Sabtu, 21 Desember 2013

Selamat Hari Ibu, Mama

0 komentar
Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia.......

Dear Mama,
Ingatkah dulu anakmu ini menyanyikan lagu tersebut dengan begitu bangga? Dengan gaya anak TK yang penuh ceria. Tanpa memperdulikan makna di balik lagu tersebut. Namun mama tetap  tersenyum manis mendengarnya, terlihat benar-benar bahagia. Sebahagia itu kah, Ma?

Dear Mama,
Mungkin mama pernah lagi dengar kakak bernyanyi seceria itu untukmu. Waktu berjalan begitu cepat, bukan? Waktu membesarkan rasa kita bersama-sama. Cinta, duka, kecewa, tawa, bahagia, sesal dan beberapa kesal. Waktu menjadikan kita belajar menerima setiap sifat juga sikap satu sama lain. Walau terkadang masih saja kita tak bisa menerima pendapat yang berbeda, atau bahkan tetap tak bisa memahami tingkah menjengkelkan satu sama lain, waktu masih tetap membuat kita bersama.

Dear Mama,
Beberapa hari ini kakak begitu menyebalkan, bukan? Sudah tak pernah mengirimimu pesan sepanjang siang, dan sepulang kerja hanya berdiam diri di kamar bahkan ketika ditanya ada apa, hanya amarah yang diucapkan. Hingga akhirnya lagi-lagi mama mengalah. Padahal, begitu banyak yang ingin mama ceritakan, kan? Akhir-akhir ini banyak hal yang menganggu pikiran kakak. Beberapa hal itu sudah mama tau, sisanya........ kakak bahkan belum tau harus darimana bercerita.

Dear Mama,
Mama tau betapa cinta yang kakak punya untuk mama? Memang tak sebesar yang mama punya, tapi yakinlah tujuan akhirnya tetap membuat mama bahagia. Dua puluh dua tahun tidakkah berat untuk mama membesarkan kakak? Selama dua puluh dua tahun cinta dari mama tak pernah berkurang sedikitpun. Ma, mama tau kakak begitu bahagia memiliki ibu yang begitu sempurna?

Dear Mama,
Terima kasih untuk setiap pengorbanan yang mama beri. Terima kasih untuk setiap cinta yang begitu tulus. Terima kasih untuk jemari yang begitu setia mengusap air mata yang mengalir. Terima kasih untuk peluk yang begitu menguatkan. Terima kasih untuk doa yang tak pernah usai. Terima kasih karna tetap bahagia memiliki anak seperti kakak saat kakak terlihat begitu menyedihkan. Terima kasih karna tetap menjadikan kakak segalanya, saat kakak mementingkan yang lainnya. Terima kasih karna tetap ada saat semua tak ada. Terima kasih.... Terima kasih.... Terima kasih, Ma.

SELAMAT HARI IBU, MA.......


Salam sayang tak terhingga,
Kakak.



Sabtu, 14 Desember 2013

-1-

0 komentar

Sebenarnya ada banyak hal yang ingin sekali aku tulis. Tentang kamu, tentang rasa untukmu, tentang apapun itu asal berhubungan denganmu. Beberapa waktu lalu, kamu lah satu kesukaanku. Kamu menjadi satu-satunya alasan aku begitu banyak bercerita. Bercerita tentang rasa, yang sebenarnya tersirat dalam setiap cerita. Rasa yang tak akan pernah kamu duga.

Aku menyukaimu. Sungguh-sungguh menyukaimu. Entahlah, bagaimana bisa seperti itu. Tapi, nyatanya itulah yang aku rasa. Aneh memang, karena kita bahkan tak pernah benar-benar saling bertegur sapa. Mengenalmu, mengetahui bagaimana kamu, berceloteh denganmu, mudah sekali rasanya untuk mengagumimu.

Aku begitu suka caramu menuliskan apa saja yang kamu rasa. Aku begitu suka caramu menilai suatu berita. Dan aku begitu suka caramu bertegur sapa, kepada siapa saja. Entahlah, rasanya aku begitu menyukai segala hal tentangmu. Aku menikmati pagiku dengan celotehanmu. Dan bahkan aku menjadi begitu rajin mencari tau kabarmu, dari manapun itu. Namamu pun selalu aku sisipkan dalam tiap doa yang aku panjatkan.

