Rabu, 07 Oktober 2020
Day 24; Melepaskan
Selasa, 06 Oktober 2020
Day 23; A Letter to You
Hai!
Apa kabar? Semoga kamu selalu dalam keadaan baik, sehat dan bahagia ya. Setiap hari sih saya doain kamu supaya selalu dilindungi Tuhan, selalu sehat, dan selalu bahagia. Saya sih yakin Tuhan menjaga kamu dimanapun kamu berada. Saya bingung sebenarnya mau nulis apa, secara Tuhan masih belum ngenalin kamu ke saya. Kalau gitu, saya cerita aja ya? Siapa tau kamu baca, ya kalau pun kamu gak baca saya bisa nunjukin ini ke kamu kalau Tuhan akhirnya ngenalin kamu ke saya.
Hari ini, 06 Oktober 2020, hari keduapuluh tiga saya ikutan #30DaysWritingChallenge sembari mengisi PSBB full kedua, tema hari ini "A Letter to Someone, Anyone." dan tiba-tiba saya kepikiran mau nulis surat buat kamu aja meski saya gak tau apakah ternyata kamu baca di hari yang sama saat tulisan ini saya terbitkan, atau baru saya tunjukin ke kamu beberapa bulan kemudian atau bahkan kamu gak pernah tau kalau tulisan ini ada karena waktu saya atau kamu sudah terlebih dulu habis. Saya sih tetap berharap Tuhan memperkenalkan kita sebelum waktu kita habis.
Hmmm... Saya bingung nih mau cerita dari mana, sama seperti pertemuan kita pertama nanti, mungkin saya akan lebih banyak mengamati meski bisa juga kamu akan capek denger saya ngomong karena ternyata kamu bisa langsung bikin saya nyaman untuk bercerita.
Saat ini, kamu penasaran gak sih siapa saya? Soalnya saya penasaran kamu kira-kira siapa ya? Satu yang saya yakini, kamu adalah pilihan terbaik yang Tuhan ijinkan masuk menjadi bagian hidup saya. Semoga kamu juga menganggap saya adalah pilihan terbaik dari Tuhan ya. Meski saat ini saya punya banyak banget kekurangan, tapi saya pastikan kelak kita bisa saling menyempurnakan ya.
Saat nulis tulisan ini, kebetulan hujan lagi turun dan playlist saya secara acak memainkan lagu Marry Your Daughter - Brian McKnight Jr. Seperti lirik lagunya, kelak kamu gak perlu nervous saat ketemu Ayah saya, beliau galak sih tapi sama saya doang, beliau pasti ada di pihak yang sama dengan kamu. Jadi, tenang aja. Ibu saya juga pasti sayang banget sama kamu, secara kayaknya yang lebih menantikan kehadiran kamu itu beliau dibanding saya.
Akhir-akhir ini, saya lagi banyak belajar. Belajar mengontrol emosi saya. Belajar merespon segala sesuatu yang terjadi di hidup saya. Saya juga masih berusaha belajar untuk terus menyayangi dan membahagiakan diri saya, agar kelak ketika Tuhan kenalin saya ke kamu, saya punya cukup kasih dan kebahagiaan yang bisa saya bagi ke kamu. Karena sejatinya, buat saya, kelak ketika saya hidup bersama kamu, saya bukan hanya mencari kebahagiaan tapi juga berbagi kebahagiaan.
Kamu lagi sibuk apa akhir-akhir ini? Saya lagi sibuk bolak-balik dapur mini saya, bereksperiman dengan bahan-bahan yang ada tentunya dengan contekan resep yang ada di online. Saya sedang menemukan kebahagian saya dari dapur, ternyata menyenangkan ya ketika hasil tangan saya disantap habis tak bersisa meski kadang ada aja anehnya hehe semoga ketika kelak sama kamu, saya udah lebih pro ya jadinya kamu gak perlu ngeliat bentuk churros saya yang abstrak atau makan sayur sop saya yang keasinan.
Cerita saya sampai sini dulu ya. Sisanya saya ceritain langsung aja nanti saat Tuhan udah ijinkan kita bersama. Baik-baik ya. Jaga kesehatan. Semangat kerjanya!
Sampai jumpa diwaktu yang tepat.
Salam,
Lila.
Senin, 05 Oktober 2020
Day 22; Yang Begitu Pasti
Sebenarnya tulisan untuk hari ini sudah saya buat dan bahkan sudah saya terbitkan. Tapi saat saya pulang menuju rumah, saya tiba-tiba terbesit satu pertanyaan untuk diri saya sendiri “Kenapa saya begitu semangat memperbaiki diri untuk menemukan belahan hati, jika nyatanya ada yang lebih pasti menghampiri yaitu mati?”
Sebelumnya saya mau kasih tau, saya gak hanya nulis tulisan ini untuk #30DaysWritingChallenge tapi juga semoga selalu menjadi salah satu pengingat untuk saya bahwa tidak ada yang lebih pasti dari kematian.
Kalau saya ingat-ingat, Tuhan pernah menegur saya, membuat saya begitu takut akan mati. Saat itu saya bahkan takut jika saya tidur saya gak akan bisa bangun lagi yang membuat saya berhari-hari tetap terjaga. Saat itu perjalanan menuju dan dari kantor selalu penuh cemas, bahkan mendengar suara deru motor mendekat saja bikin saya lemas karena saya takut tertabrak lalu mati.
Lalu kenapa sekarang saya begitu percaya diri, bahwa yang akan lebih dulu menghampiri adalah belahan hati? Bukan mati? Di saat saya bahkan tidak tau apakah setelah menerbitkan tulisan ini, saya masih punya kesempatan untuk kembali berjumpa dengan pagi?
Bodoh banget ya saya.
Semoga Tuhan gak hanya kasih saya kesempatan meninjau ulang kembali alasan saya memperbaiki diri. Tapi semoga Tuhan masih kasih saya kesempatan untuk benar-benar mempersiapkan diri jika kelak kematian datang menghampiri.
Day 22; Raka
Raka
Gak perlu gimana-gimana, Sa.
Syukurlah kalau kamu udah bisa lupain aku.
Kamu baca chat aku aja ya, Sa.
Baik-baik ya.
