kali kami bertemu, kali ini Ia terlihat begitu rapih.

"Kok tumben rapih? Dari mana?" Sapaku yang tanpa basa-basi.

"Sesekali rapih, biar lo tertarik." Jawabnya sambil tersenyum. Seketika kurasakan pipiku menghangat.

"Mau bicarain apa? Kalau minta gue baca naskah, belum bisa. Proposal belum selesai." Ucapku mengalihkan pembicaraan sebelum pipiku memerah karena jawabannya. Entah mengapa, belakangan ini Angkasa berubah, sikapnya menjadi lebih dewasa. Tutur bahasanya pun berbeda, terdengar begitu menenangkan.

Aku dan Angkasa memang tak pernah intensif berkomunikasi, tapi selalu ada banyak hal yang mampu membuat kami bertukar pikiran. Seperti waktu kami bertemu seusai aku menghadiri pernikahan rekan kerjaku.

***

Kala itu, datang-datang aku menggerutu, "Resepsi kok ya mahal banget sekarang." Seraya merebahkan diri di kursi dan meletakkan brosur resepsi yang aku bawa di atas meja.

"Memang lo mau nikah sama siapa sih? Datang-datang gerutuin biaya resepsi." Jawabnya.

"Ya sama jodoh gue nanti. Abis gimana dong, gue kan kasian sama calon gue nanti. Mau nikahin gue yang imannya belum benar gini aja mesti ngeluarin uang ratusan juta cuma untuk dua jam." Jawabku dengan raut wajah serius. Entah mengapa kala itu, aku bisa seserius itu.

"Lho, itu bentuk pengorbanan calon lo nanti. Gak ada kata mahal untuk sesuatu yang memang sudah kita idam-idamkan. Apalagi kalau berurusan dengan hal baik." Jawabnya tak kalah serius.

"Pengorbanan kan bisa dalam bentuk lain. Resepsi mewah yang mahal itu kan cuma beberapa jam. Kenapa tidak dialihkan untuk hal lain? Untuk kepentingan jangka panjang kedua belah pihak?"

"Kalau mampu, kenapa engga? Pernikahan kan hal yang begitu kita inginkan."

"Justru karena mampu, selagi mereka mampu, kenapa dana ratusan juta itu tidak mereka alokasikan untuk hal lain? Untuk investasi masa depan mereka, menikah bukan hanya untuk resepsi. Akan banyak hal tak terduga di depannya, selagi mampu, akan lebih bijak jika mereka berpikir tentang hal tersebut. Hidup berputar. Sekarang mampu bisa saja besok tidak." Jawabku menggebu-gebu. Angkasa tersenyum.

"Pemikiran lo benar. Tapi, apa lo engga mau merayakan dengan meriah sesuatu hal yang hanya satu kali lo rasakan?" Tanyanya.

"Dibanding merayakan secara meriah juga mewah, gue lebih ingin sederhana juga khidmat. Pernikahan itu sakral. Gue lebih ingin merasakan kesakralannya, dibanding kemeriahannya. Gue percaya, setelah itu akan banyak hal meriah yang akan terjadi bersama suami dan anak-anak gue nanti." Jawabku. Angkasa tak menjawab apa-apa, ia hanya tersenyum, seakan puas mendengar jawabanku.

***

"Gue engga mau bicarain naskah kok. Thi, sebelumnya gue minta maaf kalau ini bukan waktu yang tepat menurut lo, tapi gue engga mau bermain dengan waktu." Ucap Angkasa serius.

"Thi, kita sama-sama saling kenal. Dan setiap pertemuan, ada banyak hal yang bisa gue pelajari dari lo, dari sudut pandang yang sangat berbeda dari gue. Lo pun tau bagaimana perasaan gue ke lo. Gue paham dan mengerti prinsip lo untuk tidak bermain-main dengan perasaaan." Angkasa semakin serius. Raut wajahnya seakan sedang ingin meyakinkanku.

"Kita udah sama-sama dewasa, bukan umurnya lagi untuk sekedar have a fun dalam menjalin hubungan. Selama ini, gue masih engga tau perasaan lo. Hari ini, gue mau bertanya tentang itu. Apa lo juga punya perasaan yang sama?" Tanya Angkasa yang seketika membuatku terdiam.

Aku bertanya kepada hatiku sendiri. Apakah Angkasa memang ada di sana? Apakah aku pun merasakan yang juga Ia rasakan?

"Apa gue boleh tau perasaan lo?" Tanya Angkasa begitu serius.

"Kalau boleh jujur, gue bahagia bisa kenal dan berbagi banyak hal sama lo. Selama ini gue nyaman berhubungan, berbagi pemikiran sama lo." Jawabku tak ingin begitu terbuka menjawabnya--walau sepertinya aku juga merasakan hal yang sama dengannya.

"Thi, apa gue boleh datang dan meminta langsung dari kedua orang tua lo untuk menjadikan lo istri gue?" Angkasa bertanya dengan nada yang begitu dalam dan serius. Selama mengenalnya, baru kali ini aku mendengar dan melihatnya begitu serius. Aku pun terpana dengan pertanyaannya. Tak menyangka bahwa Ia akan bertanya seperti itu.

***to be continued***

 

cinderlila's diary Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template