Namun itu beberapa waktu lalu. Kini, entahlah...... aku hanya berharap kamu tetap baik-baik saja tanpa doa yang tak lagi aku panjatkan untukmu. Walau kelak ada banyak hal yang menerpamu, tetaplah menjadi kamu yang akan tetap mudah dikagumi. Walau kini ada banyak hal yang harus kamu pikirkan, tetaplah menjadi kamu yang begitu menyenangkan. Tetaplah semenyenangkan itu terhadap hidupmu. Aku mungkin tak lagi semudah dulu untuk menyukaimu, namun aku tetap tak semudah itu untuk benar-benar mengenyahkanmu dari pikiranku.

Untuk masalah yang sedang menerpa hidupmu, semoga itu mampu menjadikanmu seseorang yang akan lebih mudah dikagumi, karena kebesaran hatimu yang mampu bersabar, ikhlas dan tetap berusaha.

Salam beserta doa,
Qifthy

Jumat, 29 November 2013

Aku Rindu, Hanya Itu.

0 komentar

Aku tak permah tau harus bagaimana memulainya. Jangan harap aku bicara, karena menulis sepatah katapun saja aku susah. Begitu banyak rasa yang terasa. Waktu harusnya mampu berbicara, namun entah..... ia diam saja. Seakan suka kita tak saling tegur sapa.

Mungkin aku salah dan mungkin kamu juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin aku benar dan mungkin kamu tidak sepenuhnya salah. Tidak kah seharusnya seperti itu?

Aku rindu. Hanya itu.
Kepada kamu yang setiap waktu bercerita, tentang apa saja yang kamu rasa.
Aku rindu. Hanya itu.
Kepada aku yang menjadi tempatmu berbagi tawa atau air mata.
Aku rindu. Hanya itu.
Kepada kita yang tak pernah ingin berpisah.
Aku rindu. Hanya itu.
Kepada waktu yang membuat kita satu.
Aku rindu. Hanya itu.
Kepada kamu yang siang tadi tersenyum hampa kepadaku.
Aku rindu.
Kepada kamu.......... sahabatku.
Hanya itu.

Senin, 11 November 2013

Cinta, kah?

0 komentar
Kami bertemu kala itu dalam sebuah acara, yang mereka bilang pesta. Aku datang seadanya, hanya sekedar menggugurkan perintah. Beda dengannya, yang terlihat begitu ceria.

Kami tak saling sapa apalagi berbagi canda. Aku pun tak banyak bicara. Hanya menikmati setiap acara. Sampai akhirnya Sang Pemilik Pesta berbicara, tentang cerita cinta yang ia punya.

"Ah, bahagianya." Hatiku berbicara, dengan iri yang membara.

Mataku berkeliling dan terpana oleh dia, pria yang sedang tersenyum bahagia. Di sampingnya ada seorang wanita yang raut wajahnya terlihat begitu bahagia.

"Ah, ada banyak cinta rupanya." Lagi-lagi hatiku berbicara.

Pria itu sepertinya merasa aku memperhatikannya begitu lama. Ia membalas tatapanku seakan berkata, "Hatiku sudah ada yang punya."

Aku memalingkan wajah, mencegah hati semakin semena-mena. Ini tak boleh menjadi rasa yang kelak hanya akan menyiksa.

"Sesederhana dan secepat inikah datangnya rasa? Yang mereka bilang cinta."

Minggu, 10 November 2013

Kami

0 komentar

Rintik hujan sore ini
Mengingatkanku pada dia yang tak pernah aku miliki

Yang sering kali berujar "hati-hati"
Ketika mengetahui aku berjalan sendiri dalam sepi

Dia, lelaki yang begitu aku ingini
Namun tak Tuhan beri

Tuhan tak pernah benar-benar menyamai rasa kami
Walau beda tak ada dalam hati

Namun Tuhan tak pernah benar-benar menjauhi
Walau jarak membentang jutaan ribu mili

Aku tak pernah mengerti
Mengapa Tuhan tak menyatukan kami

Namun, Dia begitu memahami
Mengapa Tuhan tak memisahkan kami

......................