Minggu, 04 Oktober 2020
Day 21; Cinta
Sabtu, 03 Oktober 2020
Day 20; My Celebrity Crush
Kalau kalian sudah kenal saya dari sepuluh tahun lalu, pasti kalian tau banget siapa My Celebrity Crush yang akan saya bicarakan hari ini. Saya sebenarnya sudah lama gak terlalu mengikuti dia lagi, kayaknya sejak dua tahun lalu, cuma satu kali saya nonton konsernya dia. Saya juga sudah kurang mengikuti project dan kegiatannya, paling hanya dari updatean teman-teman yang juga ngefans sama dia aja. Kayaknya karna saya lagi nemuin hal menarik lainnya, meski kalau ditanya “mau nonton konsernya lagi gak?” saya bakal tetap jawab mau—kalau ada rejekinya 😁
Jadi, siapa dia?
Namanya Jung Yong Hwa, vocalist, guitarist, rapper dari satu BAND—band lho ya yang pakai alat musik—Korea bernama CNBLUE. Saya tau dia awalnya dari Drama Korea yang ia bintangi—iya, dia actor juga. Meski di drama itu dia hanya Second Lead tapi kok saya kepincut ya? Yang ternyata jadinya malah keterusan :)))
Kalau kalo tau gimana saya ngefans sama dia, mungkin bakal bikin geleng-geleng kepala. Gaji saya saat pertama kali kerja, saya belikan tiket konsernya di Jakarta (2011) yang ternyata berujung batal dan uang saya gak kembali bahkan sampai hari ini 😆 dan setelahnya gak usah ditanya.
Tapi kalau kalian pikir karena ngefans sama dia saya cuma hura-hura, kalian salah. Karena ngefans sama dia, saya jadi lebih rajin kuliah biar bisa cepat lulus, kerja terus sampai akhirnya saya (dan dua teman saya) bisa mendirikan @jalaninajadulu_tour dan bertahan selama tiga tahun sebelum akhirnya pandemi dan kami gak lagi beroperasi. Selain itu, saya juga jadi banyak punya kenalan yang awalnya kenal karena sama-sama ngefans malah bisa jadi rekan bisnis, koneksi saya untuk pekerjaan dan hal-hal positif lainnya.
Meski sekarang saya kurang mengikuti dan gak sengefans dulu, tapi kayaknya kalau ada yang tanya siapa sih artis yang lo suka? Saya bakal tetap jawab Jung Yong Hwa. 😄 Ditulis untuk #30DaysWritingChallenge hari ke duapuluh dengan tema Your Celebrity Crush.
Jumat, 02 Oktober 2020
Day 19; My First Love
Kamis, 01 Oktober 2020
Day 18; Thirty Facts about Myself
Rabu, 30 September 2020
Day 17; Ways to Win My Heart
Hari ketujuhbelas #30DaysWritingChallenge, ternyata saya sudah melalui setengah dari Challenge ini tanpa absen. Tema hari ini adalah “Ways to Win My Heart” duh sesungguhnya saya malas sekali dengan tema ini.
Kayaknya tulisan ini akan jadi tulisan tersingkat saya, gak tau saya gak bisa basa-basi tentang tema ini. Udah ya langsung aja sini saya kasih tau kamu, meski saya gak tau nih apakah ada seseorang yang memakai kisi-kisi ini untuk memenangkan hati saya, tapi yaudah lah ya karena kebetulan ini juga temanya.
Kelak kalau kamu memang ingin memenangkan hati saya, kamu gak perlu membelikan saya barang-barang sebagai hadiah ataupun memberikan saya kejutan-kejutan romantis, kamu juga gak perlu 24/7 ada dan selalu bersama saya, kamu bebas menikmati waktumu bersama hobi atau teman-temanmu.
Cukup pastikan kamu adalah orang pertama yang mengulurkan tangan untuk saya, saat saya kembali berada pada titik terbawah saya. Kamu adalah orang pertama yang memeluk saya, saat sedih tiba-tiba menyirnakan ceria saya. Kamu adalah orang yang akan selalu mengapresiasi sekecil apapun hal yang saya lakukan. Dan kamu adalah orang yang akan selalu menyempatkan waktumu untuk mendengarkan cerita dan pikiran-pikiran random saya.
Sudah, sesederhana itu. Kamu auto dapat “medali emas” dari saya. Hehe
Selasa, 29 September 2020
Day 16; Someone I Miss
Pukul satu dini hari, aku sudah berusaha memejamkan mata dari pukul sepuluh, namun kantuk tak jua datang dan membiarkan pikiran-pikiranku semakin ramai dan membuat hatiku kian gusar.
Sesungguhnya aku sudah sangat letih hari ini, sepulangnya dari kantor aku hanya ingin tidur, membiarkan otakku beristirahat setelah dipakai bekerja di akhir pekan. Namun sudah tiga jam aku berusaha memerintahkan seluruh tubuhku untuk beristirahat, tak mereka turuti. Otak dan hatiku lagi-lagi sepertinya sedang melakukan diskusi yang akan selalu berakhir tanpa kesepakatan. Mereka rasanya selalu berjalan sendiri-sendiri. Aku bahkan seperti sudah tidak memiliki kendali atas mereka yang seringkali ribut sendiri.
Entah sudah berapa kali aku membuka tutup aplikasi di handphoneku. Tak ada yang menarik, namun berkali-kali aku ulangi. Sampai kemudian aku membuka satu media sosial yang sudah lama sekali tidak aku gunakan, seketika aku terdiam, membaca satu nama yang sudah lama sekali aku hindari dari berbagai bentuk komunikasi, di bawah namanya tertulis pesan yang begitu membuat hatiku sesak.
Raka Yesterday
Aku kangen kamu 20
Ragu-ragu aku buka pesan darinya. Hatiku semakin sesak mendapati pesan yang sama ia kirimkan berkali-kali sejak beberapa waktu lalu, waktu yang sama saat aku akhirnya memutuskan untuk tak lagi berusaha lebih atas hubungan kita. Waktu yang sama saat aku akhirnya memberanikan diri untuk menghapus "kita" dari memoriku.
Kamu tau Ka, andai pesan pertamamu kuterima lebih cepat, mungkin sudah dengan cepat kubalas "Aku juga kangen kamu." Mungkin, sudah kubanjiri notifikasimu dengan pesan-pesan bahagia dariku untukmu seperti yang selalu aku lakukan, dulu. Mungkin, "kita" masih kubiarkan tinggal di memoriku.
Namun mungkin, jika pesan pertamamu kuterima lebih cepat, kamu tidak akan pernah merasakan bagaimana pedihnya diabaikan saat kamu benar-benar merindukan.
