Minggu, 02 Agustus 2015

Matahari Dari Rumah Warna

0 komentar

Senin, 2 July 2007.

Pukul 03:00.

Hari ini alarmku berbunyi 2 jam lebih awal dari biasanya. Bukan karena hari ini senin dan aku sudah harus bersiap-siap kerja. Senin ini berbeda. Aku tak perlu grasa grusu berangkat lebih awal untuk bekerja. Senin ini aku sedang berada kurang lebih 442 km dari Jakarta, di Dieng tepatnya.

Aku memilih Dieng sebagai tempatku mengistirahatkan pikiran yang sudah lama berantakan isinya. Sudah kurang lebih 7 tahun aku terperangkam oleh sibuknya ibukota yang sepertinya tak pernah lelah. Lalu, mengapa Dieng? Dieng adalah tempat pertama kali orang tuaku bertemu. Dan selama 27 tahun aku hidup, belum pernah sekalipun aku menjejakkan kaki di Dieng.

Pagi ini adalah pagi pertamaku di Dieng. Senin pertamaku di tempat yang begitu damai dan sejuk ini. Aku bangun lebih pagi, tujuannya hanya satu; ingin menjadi saksi matahari terbit. Dengan persiapan seadanya, aku siapkan segala peralatan untuk mendaki Bukit Sikunir. Ini adalah pengalaman pertamaku mengejar sunrise.

Perjalanan menuju Bukit Sikunir begitu menantang. Lubang di sana sini ditambah penerangan seadanya. Namun, tak menyurutkan semangatku. Semoga aku beruntung pagi ini.

Namun kurang lebih 100 meter dari lokasi penanjakan, seorang warga lokal memberitau bahwa jalan menuju penanjakan Bukit Sikunir longsor. Huh, ternyata bukan jodohku bertemu sang matahari. Mungkin ia masih malu kehadirannya aku nantikan. Aku yang akhirnya jadi tak semangat memutuskan kembali ke penginapan.

Ditengah perjalanan, aku mampir ke sebuah warung kopi kecil dekat musolah. Menunggu adzan subuh seraya minum kopi untuk menghangatkan badan dan mengembalikan semangat. Selagi asik menyeruput kopi, konsentrasiku terpecah oleh sesosok perempuan berjilbab sederhana. Ia membawa beberapa mukena ke dalam musolah, setelahnya berlari kecil ke arahku. Ah, bukan ke arahku tapi ke arah warung kopi ini.

"Bu, pisang goreng 20 dan susu panasnya 10 ya. Aku ambil seperti biasa." Katanya lalu menyunggingkan senyum paling manis setelahnya ke arah Ibu penjual kopi. Dan ke arahku. Iya. Ke arahku.

Dengan canggung aku membalas senyumannya.

Adzan subuh pun berkumandang. Aku segera ke musolah untuk menunaikan solat. Setelahnya aku kembali lagi ke warung kopi, mengambil tas dan barang-barangku yang ku titipkan. Namun lagi lagi aku bertemu si pemilik senyum paling manis itu. Ia terlihat sibuk mengemasi pisang goreng ke dalam kantung plastik.

Aku dengan tingkat sok akrab paling tinggi memberanikan menyapanya, "beli pisang gorengnya banyak sekali." Seraya berusaha terlihat sekeren mungkin. Iya menoleh dan tersenyum. Lagi-lagi senyumnya begitu manis.

"Iya mas, untuk anak-anak." Jawabnya.

Anak-anak? Hatiku terperanga. Oh sudah punya anak ternyata. Batinku menggerutu. Ia pun pamit kepada Ibu pemilik warung dan kepadaku.

"Buat anak-anak didiknya mas pisang tadi tuh. Laras itu guru TK mas. Tiap pagi selalu pesen susu sama entah pisang atau roti bakar buat anak anaknya." Ibu warung kopi itu menjelaskan padaku. Sepeertinya si Ibu tau aku kecewa ketika si perempuan menyebut anak-anak.

"Gitu toh, Bu? Saya pikir sudah punya anak." Aku menjawab cengengesan.

"TK nya di situ mas. Cuma Laras gurunya." Ucap Ibu warung kopi seraya menunjuk ke arah rumah kecil dengan ayunan dan perosotan seadanya.

Aku memandang TK yang berpapan nama "Taman Kanak-Kanak Rumah Warna". Sungguh sangat seadanya. Aku pun pamit kepada Ibu warung kopi dan memberanikan diri untuk melihat TK itu dari dekat.

Sudah terlihat beberapa anak sedang bermain ayunan. Ini baru pukul 5:45 anak-anak ini udah dateng, rajin banget. Batinku. Sampai kemudian ada satu anak membuyarkan lamunanku.

"Mas, sedang apa? Mau jadi guru ya?"

"Heh? Um... Engga. Mas cuma numpang lewat." Jelasku.

"Eh tapi dik, memang sekolahnya masuk jam berapa? Kok jam segini udah dateng?" Tanyaku pada anak itu.

"Jam 6 Mas...."

"Iya Mas, karena saya mesti kerja jam 10. Jadi ya jam belajarnya singkat." Jelas Laras yang ternyata sudah menghampiriku atau mungkin menghampiri muridnya.

"Sebenernya gak pantes disebut TK cuma seadanya. Seadanya aja. Yang penting anak-anak ini bisa baca, menulis, berhitung dan bersosialisasi dengan baik. Saya cuma bantu seadanya." Jelasnya seraya menyunggingkan senyum lagi.

Aku terdiam mendengar penjelasannya. Kagum. Terpesona. Begitulah kiranya.

Perjalananku pagi ini sepertinya tak berujung sia-sia. Walau memang aku tak dapat melihat matahari muncul dari atas Bukit Sikunir. Tapi pagi ini aku dapat melihat 'matahari' dari Rumah Warna ini. Dari sesosok perempuan yang rela berbagi sinarnya untuk menerangi hidup orang lain. Yang kehadirannya dinanti oleh anak-anak ini tiap pagi.

Laras; perempuan pemilik senyum paling manis ini menjadi matahariku pagi ini. Dan aku rasa juga menjadi matahari untuk kesupuluh anak didiknya setiap hari.

Sehat selalu, Laras.

Salam,
Adam.





*Tulisan ini cuma fiksi. Tapi didedikasikan untuk kalian, siapapun, yang telah berbagi 'sinar' kalian untuk orang lain.*

 

cinderlila's diary Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template