Nyatanya, Tuhan lihat kami tak saling melengkapi.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Angkasa...-3-

0 komentar

Thi, ada yang mau gue omongin. Bisa ketemu sepulang kerja?

Aku baca pesan singkat dari Angkasa. Seperti biasa, walau sebenarnya ada banyak hal yang harus aku kerjakan namun kali ini aku tidak bisa lagi menolak permintaan Angkasa untuk bertemu. Sebelumnya, sudah hampir tiga kali aku menolak bertemu. Bukan karena tak ingin--sejujurnya entah mengapa akupun sedikit merindukannya--namun beberapa minggu ini, aku terlalu sibuk berkutat dengan proposal bisnis yang sedang aku kerjakan--demi mimpiku.

Bisa. De'Saphire ya. Traktir.

Balasku untuk pesan singkatnya. Entah mengapa, setelah Ia mengakui perasaannya, aku menjadi lebih nyaman untuk bertemu dengannya. Aku sendiri jika ditanya bagaimana perasaanku terhadapnya, masih tidak tau harus menjawab apa. Selama ini aku masih tak mau begitu serius menaruh hati untuk seseorang. Aku tak lagi ingin patah hati.

Sepulang kerja, kami pun bertemu. Angkasa menggunakan kemeja lengan panjang garis abu-abu yang lengannya ia gulung sesiku. Celana bahan hitam dan sepatu abu-abu. Tetap menggunakan kacamata--yang menurutku merupakan salah satu daya tariknya. Sepertinya Ia baru saja mencukur rambutnya, tak seperti terakhir kali kami bertemu, kali ini Ia terlihat begitu rapih.

"Kok tumben rapih? Dari mana?" Sapaku yang tanpa basa-basi.

"Sesekali rapih, biar lo tertarik." Jawabnya sambil tersenyum. Seketika kurasakan pipiku menghangat.

"Mau bicarain apa? Kalau minta gue baca naskah, belum bisa. Proposal belum selesai." Ucapku mengalihkan pembicaraan sebelum pipiku memerah karena jawabannya. Entah mengapa, belakangan ini Angkasa berubah, sikapnya menjadi lebih dewasa. Tutur bahasanya pun berbeda, terdengar begitu menenangkan.

Aku dan Angkasa memang tak pernah intensif berkomunikasi, tapi selalu ada banyak hal yang mampu membuat kami bertukar pikiran. Seperti waktu kami bertemu seusai aku menghadiri pernikahan rekan kerjaku.

***

Kala itu, datang-datang aku menggerutu, "Resepsi kok ya mahal banget sekarang." Seraya merebahkan diri di kursi dan meletakkan brosur resepsi yang aku bawa di atas meja.

"Memang lo mau nikah sama siapa sih? Datang-datang gerutuin biaya resepsi." Jawabnya.

"Ya sama jodoh gue nanti. Abis gimana dong, gue kan kasian sama calon gue nanti. Mau nikahin gue yang imannya belum benar gini aja mesti ngeluarin uang ratusan juta cuma untuk dua jam." Jawabku dengan raut wajah serius. Entah mengapa kala itu, aku bisa seserius itu.

"Lho, itu bentuk pengorbanan calon lo nanti. Gak ada kata mahal untuk sesuatu yang memang sudah kita idam-idamkan. Apalagi kalau berurusan dengan hal baik." Jawabnya tak kalah serius.

"Pengorbanan kan bisa dalam bentuk lain. Resepsi mewah yang mahal itu kan cuma beberapa jam. Kenapa tidak dialihkan untuk hal lain? Untuk kepentingan jangka panjang kedua belah pihak?"

"Kalau mampu, kenapa engga? Pernikahan kan hal yang begitu kita inginkan."

"Justru karena mampu, selagi mereka mampu, kenapa dana ratusan juta itu tidak mereka alokasikan untuk hal lain? Untuk investasi masa depan mereka, menikah bukan hanya untuk resepsi. Akan banyak hal tak terduga di depannya, selagi mampu, akan lebih bijak jika mereka berpikir tentang hal tersebut. Hidup berputar. Sekarang mampu bisa saja besok tidak." Jawabku menggebu-gebu. Angkasa tersenyum.