Ka, terima kasih sudah membiarkan aku mengetahui aku tak merindu seorang diri. Tapi, Ka, rinduku sudah terbiasa tanpamu. Semoga rindumu pun segera terbiasa tanpaku.
Ku putuskan untuk membatalkan pesan yang telah kutulis untuknya. Bukan karena aku tak menghiraukannya tapi aku paham betul bahwa menurutnya “hilang” lebih dapat membuatnya tenang.
Ditulis untuk #30DaysWritingChallenge hari keenam belas, dengan tema Someone I Miss.
Senin, 28 September 2020
Day 15; If I Could Run Away
Kita beneran gak bisa ya? Kita pindah aja ke tempat yang gak ada yang kenal kamu sama aku.
Berkali-kali aku dengarkan voice note dengan suara lirih yang membuat hatiku perih mendengarnya. Aku tidak tau harus membalas apa. Aku tidak dapat menjawabnya dengan “iya” karena keadaannya sungguh benar-benar tidak berpihak pada kami. Aku pun tak mampu menjawab “tidak” karena jauh di dalam hatiku, mungkin aku lah yang begitu menginginkan kehadirannya di hidupku. Rasanya semua jawaban yang kuberikan akan tetap melukainya.
Aku memilih mematikan handphone pribadiku. Mungkin ia akan mampu membenciku jika aku mengabaikannya. Mungkin ia akan melupakanku jika ia membenciku.
Aku mengaktifkan kembali handphone pribadiku, setelah berminggu-minggu aku mengabaikannya. Berharap ia menyerah, namun ternyata ia masih seperti pertama kali aku kenal; Risa, perempuan yang begitu gigih. Begitu banyak pesan dan voice note darinya.
Aku bingung harus bagaimana sama kamu, Sa.
Ku kirim pesan singkat untuknya yang langsung ia balas dengan cepat.
Risa
Gak apa. Gak usah dipikirin. Aku cuma mau kasih tau semua yang perlu kamu tau.
Me
Maafin aku ya, Sa.
Belum selesai aku menuliskan pesanku untuknya, pesan darinya sudah kembali ia kirimkan.
Risa
Makasih ya, Ka.
Yang ternyata menjadi pesan terakhir darinya untukku. Berminggu-minggu setelahnya, tak ada lagi pesan darinya bahkan meski hanya sekedar sapaan. Seharusnya aku berbahagia karena mungkin ia sudah bisa melupakan semua tentangku dan kita, namun nyatanya hatiku begitu sakit mengetahui bahwa aku telah kehilangannya. Kubaca pesan terakhir yang seharusnya aku kirimkan untuknya,
Sa, jika ada tempat untukku melarikan diri dari semua kekacauan hidupku, hatimu adalah tujuanku. Tapi, Sa, aku tau diri bahwa bukan aku yang pantas untuk berada di hatimu.
Ditulis untuk tema hari kelimabelas #30DaysWritingChallenge; If You Could Run Away, Where Would You Go?
Minggu, 27 September 2020
Day 14; Describe My Style?
Tema keempat belas #30DaysWritingChallenge adalah "Describe Your Style". Tema yang sebenarnya kurang saya suka sampai bikin saya belum juga menerbitkan tulisan untuk hari ini meski sudah sesiang ini, selain susah untuk saya bikin jadi cerita, saya juga gak tau harus cerita tentang style apa? Style penampilan saya? Style menulis saya? Style apa?
Kalaupun style yang dimaksud adalah gaya saya berpenampilan, apa yang spesial dari penampilan saya? Gak ada :))))) Saya cuma cewek yang menyukai celana dibanding rok, kaos atau kemeja dibanding dress, sepatu casual dibanding heels, jilbab segiempat dibanding pashmina, tas ransel dibanding shoulder bag, dan tentu dengan makeup seadanya di usia saya yang sudah di penghujung duapuluh ini—untuk yang terakhir ya faktor karena saya gak bisa makeup juga sih.
Dan dengan penampilan saya yang seadanya itu, saya pernah dapat ucapan gak enak didengar, katanya "Gimana mau dapat jodoh kalau penampilannya masih kayak gitu? Masih suka pakai celana jeans, kaos dan tas ransel. Kayak anak SMP." Waktu pertama kali dengar, saya kesal banget, bukan karena perkara celana jeans, kaos dan tas ransel yang saya gunakan tapi yang lebih bikin saya mirip anak SMP itu adalah tinggi badan saya yang dikasih Tuhan cuma segini-gininya. Saya juga mau tau tinggi tapi apa daya gak bisa, segala usaha buat tinggi dari renang, skipping, minum susu sampai obat peninggi udah tapi tetap aja seada-adanya. Tuh kan saya malah ngomongin tinggi badan. :(((
Kalau dipikir-pikir, style atau gaya berpenampilan saya jauh lebih sederhana dibanding jalan pikiran saya yang kadang super ruwet sendiri ini.
Sabtu, 26 September 2020
Day 13; His Favorite Book
“Astaga!” Teriak laki-laki berbaju abu saat melihatku duduk di salah satu anak tangga lantai empat.
“Lo lagi. Lo kenapa suka ngagetin gue sih?” Dengan nadanya yang sedikit keras, atau mungkin karena lantai empat masih sepi pagi ini jadi terdengar sedikit keras untukku. Aku pun kaget dengan teriakannya, meski aku sudah menunggu kedatangannya.
“Sorry, Dim. Kan gue cuma duduk. Gak ketawa.” Ucapku pada Dimas, laki-laki yang terpaksa bangun dari tidurnya karena kaget mendengar suara tawaku minggu lalu.
“Ya gak ketawa sih, tapi lo duduk di tangga sepagi ini sambil nunduk pake jilbab putih lagi.” Jelasnya, yang membuatku mendengus “Dasar penakut” tentunya hanya di dalam hati.
Aku pun bangun dari dudukku, lalu kuikuti ia yang sudah berjalan menuju kelasnya. Ku lihat di tangannya menggenggam satu buku kecil yang mirip dengan bentuk komik. “Itu komik?” Tanyaku penasaran.
“Iya.” Jawabnya seadanya.
“Komik apa?”
“Death Note. Kenapa?”
“Gak apa-apa. Nanya aja. Lo suka baca komik gitu?”
“Gak juga.” Ucapnya sambil meletakan buku yang ku maksud dan tasnya di kursi kelasnya.