"Pemikiran lo benar. Tapi, apa lo engga mau merayakan dengan meriah sesuatu hal yang hanya satu kali lo rasakan?" Tanyanya.

"Dibanding merayakan secara meriah juga mewah, gue lebih ingin sederhana juga khidmat. Pernikahan itu sakral. Gue lebih ingin merasakan kesakralannya, dibanding kemeriahannya. Gue percaya, setelah itu akan banyak hal meriah yang akan terjadi bersama suami dan anak-anak gue nanti." Jawabku. Angkasa tak menjawab apa-apa, ia hanya tersenyum, seakan puas mendengar jawabanku.

***

"Gue engga mau bicarain naskah kok. Thi, sebelumnya gue minta maaf kalau ini bukan waktu yang tepat menurut lo, tapi gue engga mau bermain dengan waktu." Ucap Angkasa serius.

"Thi, kita sama-sama saling kenal. Dan setiap pertemuan, ada banyak hal yang bisa gue pelajari dari lo, dari sudut pandang yang sangat berbeda dari gue. Lo pun tau bagaimana perasaan gue ke lo. Gue paham dan mengerti prinsip lo untuk tidak bermain-main dengan perasaaan." Angkasa semakin serius. Raut wajahnya seakan sedang ingin meyakinkanku.

"Kita udah sama-sama dewasa, bukan umurnya lagi untuk sekedar have a fun dalam menjalin hubungan. Selama ini, gue masih engga tau perasaan lo. Hari ini, gue mau bertanya tentang itu. Apa lo juga punya perasaan yang sama?" Tanya Angkasa yang seketika membuatku terdiam.

Aku bertanya kepada hatiku sendiri. Apakah Angkasa memang ada di sana? Apakah aku pun merasakan yang juga Ia rasakan?

"Apa gue boleh tau perasaan lo?" Tanya Angkasa begitu serius.

"Kalau boleh jujur, gue bahagia bisa kenal dan berbagi banyak hal sama lo. Selama ini gue nyaman berhubungan, berbagi pemikiran sama lo." Jawabku tak ingin begitu terbuka menjawabnya--walau sepertinya aku juga merasakan hal yang sama dengannya.

"Thi, apa gue boleh datang dan meminta langsung dari kedua orang tua lo untuk menjadikan lo istri gue?" Angkasa bertanya dengan nada yang begitu dalam dan serius. Selama mengenalnya, baru kali ini aku mendengar dan melihatnya begitu serius. Aku pun terpana dengan pertanyaannya. Tak menyangka bahwa Ia akan bertanya seperti itu.

***to be continued***

Jumat, 27 September 2013

Untuk Kita Yang Percaya Bahwa Cinta Adalah Ada

0 komentar
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada, bahwa memaafkan tidak seberat memikul dendam.
 
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada, bahwa kita juga percaya bahwa ada rasa saling menghormati kepercayaan di dalam cinta.
 
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada, senyum dalam derita adalah kekuatan yang menguatkan.
 
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada dan untuk Tuhan yang membuat cinta menjadi ada, mari kita bersulang di dalam doa!
 
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada, terkadang kita menyalahgunakan keberadaannya.
 
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada sedari awal kita memulai, kita hanya perlu saling meyakinkannya di tiap hari.
 