“Lo mau numpang nonton lagi di sini?” Tanyanya padaku
“Gak boleh?” Tanyaku balik.
“Bebas. Tapi jangan berisik.” Ucapnya sambil membuka komik dan membacanya. Aku pun terdiam, sepertinya aku lebih baik diam daripada menimpalinya. Aku perhatikan raut wajahnya yang serius saat membaca halaman demi halaman komik tersebut. Dan tak lama, ia menyadari bahwa tidak ada yang aku lakukan selain mengamatinya.
“Kenapa?” Tanyanya sambil melirikku sebentar sebelum matanya kembali fokus membaca.
“Engga. Fokus banget habisnya. Seru ya?” Tanyaku, bukan karena aku tidak menyukai ia mengabaikanku tapi karena aku tidak pernah bisa mengerti mengapa orang bisa fokus membaca komik, aku pernah mencobanya namun pusing menentukan dari mana kemana aku harus membacanya agar paham dengan jalan cerita sedangkan bukunya sudah ramai sekali dengan gambar-gambar.
“Kenapa?” Ia balik bertanya.
“Ya, engga. Gue bingung aja. Gue gak bisa baca komik habisnya.”
“Kenapa?” Tanyanya dengan menggunakan kata tanya yang sama kembali.
“Ya, gak bisa. Bingung bacanya, dari mana kemana. Kenapa?” Aku menjawab dengan menyelipkan “kenapa” tanpa aku tau kenapa aku menyelipkan kenapa.
“Kenapa, gimana?” Tanyanya sambil menatapku bingung.
“Gak kenapa-kenapa.” Jawabku sambil tertawa.
Kemudian ia pun menutup komik yang aku rasa sebenarnya belum ia selesaikan, mengambil tasnya dan mengeluarkan komik lain dari dalam tasnya. “Nih, baca. Ikutin aja alurnya.” Ucapnya seraya memberikan komik lain yang berjudul sama dengan yang ia baca.
“Kenapa suka sama Death Note?” Tanyaku penasaran.
“Seru, bisa ngebunuh orang cuma dengan nulis namanya di buku. Coba gue punya. Gue kan bisa nulis nama-nama orang yg ngeganggu gue.” Ucapnya sambil tersenyum sinis.
“Kok lo serem sih, Dim?” Tanyaku yang benar-benar ketakutan dengan ekspresi yang baru saja Dimas buat.
“Hahahahahaha. Bercanda, Sin. Lo nanya mulu lagian. Lo kelas jam sembilan?” Dimas tertawa lepas dan menutup komik yang sedang ia baca dan menatapku.
“Iya jam sembilan. Kenapa lo?” Tanyaku bingung melihat ia yang menatapku dengan tersenyum.
“Lo bisa ketakutan juga ya. Lucu lagi, gemes.” Ucapnya masih sambil tersenyum.
“Huh dasar. Udah ah, gue balik kelas. Pinjem ya.” Jawabku singkat sambil beranjak keluar kelas.
Sesungguhnya hatiku berdegup lumanyan kencang saat mendengar ia mengatakan bahwa aku lucu sambil tersenyum manis. Aku tidak pernah melihat Dimas tersenyum begitu manis dari sekian lama ku perhatikan dia dari jauh. Dimas tidak tau, bahwa aku sudah memperhatikannya sejak lama namun baru minggu lalu ku beranikan mendekatinya. Beruntungnya minggu ini aku mendapatkan alasan untuk dapat menemuinya kembali minggu depan tanpa harus terlihat dibuat-buat, thanks to his favorite book; Death Note.
“Dibanding Death Note, kenapa gak ada Love Note. Jadi gue bisa nulis nama lo aja biar gak perlu repot-repot gue nyari topik tiap minggu biar bisa deket sama lo, Dim.” Ucapku yang tentu saja hanya dalam hati.
Ditulis untuk #30DaysWritingChallenge hari ketiga belas dengan tema Favorite Book. Oh iya, kalau ada kesamaan pemilihan judul buku di cerita ini dengan kesukaannya orang yang kalian kenal, tahan sahabat jangan gimana-gimana, ini cuma imajinasi aja lho. Hehe
Jumat, 25 September 2020
Day 12; Her Favorite TV Series
Sabtu pukul tujuh, aku sudah berada di ruang kelas. Aku datang terlalu pagi padahal jadwal kuliahku baru nanti pukul sebelas. Tapi ini akhir pekan, semua orang rumah memilih kembali tidur setelah solat subuh, jadi daripada aku terlambat dan tidak bisa lagi mengisi daftar hadir karena absenku sudah empat, aku memilih berangkat pagi-pagi. Sesampainya di kampus, aku berencana untuk tidur sampai pukul sepuluh. Kampus sepi sekali pagi ini, karena memang hanya beberapa kelas yang begitu sial mendapat jadwal di akhir pekan.
Aku terbangun kaget saat mendengar suara wanita tertawa kencang sekali, rasanya aku baru tidur sebentar, tidak mungkin teman-temanku datang sepagi ini. Aku menoleh ke belakang dengan takut-takut, semoga tidak ada hal aneh. Semoga yang tertawa memang teman sekelasku.
Ku lihat perempuan berjilbab biru duduk di pojok belakang dengan fokus ke layar tabletnya. Sesekali tertawa tanpa perduli bahwa aku mengamatinya. Aku tidak kenal dia, siapa? Apakah anak kelas lain yang mengambil mata kuliah pengganti di kelasku? Aku mengamati cukup lama sampai akhirnya dia tersadar.
“Eh, maaf. Keganggu ya? Maaf ya.” Ucapnya sambil melepas headsetnya.
“Iya.” Ku jawab dengan raut wajah yang masih bingung.
“Gue Sinta. Harusnya sih kelas gue di sebelah, tapi karena belum ada yang dateng jadi gue takut mau masuk. Pas mau turun lagi, gue liat di kelas ini ada lo lagi tidur. Yaudah gue masuk aja. Habis capek kalau harus turun ke lantai satu lalu nanti naik lagi ke lantai empat.” Ia menjelaskan seolah mengerti bahwa aku bertanya-tanya dalam hati.
“Oh.” Aku menjawab datar bukan karena tidak suka tapi karena aku tidak tau harus merespon apa.
“Lanjutin aja tidurnya. Gue gak bakal ketawa keras-keras lagi kok hehe.”
“Eng, iya.” Sesungguhnya aku sudah tidak bisa lagi kembali tidur. Huh, padahal aku masih mempunyai waktu dua jam sampai pukul sepuluh.
“Kelas jam berapa?” Tanyanya dari belakang.
“Sebelas....” Belum selesai aku menjawab, ia sudah kembali merespon.
“Yampun, kok pagi banget datengnya. Udah sarapan? Gue punya roti kalau mau.”
Aku yang mendengarnya bingung. Hah? Kenapa tiba-tiba dia nawarin gue sarapan? Bahkan dia belum tau namaku.
“Engga usah, makasih. Oh iya, nama gue Dimas.” Jawabku yang akhirnya memperkenalkan diri.
“Oh oke, Dimas. Sorry ya jadi ngeganggu lo.”
Aku tersenyum datar. Lalu kami kembali sibuk dengan handphone kami masing-masing. Sebenarnya tidak ada pesan masuk di handphoneku, lini masa media sosialku juga tidak ada yang baru. Tapi situasi ini terlalu canggung untukku, hingga akhirnya aku memilih pura-pura sibuk. Sepertinya Sinta sendiri sudah kembali sibuk dengan tontonannya, entah apa yang ia tonton sampai membuatnya tertawa keras sekali sepagi ini.
“Dim, mau ikutan nonton gak? Dari pada bosen.” Tanyanya yang membuat ku kaget apakah dia bisa membaca pikiranku. Belum sempat kujawab, dia sudah menarik kursi di depanku untuk ia putar ke belakang dan meletakan tabletnya di kursi tersebut lalu duduk di sampingku.
“Pernah nonton gak?” Tanyanya sambil kembali memulai videonya yang ku jawab dengan menggelengkan kepala.
“Ya wajar sih, cowok mana suka sih ya sama Korean series gini. Tapi, ini lucu lho beneran deh. Mau nonton kan?” Tanyanya dengan nada yang seolah menyuruhku menjawab dengan iya.
“Boleh.” Aku pun ya mau gak mau akhirnya bergabung dengannya menonton series yang ia bilang lucu ini.
Tapi ternyata keputusanku untuk ikut menonton dengannya tidak buruk juga, Sinta benar saat ia bilang lucu meski ada beberapa bagian yang tidak aku mengerti, mungkin karena aku menontonnya tidak dari awal. Ku perhatikan Sinta yang menonton dengan begitu serius. Wajahnya mungil dan senyumnya manis, tawanya juga renyah dan begitu lepas, sepertinya ia pribadi yang menyenangkan.
Tunggu... aku sedang apa? Kenapa fokusku ke Sinta bukan series ini? Untung ia belum tersadar bahwa aku mengamatinya. Aku pun melanjutkan kembali fokusku pada series yang belum aku ketahui apa judulnya.
“Lucu kan, Dim?” Tanyanya saat episode series ini selesai.
“Iya, lumayan.”
“Judulnya Reply 1988, kalau lo mau nonton lagi. Punya Netflix kan? Ada kok di Netflix. Cuma 16 episode, satu episodenya cuma satu jam. Tadi itu episode 4. Coba deh tonton lagi, sebelumnya ada Reply 1997 sama Reply 1994 gitu, ceritanya tentang kehidupan-kehidupan pada tahun itu. Selain lucu, series Reply tuh selalu heartwarming banget. Jadi coba deh ditonton. Favorite gue banget Reply series ini tuh. Gak pernah nyesel deh kalo ditonton.” Jelasnya seakan bagian dari pembuat series ini.
“Oh gitu. Ok, Reply 1988 ya.”
“Iya. Gue balik ke kelas gue ya. Gue kelas jam sembilan nih.” Ucapnya sambil membereskan tablet, headset dan kursi.
“Bye, Dim. Sorry ya tadi.” Sinta berjalan keluar dari kelasku menuju ke kelasnya.
“Iya, gak apa-apa. Thanks ya.” Ucapku seadanya yang ia balas dengan senyum manis.
Selepasnya Sinta dari penglihatanku, aku menyadari bahwa perkenalanku dengan Sinta pagi ini lebih lucu dan Sinta sendiri lebih heartwarming dibanding series favoritenya.
Tulisan keduabelas untuk #30DaysWritingChallenge dengan tema Favorite TV Series.
Kamis, 24 September 2020
Day 11; Dery Dirudarmawan
Tulisan kesebelas untuk #30DaysWritingChallenge akan bercerita tentang dia yang namanya menjadi judul untuk tulisan saya.
Dery Dirudarmawan, nama yang akhirnya orang tua saya sematkan untuk bayi mungil duapuluh dua tahun lalu. Dia adalah adik saya satu-satunya. Saat dia lahir, saya berusia tujuh tahun, kata orang usia yang sudah sangat cukup untuk memiliki seorang adik. Tapi saya masih ingat betul, bahwa nyatanya pada saat itu saya tidak siap memiliki seorang adik, saya tidak merasa nyaman dengan kehadirannya, saya tidak mau perhatian orang tua dan kakek nenek saya terbagi.
Harap dimaklumi, saat itu saya masih terlalu dini untuk mengerti bahwa kehadirannya nyatanya adalah salah satu cara Tuhan menyayangi saya. Melalui kehadirannya, Tuhan mengajarkan saya banyak hal dari mulai berbagi, kesabaran sampai bertanggung jawab. Melalui kehadirannya juga, saya tau bahwa saya memiliki seseorang yang tulus menyayangi saya dengan segala hal yang ada di diri saya, saya tau bahwa saya memiliki seseorang yang akan selalu mengulurkan tangannya ketika saya terjatuh, saya tau bahwa saya memiliki seseorang yang tak ragu memeluk ketika saya terluka.
Hubungan kami memang tidak selalu akur, sama seperti setiap hubungan kakak dan adik, akan ada selalu kesalahpahaman yang akan membuat kami menjauh untuk sementara waktu. Tapi saya yakin, hati kami tidak pernah benar-benar jauh. Doa saya tidak akan pernah putus untuknya, semoga doanya juga tidak pernah putus untuk saya. Seperti dia yang selalu memastikan saya bisa tertidur lelap, saya juga akan memastikan dia akan selalu berbahagia.
Oh iya, saya jadi ingat bagaimana reaksinya saat dia mengetahui hari itu saya (memang terpaksa) harus bertemu dengan seseorang, “Diru gak mau ya. Diru gak setuju pokoknya. Diru gak mau ikut.” Saya dan ibu saya cuma bisa bingung, kenapa dia yang marah, belakang saya tau bahwa dia hanya ingin memastikan saya bahagia dengan cara saya sendiri, tanpa terpaksa.