Puisi by Zarry Hendrik

Kamis, 26 September 2013

Angkasa... -2-

0 komentar
Lo dimana?
Lo baik-baik aja kan?
Jangan buat gue khawatir. Lo dimana, Thi?
Udah satu jam dan lo belum datang juga. Thi, please kasih tau gue keberadaan lo.
Lo udah sampai rumah, Thi?
Kubaca pesan singkat dari Angkasa. Ternyata dia meninggalkan beberapa pesan tadi. Juga beberapa panggilan.
Gue udah sampai rumah kok.
Balasaku singkat untuk pesan terakhirnya. Tanpa bertanya kembali apakah dia sudah sampai di rumahnya atau belum. Entahlah, aku tidak terlalu menyukai bertanya tentang hal-hal seperti itu. Aku merebahkan tubuhku, memainkan ulang kejadian sore tadi di Pulchra Café dalam lamunanku.
“Thia Salsabilla, lo memang bukan perempuan yang mampu membuat gue jatuh hati pada pandangan pertama. Tapi, lo mampu membuat gue mencintai diri gue sendiri, pada setiap hal yang terjadi dalam hidup gue.” Ucap Angkasa dengan raut wajah serius namun menenangkan.
“Lo buat gue mengerti, bahwa seharusnya kita terlebih dulu mencintai diri sendiri bukan sibuk mencari siapa yang akan kita cintai. Dari ke-enjoy-an lo menikmati waktu kesendirian lo, gue kemudian paham, bahwa sepatutnya tak perlu ada yang dirisaukan. Nikmati dan berbahagia saja selama masa tersebut. Jika sendiri saja tak mampu membuat kita bahagia, lalu bagaimana dengan berdua? Gue masih ingat betul perkataan lo itu.” Lanjutnya. Aku hanya diam mendengarkannya.
Kemudian lamunanku kembali ke waktu pertama kali kita berjumpa. Hari itu aku datang seorang diri ke Bandung. Begitupun dengan Angkasa. Kami duduk di meja yang sama. Aku tak banyak bicara kala itu, terlalu asik menikmati acaranya. Sampai akhirnya Angkasa menegurku basa-basi, bertanya ini itu yang aku jawab sekedarnya. Aku bukan tipe seseorang yang bisa dengan mudahnya akrab dengan orang yang baru kukenal. Aku bisa saja dengan mudahnya risih dengan pria seperti dia, tapi ternyata tidak.
Pertemuan kedua kami terjadi jauh setelah acara gathering tersebut. Itu pun tidak disengaja. Kami bertemu di salah satu mall, ketika jam makan siang. “Thia!” Sapanya seraya menyunggingkan senyum. Aku tak langsung membalas sapaannya, sibuk mengingat namanya. “Gue Angkasa. Pasti lo lupa. Gathering bloging Bandung itu lho.” Seakan mengerti aku tak ingat namanya.
Tanpa kami sadari selama ini, ternyata kantor kami berdekatan. Berawal dari situlah akhirnya kami sering bertemu. Ia beberapa kali meminta bantuanku untuk membaca ulang naskah yang telah ia edit.
Thi, bantuin gue mau gak? Baca ulang naskah yang udah gue edit.
“Kan dia yang editor, kok minta tolong sama gue?” Gumamku membaca pesan singkatnya.
“Jika memang Tuhan menciptakan setiap makhluknya berpasangan, mengapa aku masih saja berpasangan dengan kesendirian? Tanyaku pada Tuhan.” Ucapku mengulang satu kalimat dalam naskah yang telah Angkasa edit. Berawal dari kalimat tersebut, kami akhirnya berbagi pemikiran tentang kesendirian.
“Kenapa pertanyaan tersebut masih ditanyakan? Bukankah itu terlihat seperti kita tidak menikmati kesendirian itu sendiri?” Tanyaku pada Angkasa.
“Mengapa harus dipertanyakan? Nikmati dan berbahagia saja selama masa tersebut. Jika sendiri saja tak mampu membuat kita bahagia, lalu bagaimana dengan berdua?” Tanyaku lagi sebelum Angkasa menjawab pertanyaanku sebelumnya.
“Lo bahagia?” Tanyanya singkat.
“Tentu. Bukankah kita harus menikmati setiap fase dalam hidup?”
“Lo gak mau berbahagia berdua dengan orang yang mencintai lo?” Tanyanya lagi.
“Pasti mau, tapi daripada sibuk mencari seseorang itu, membuat kita lupa untuk mencintai diri sendiri, mencintai setiap hal yang telah DIA beri, bukankah jadinya sia-sia? Terlalu tinggi resiko untuk menyerahkan diri kita kepada seseorang yang tidak mencintai dirinya sendiri. Bagaimana kita bisa yakin dia kelak akan tetap mencintai jika dirinya sendiri saja tak mampu ia cintai?” Jawabku. Angkasa hanya tersenyum mendengarnya.

Rabu, 25 September 2013

Angkasa...