Jadi saya kasih kisi-kisi buat kamu, selain ambil hati orang tua saya, jangan lupa ambil hati adik saya ya.
Rabu, 23 September 2020
Day 10; Best Friend
Selasa, 22 September 2020
Day 9; Happiness
Pagi ini hujan turun cukup lebat, cukup untuk menambahkan catatan dosa saya karena di sepanjang perjalanan di Trans Jakarta saya mengumpat tiada henti pada alam yang menurunkan berkahnya di waktu yang tidak tepat, setidaknya menurut saya. Coba kalian bayangkan, bagaimana bisa saya bersyukur atas berkah hujan yang diberikan Tuhan sepagi ini saat saya menyadari bahwa tidak ada payung lipat di ransel saya yang sudah super berat ini. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa hujan membuat perjalanan saya kian lambat padahal saya harus datang pada waktu yang tepat untuk mempersiapkan rapat dengan para pejabat.
"Kenapa sih harus hujan di pagi hari gini? Kenapa engga nanti siang aja sih jadi gue gak perlu ikut-ikutan gabung makan siang sama geng penjilat."
"Emang lo bawa sial sih."
"Sial banget emang. Makasih lho hujan udah bikin kacau hari gue."
Sebelum umpatan yang terlontar dari mulut saya yang biasanya tidak banyak bicara ini semakin banyak, Trans Jakarta sudah berhenti di Halte tempat saya harus turun. Jarak kantor saya dengan halte ini memang tidak jauh, hanya sekitar 150 meter jalan kaki, aktifitas yang menjadi favorite saya sebenarnya setiap pagi karena di sepanjang jalan ada banyak tukang jajan yang bisa menjadi amunisi agar tetap kuat menghadapi suasana kantor yang panasnya selalu seperti ada celah neraka di setiap ruangan.
Setelah turun dari Trans Jakarta saya memiliih jalan lambat, barangkali sesampainya saya di akhir tangga halte ini, hujan akan reda. Saya bahkan sudah tidak memikirkan lagi makanan apa yang akan saya beli pagi ini. Meski rasanya saya sudah jalan bak ratu siput yang super lambat, hujan tidak juga menunjukan tanda-tanda akan reda. Saya juga tidak pernah melihat adanya ojek payung di halte ini, itu lah mengapa saya selalu membawa payung lipat yang hari ini menghilang begitu saja seperti kisah cinta saya.
Saya berusaha mencari cara bagaimana kemeja dan rok ini tidak basah karena kenyataannya saya tidak pernah memiliki baju cadangan di laci meja kantor. Lagi pula, siapa sih yang begitu rajin menyimpan baju cadangan di kantor? Bagusnya ransel saya ini anti air, setidaknya itu yang salesnya katakan saat menawari saya ransel yang mirip tempurung kura-kura di badan saya yang seada-adanya ini. Beruntungnya lagi, saya menyimpan sepatu heels saya di kantor dan selalu berangkat dengan menggunakan sendal jepit andalan.
Pagi ini, halte tidak terlihat begitu ramai. Sepertinya orang-orang memilih membawa kendaraannya sendiri, beruntungnya mereka yang bisa menyetir kendaraan entah motor atau mobil, apalah daya saya yang hanya bisa menggowes sepeda, itu pun roda empat. Sesampainya pada penghujung halte, saya melihat anak kecil, tidak terlalu kecil sih, mungkin remaja yang sudah duduk di bangku SMP, berdiri menatap ke dalam lorong halte dengan payungnya yang super besar.
"OJEK PAYUNG?????" Saya terheran-heran dalam hati.
"Payungnya kak?" Anak itu berkata seraya menyodorkan payung super besarnya kepada saya.
"IYA IYA DEK KE GEDUNG ANGKASA YA." Ucap saya bersemangat, ternyata alam masih tau diri untuk tidak membiarkan saya bertambah sial hari ini.
Kami berjalan beriringan, namun ia tidak berada di dalam payung meski seharusnya muat jika ia ingin berjalan lebih dekat dengan saya.
"Gak apa-apa, kak. Kakak saja yang pakai payungnya biar gak kebasahan dan gak sakit biar bisa semangat kerjanya. Kalau saya kan memang sudah kerjaannya hujan-hujanan. Udah akrab saya kak sama air hujan. Saya makasih banget malah sama hujan, setiap ada hujan saya jadi bisa nabung untuk tambahan daftar sekolah tahun depan." Celotehnya panjang lebar dengan senyum yang tidak kalah lebarnya.
Tau apa yang terjadi? Air mata saya menetes begitu saja. Entah ada apa dengan saya hari ini. Saya bahkan tidak mengeluarkan air mata sedikitpun saat melihat mantan saya update foto pernikahan dengan sahabat saya sendiri. Tapi bisa-bisanya air mata saya mengalir dan nafas saya menjadi berat saat mendengar perkataan anak remaja yang baru saya temui hari ini.
Tidak ingin terlihat aneh, saya berjalan menundukan kepala dan tentu terdiam sepanjang jalan. Untungnya jarak ke gedung tempat kantor saya berada, tidak jauh. Sesampainya di Lobby Gedung Angkasa, saya mengembalikan payung tersebut kepada Raka, nama remaja ojek payung tersebut. Saya bergegas mengambil dompet untuk memberikan upahnya. Saya mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari dompet saya dan memberikan kepadanya.
"Yah kak, kakak orang pertama hari ini. Saya belum punya kembalian. Gak ada lima ribu aja kak?" Ucapnya kepada saya sambil menolak uang lima puluh ribu saya.
"Gak ada, gak apa-apa ambil aja buat tambahan kamu nabung." Sesungguhnya, saya punya empat lembar uang lima ribuan, tapi sepertinya benar, bahwa hujan mendatangkan berkah dan kebaikan seperti malaikat yang berhasil menang dari setan pagi ini di hati saya.
"Bener kak?" Tanyanya tidak percaya dan dengan mata yang bersinar.
"Iya ambil aja."
"TERIMA KASIH BANYAK KAK. TERIMA KASIH BANYAK YA KAK. SEMOGA KAKAK BAHAGIA SELALU DAN DILANCARKAN REJEKINYA. TERIMA KASIH BANYAK YA KAK." Ucap Raka menggebu-gebu seperti sedang mendapatkan hadiah lima puluh juta secara cuma-cuma.