0 komentar
Sore ini hujan turun deras sekali, padahal siang tadi langit cerah bahkan matahari begitu terik. Aku berjalan cepat agar tubuhku tak semakin basah. Aku tak membawa payung hari ini, ah sial memang padahal biasanya aku tak pernah lupa membawa payung. Sore ini aku sudah membuat janji dengan seseorang yang emosinya melebihi singa ketika lapar jika ia dibiarkan berlama-lama menunggu. Dan—lagi-lagi—sialnya aku sudah telat hampir satu jam karena macet yang tidak jelas apa penyebabnya. Handphone ku pun mati karena kehabisan baterai. Entah akan jadi apa aku ketika bertemunya nanti, itu pun jika ia masih bersedia menunggu kedatanganku.
“Kenapa sih dia mesti milih kafe yang jauh dari kantor? Bikin repot aja.” Umpatku dalam hati.
Setelah berjalan kurang lebih 300 meter dari halte, akhirnya aku menemukan kafe tersebut, Pulchra Café, nama kafe tersebut. Dilihat dari luar kafe ini seperti rumah tua. Aku semakin tak habis dengan Angkasa, mengapa ia menginginkan bertemu di sini.
Berbicara tentang Angkasa, dia adalah pria yang baru satu tahun ini aku kenal. Kami bertemu di Bandung kala itu, ketika sama-sama menghadiri gathering salah satu komunitas menulis. Semenjak memutuskan untuk sendiri dan tidak lagi terikat dalam hubungan yang tidak jelas—menurutku—sebut saja pacaran, aku kerap aktif ikut serta dalam kegiatan tulis-menulis, rasanya seperti menemukan kembali diriku yang sebenarnya. Ya, walau tulisanku tidak seberapa bagus tapi rasanya menyenangkan. Angkasa sendiri menurutku sudah professional dalam menulis, melihat latar belakang pekerjaannya sebagai editor di salah satu penerbit.
Aku memasukki kafe dan dengan mudah melihat Angkasa duduk di salah satu meja. Raut wajahnya terlihat panik sekali. Aku semakin enggan bertemu dengannya. “Ia pasti marah besar. Duh kenapa hari ini sesial ini sih?” Gumamku dalam hati. Aku berjalan pelan, tak ingin buru-buru menghampirinya. Namun ternyata ia sudah melihatku—entah dia sedang kenapa—tiba-tiba berteriak memanggil namaku, membuat seisi kafe melihat kearahku.
“THIA!” Teriaknya. Membuatku memutuskan untuk segera menghampirinya agar ia tak lagi berteriak.
“Lo bisa…..” Belum selesai aku berbicara dia sudah terlebih dahulu memotong “Lo kemana aja? Ini kenapa basah semua gitu? Handphone lo kemana? Lo gak kenapa-kenapa kan?” Tanyanya tanpa koma, membuatku heran luar biasa.
“Lo kenapa?” Tanyaku, tak menghiraukan pertanyaannya.
“Duduk. Gue pesenin hot cappucinno ya.”
Aku duduk dan tetap bingung. “Dia kenapa? Kok tumben gak marah gue telat gini?” Pikirku. Padahal sebelumnya ia marah besar ketika Lintang—temannya yang sudah lama menyukainya—datang terlambat.
“Lo kemana? Naik apa ke sini? Engga bawa payung? Handphone lo kenapa? Kok gak kasih kabar?” Tanyanya lagi, tetap tanpa koma.
“Tadi macet, gue naik bus dan gak bawa payung. Handphone gue mati, baterainya habis jadi gak bisa kasih kabar lo.” Jawabku.
“Kenapa lo gak pulang aja sih daripada hujan-hujanan gitu. Gue pikir lo kenapa-kenapa. Tadi gue telpon kantor lo, katanya lo udah pulang. Gue jadi makin bingung.”
“Lo kenapa sih, Sa?”
“Gue khawatir! Lo pikir gue gak bakal khawatir kalau orang yang gue sayang gak ada kabar ketika gue yang minta dia untuk nemuin gue?” Jawabnya.
Seketika aku terdiam. Berusaha mencerna kata-katanya. Aku pikir otakku sudah membeku. “Dia bicara apa tadi? Khawatir? Orang yang dia sayang? Siapa? Gue?” Tanyaku dalam hati.
“Gue gak lagi bercanda, gue serius. Gue khawatir sama lo. Gue sayang sama lo!” Jawabnya seakan mampu membaca pikiranku.
“Lo bisa baca pikiran gue?”  Tanyaku, yang ia jawab hanya dengan senyum.

Senin, 16 September 2013

Hey, kakak sayang kamu!

0 komentar


September....
Lima belas tahun yang lalu, tiga september, pertama kalinya suara tangisnya memecah sepi malam itu. Mengubah cemas menjadi ucap syukur yang tiada henti diucap atas kelahiran putra kedua oleh kedua orang tua kami. Aku, saat itu tak berada disana. Tak menyaksikan kelahirannya. Mungkin masih terlalu kecil untuk ikut menyaksikan, usiaku saat itu baru tujuh tahun.

Waktu berjalan begitu cepat. Lima belas tahun rasanya terlalu cepat kami lalui. Ah, jika bisa aku putar ulang waktu, rasanya ingin sekali aku perbaiki segala prilaku yang menyakiti hatinya. Orang tua kami begitu percaya aku mampu menjadi kakak yang baik, yang dengan sepenuh hati menyayanginya, menjaganya. Namun tidak semudah itu. Beberapa kali aku marah atas kehadirannya, yang mengambil separuh hati orang tuaku.

Ia, dengan usianya yang begitu muda, kerap kali mengalah atas keegoisanku. Ah, bahkan seharusnya aku malu. Ia mengajariku banyak hal di usianya. Kasih sayangnya begitu tulus, walau tak mampu ia ucapkan. Aku, bahkan tak benar-benar mampu membencinya selama lima belas tahun ini. Jauh di dalam hati, aku begitu menyayanginya. Kelak, aku pastikan ia akan tersenyum bahagia dan tak akan pernah terluka. 

Sungguh, tak akan pernah ada saudara yang tak saling menyayangi. Pun kami.

Minggu, 15 September 2013

Belle~

0 komentar

Lapor kapten, misi temu kangen sudah terlaksana! Yeeaayy!

Akhirnya setelah sekian lama nahan rindu untuk jumpa, sabtu ini kita bisa haha hihi bareng lagi! Walau kurang satu tapi ini aja udah syukur sih tanpa babibu langsung ketemu~ udah gak tau berapa lama semenjak lulus kuliah satu tahun lalu, jarang banget ketemu gini. Ketemu sih sering ya tapi gak pernah lengkap. Ini juga gak lengkap sih.... ( '-')

Walau hari ini ketemu cuma untuk ngabisin duit padahal belum gajian sekedar makan, ngobrol dan belanja belinji (karena kini kita semua sudah jadi cewek) tapi rasanya seneng banget. Mereka (Etty; depan kiri, Acha; depan kanan, Amel; belakang kanan) itu teman masa-masa kuliah. Kalau dipikir ulang lagi, gak nyangka sih kita bisa sedekat ini. Diantara mereka bertiga pertama kali ketemu itu sama Acha, waktu PPSPPT (plis jangan tanya apa kepanjangannya, lupak). Dia tuh tadinya abis PPSPPT mau pindah kampus tapi karna semesta emang ngijininnya dia jadi semut dan gula sama gue (dimana-ada-acha-disitu-ada-dalila-dimana-ada-dalila-disitu-ada-acha) jadi batal dan tetep satu kampus. Pas PPSPPT, dia belum berhijab lho, tapi emang dasarnya Allah tuh baik ya jadi pas pertama kali mulai kuliah dia datang dengan hijab. Dan gue senang karna ada temen ribet pake hijab seusai solat hehe... Waktu berjalan, kita sekelas terus, dan akhirnya jadi seakrab ini. Dia itu apa-apanya gue deh pokoknya; apa-apa sama acha, ada apa-apa laporannya acha, punya pacar pun gegara apa-apanya dia. ("--)

Kalau sama Amel, ini tadinya gue gak deket. Gak tau lupa deh tau-tau main ke rumah dia terus tau-tau jadi deket banget sampe-sampe nyokap gue pun akrab. Gue yang anak sulung, ketemu dia yang lebih tua 3 tahun, jadi serasa punya kakak. Ah, pokoknya aku bahagia deh bisa ketemu dia. Walau kalau curhat kadang jawabannya gak nyambung (maklumin aja, mungkin faktor umur) tapi pokoknya dia bisa deh menyabarkan gue yang keras kepalanya luarrrrr biasa. Walau dia yang paling tua diantara kita, tapi dia yang paling baru berhijab, gak apa. Aku sudah sangat senang akhirnya kamu kembali ke jalan yang benar, mbe ~~~\o/ hahaha. Dan, dia sudah jadi istri orang sejak semester 4. ( ._.)