Saya pun tersenyum dan terburu-buru berjalan masuk ke dalam gedung, karena sepertinya air mata sudah ingin tumpah dari tempatnya. Bahagia selalu? Saya teringat doanya, doa yang jarang sekali saya panjatkan namun pagi ini diucapkan oleh seorang anak remaja yang bahkan saya ragu ia sudah mengerti arti kata bahagia.
Tunggu... sepertinya saya yang terlalu rumit mengartikan kata bahagia, karena baginya bahagia hanya sesederhana menerima uang lima puluh ribu yang untuk saya hanya senilai satu gelas kopi di siang hari. Iya, ternyata bahagia tidak pernah serumit yang saya pikirkan.
Ditulis dengan imajinasi dalam rangka #30DaysWritingChallenge hari ke sembilan dengan tema Happiness. Bagi saya sendiri, bahagia sesederhana pada akhirnya kamu dan saya berada pada perasaan yang sama.
Senin, 21 September 2020
Day 8; The Power of Music
The Power of Music, tema hari kedelapan untuk #30DaysWritingChallenge. Cukup menarik ya.
Musik, dari jamannya kita semua mendengarkan melalui kaset atau bahkan orang tua kita mendengarkan via piringan hitam sampai seperti sekarang yang mudah sekali kita dengarkan via online, percaya atau engga selalu memiliki kekuatan yang gak pernah berubah.
Sebagai seorang yang meski menikmati musik hanya sebagai pendengar, musik ini seperti memiliki nyawanya sendiri. Gak jarang ketika saya mendengarkan satu lagu, ia seolah menarik saya jauh kembali ke kenangan-kenangan yang ada di hidup saya, dari kenangan menyenangkan, menyedihkan sampai menyakitkan. Seperti ketika di televisi terputar lagu Si Komo, saya seperti tertarik jauh ke kenangan-kenangan masa kecil saat saya berpergian bersama orang tua lalu kendaraan kami berjalan lambat, otomatis kala itu saya dan keluarga akan bersenandung "Macet lagi macet lagi, gara-gara si Komo lewat." Begitu pula saat mendengarkan When You Love Someone milik Endah n Rhesa atau Hey Jude milik The Beatles.
Saya selalu kagum kepada mereka-mereka yang berada di balik sebuah lagu, menciptakan musik yang dapat membuat saya merasa bahagia, sedih, galau dan bersemangat saat mendengarnya. Bagaimana bisa mereka mengirimkan energi itu untuk setiap lagu yang mereka ciptakan, untuk setiap musik yang kita dengarkan?
Saat saya menulis ini, saya ditemani oleh lagu dari Tulus berjudul Mahakarya, liriknya seperti ini...
"Beri hati pada setiap kerja kerasmu, karya-karyamu. Aku bisa rasakan. Dia bisa rasakan. Semua bisa rasakan."
Mungkin ini lah salah satu alasan mengapa setiap lagu, setiap musik yang kita dengarkan memiliki nyawanya sendiri, karena mereka memberikan hatinya pada setiap karya-karya yang mereka ciptakan. Benar, sesuatu yang dibuat dengan hati, akan selalu sampai ke hati yang lain. Apapun itu tidak hanya musik dan lagu, bahkan doa yang diucapkan dari hati akan selalu sampai pada hati yang dituju.
Oh iya, ada satu pesan buat kamu dari saya, coba deh dengerin lagu Tulus yang judulnya Adaptasi lalu perhatikan di menit ke 2:48 sampai habis ya. Semangat hari senin, ya!
Minggu, 20 September 2020
Day 7; Favorite Movie
"Memang begitu hidup. Tidak semua yang kita cintai akan bisa kita dapatkan."
"We have everything in the end, just not each other."
"It's not your fault. Do what makes you happy."
"A sincere apology can mend a broken heart."
Kalau kalian gak ada kesibukan di hari minggu ini, mungkin bisa mencoba untuk menonton film-film yang saya sebutkan meski saya gak tau apakah masuk di selera kalian. Tapi buat saya film-film di atas begitu hangat di hati. Kalau ada film-film yang menyenangkan dan hangat menurut kalian, boleh dong saya dibisikin judulnya.
Sabtu, 19 September 2020
Day 6; Single and Happy
Tema tulisan #30DaysWritingChallenge hari ini agak sedikit mengganggu gak sih? Kenapa harus single? Gimana kalau saat saya ikutan challenge ini, ternyata saya gak lagi single? Masa saya harus pura-pura jadi single? Untungnya sekarang saya sudah kembali single dan happy tentunya.
Sejak memutuskan untuk berpisah dengan kekasih eh maksudnya mantan kekasih 6 tahun lalu—kalau yang beberapa bulan yang lalu itu maaf ya kamu gak perlu masuk hitungan, kan aku cuma teman gabut aja hehe sad—sampai hari ini saya masih dengan status yang sama yang sedang kita bicarakan ini; single. Gak tau sih kenapa selama itu saya gak tertarik untuk kembali memiliki kekasih hati—kok saya geli sendiri sih nulis kekasih hati.
Mungkin bisa jadi karena saya akhirnya ngerasain bebasnya ngobrol dengan teman pria lainnya tanpa harus takut terjadi adanya baku hantam—beberapa teman saya kalau baca ini pasti tau yang saya maksud haha—dan juga mungkin karena sejak saat itu saya lagi mumet-mumetnya sama pekerjaan dan kuliah yang harus saya selesaikan.
Kalau ditanya selama saya single, saya happy gak? Oh, happy pastinya! Karena selama waktu ini, ada banyak nikmat dan kebahagiaan lain yang Tuhan kasih ke saya, seperti pekerjaan yang baik, teman-teman yang suportif, saya akhirnya bisa menyelesaikan kuliah saya, lalu traveling bareng teman-teman ke beberapa negara, sampai akhirnya punya usaha sendiri dari traveling ini. Saya tamak banget kalau sampai bilang saya gak bahagia dengan semua itu. Saya takut ketika saya ngeluh sama Tuhan hanya karena saya masih sendiri, semua nikmat yang saya punya ditarik.
Lagi pula, sebenarnya kebahagiaan kita gak pernah bisa kita gantung dan harapkan dari orang lain, kan? Mau seperti saya yang single atau kamu yang memiliki pasangan, kebahagiaan diri sendiri ya berasal dari tempat yang sama; diri sendiri. Bukan begitu?
Jadi, saya single dan happy. Kamu juga single, kan? Kita bisa nih kalau gitu jadi double. Eh, couple maksud saya. 😁
Jumat, 18 September 2020
Day 5; Orang Tua Saya
Kamis, 17 September 2020
Day 4; Tempat Yang Ingin Dikunjungi
Masih dalam rangka #30DaysWritingChallenge hari keempat, tema hari ini adalah "Places You Want to Visit". Kalau ngomongin tempat yang ingin dikunjungi wah pastinya banyak banget. Apalagi sejak awal tahun ini, semua orang terpaksa tidak pergi kemana-mana karena pandemi ini. Saya juga sama, punya banyak tempat yang sangat saya rindukan untuk saya kunjungi, dari sekedar cafe favorite saya bertemu dengan teman, resto favorite saya dan keluarga, suasana alam sampai bahkan saya pernah berada di momen saya rindu suasana kantor dan ingin banget bisa segera kembali ke kantor.
Tapi dari semua itu, kalau saya harus menyebutkan tempat yang sangat ingin saya kunjungi setelah pandemi ini berakhir, saya ingin banget bisa ke Rumah Tuhan saya; Baitullah. Iya, saya ingin banget ke sana apalagi di umur saya yang udah segini, saya belum pernah ke sana. Saya ingin banget mengucap syukur secara langsung di sana karena saya masih dikasih kesempatan untuk bertahan dan tetap hidup di tengah situasi seperti sekarang ini.
Kalian tau gak? Nulis ini aja saya jadi pengen nangis ngebayangin kira-kira setelah tulisan ini saya post, apakah saya sungguh masih dikasih kesempatan untuk tetap hidup dan mewujudkan keinginan saya itu?
Semoga. Semoga kita semua masih bisa bertahan dan bisa mengunjungi tempat-tempat yang kita impikan ya setelah semua ini berlalu. Aamiin.
Oh iya saya lupa, kamu mau kan nemenin saya berkunjung ke sana?
Rabu, 16 September 2020
Day 3; A Memory
Tulisan ketiga untuk #30DaysWritingChallenge kali ini temanya "A Memory". Buat saya, tema hari ini agak berat, saya bahkan gak tau memory atau kenangan yang bagaimana yang dimaksud, kenangan apa yang harus saya ceritakan? Dan kalau diingat-ingat, bahkan gak ada kenangan yang melintas di pikiran saya untuk saya ceritakan. Gimana dong ini?
Ah! Ada satu hal yang tiba-tiba melintas di pikiran saya tentang kenangan. Salah satu teman terdekat saya pernah bilang ke saya beberapa waktu lalu, "Kalau kata SangTae Oppa, kenangan buruk gak perlu dilupakan, cukup ditimpa saja dengan kenangan yang membahagiakan." kurang lebih begitu, saya juga lupa detailnya. Teman saya ini bukan orang yang pandai berkata-kata, jadi kutipan tadi itu dia dapatkan dari Drama Korea yang dia tonton.
Saya gak setuju saat itu. Buat saya, kenangan buruk harus terlebih dulu enyah dari pikiran saya supaya saya bisa bahagia, berbahagia dan membahagiakan. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya ada benarnya. Karena sesungguhnya semakin berusaha saya melupakan kenangan buruk tersebut, fokus saya hanya berada pada kenangan buruk tersebut, kalau terus berfokus pada kenangan itu bagaimana bisa itu dilupakan?
Namun jika fokusnya saya balik dengan saya menciptakan kenangan-kenangan bahagia dari setiap hal yang terjadi di hidup saya, serpertinya kenangan buruk tersebut tidak akan lagi punya tempat di server kenangan di pikiran saya.
Jadi, gimana kalau saya dan kamu mulai menciptakan kenangan-kenangan bahagia untuk kita?
Selasa, 15 September 2020
Day 2; Yang Membuat Saya Bahagia
Senin, 14 September 2020
Day 1; Kepribadian Saya?
Wah ternyata udah lama banget ya blog ini gak pernah lagi ada isinya. Gak tau sebenernya saya sibuk sama apa sampai gak ada waktu buat ngisi blog ini. Padahal kalau dipikir-pikir saya sering banget "nyampah" di Instagram story atau twitter tentang banyak hal. Postingan saya terakhir terlihat menyedihkan ya? Gak terasa ternyata udah satu tahun lebih. Sekarang saya feel much better :")
Duh, intro saya kelamaan nih. Jadi setelah satu tahun lebih saya gak buka blog, hari ini saya kembali dalam rangka #30DaysWritingChallenge selama PSBB. Kalau dipikir-pikir kayaknya yang bisa bikin saya kembali nulis di blog adalah Challenge 30 Hari Menulis deh, sama kalau jatuh cinta sih. Hehe.
Jadi, hari ini saya harus menceritakan kepribadian, watak atau karakter saya, yang sebenarnya saya juga bingung sih. Yang saya paling tau, sebagai Taurus saya super keras kepala. Sebentar deh, gak tau apakah emang karena zodiaknya atau emang ya didikan sebagai anak pertama dan perempuan ngebentuk saya jadi keras kepala. Buat saya sendiri, saya lebih suka dibilang gigih dibanding keras kepala karena saya masih mau kok dengerin nasihat dan saran orang, meski ya saya lebih cenderung ngikutin kemauan saya sendiri sih. Jadi, sebenarnya saya keras kepala atau gigih kalau seperti ini?
Selain itu, saya adalah orang yang paling anti sama yang namanya minta tolong, kalau bisa semua saya lakuin sendiri ya saya aja. Sebenarnya bukan anti sih, tapi saya cuma gak mau ngerepotin orang. yang akhirnya berujung bikin saya struggle banget setahun belakangan ini karna ternyata saya udah out of limit. Kalau ini, jadinya disebut apa? Mandiri atau maksain diri? Hehehe
Hmm... apalagi ya?
Saya gak tau banyak tentang diri saya. Meski saya suka banget cuap-cuap tentang banyak hal tapi bukan berkomentar tentang hidup orang lain ya, saya cenderung gak kenal sama diri saya. Mungkin kamu bisa bantu kasih tau saya gimana kepribadian saya?
Sebentar, kalau ada satu hal lagi yang saya tau tentang diri saya, saya lebih sayang kamu daripada diri saya sendiri.