Kalau sama Etty, dia ini dulu awal ngeliat dia tuh agak bete sebenernya diem aja dipojokan kelas. Mau masuk kuliah aja dianterin sama Aa-nya. Deuh, bikin gue sama acha jatuh hati~ hahaha. Awalnya sih pemalu, jaimnya luar biasa tapi akhirnya terkontaminasi sama hebringnya kita. Dia kecil-kecil gini umurnya 2 tahun diatas gue sama acha lhoooo ~~~~\o/ tapi engga pernah mau menerima kenyataan dia sudah tua (,--) dari yang pemalu sampe akhirnya bikin sensasi dengan pacaran sama sang ketua kelas, entah bagaimana pedekatenya. Etty juga sabar banget dan baik banget, saking baiknya kita pernah ke kostan dia, dia nya ngepel dan bebenah, kitanya boboookkkkk di kasur. ~~~\o/

Sejauh ini, Allah selalu baik. Memperkenalkan gue dengan mereka-mereka yang luar biasa baik. Yang dimanapun bisa bikin gue selalu ingat Allah. Yang selalu dengan ikhlas berbagi apapun; suka, duka, tawa, tangis, semangat. Walau sekarang cerita sudah gak seintensif dulu, tapi setidaknya kami saling tau kabar masing-masing.

Terima kasih untuk setiap hal yang sudah kita lakukan. Untuk setiap tangan yang setia mengusap tangis. Untuk setiap hati yang selalu menciptakan tawa. Tak perlu ragu mimpi-mimpi kalian tak menjadi nyata, tetap berusaha! Jangan menyerah! Ucapkan apapun yang kalian mau, lakukan apapun yang kalian bisa dan akan tiba saatnya semesta menjawab semua.



Sampai jumpa secepatnya!




Ps: Hijab mereka beraneka gaya ya? Aku masih tetap sama. Padahal mereka pemula. ( ._.)

Jumat, 13 September 2013

Mereka; Pahlawan Batik

0 komentar


Batik, kain yang selama ini dibangga-banggakan sebagai salah satu identitas nusantara. Yang ketika negara tetangga mengakui sebagai miliknya, "kita" lantas marah. "Kita."

Kita, yang (mungkin) hanya tau jadi. Memilih motif lantas membeli. Yang (mungkin) tak pernah berpikir tentang makna ide kreatif dari setiap motif. Yang hanya menjadikan batik sekedar simbol nasionalis dan juga prestige.

Ketika kini batik menjadi salah satu kain kebanggaan nusantara, aku rasa ada hal yang harus digaris bawahi. Bukan "kita" yang menjadi pahlawan hingga berhasil membut negara tetangga mengakui batik milik negeri ini, namun mereka, yang tetap setia mencipta karya, yang tanpa peduli usia pun meski sudah renta. Ibu-ibu dalam foto ini salah satunya. Bukan dengan emosi namun karya seni. Sudahkah berterima kasih kepada mereka?


Solo, satu tahun lalu.

Kamis, 12 September 2013

My Beloved Bestfriend...

0 komentar
Sahabat, satu kata yang memiliki banyak makna. Setiap orang tidak akan benar-benar memiliki kesamaan dalam memaknai kata sahabat. Sahabat bisa saja adalah teman yang sudah sangat lama kita kenal dan masih memiliki hubungan baik. Atau bisa juga seseorang yang baru saja kita kenal namun mampu memberi ketentraman dalam hati. Ya, hati. Karena sesungguhnya kita menggunakan hati dalam memaknai arti sahabat.

Untukku, sahabat adalah ia yang mampu membahagiakan di saat duka datang. Sahabat adalah ia yang selalu mampu berbagi kebahagiaan. Sahabat adalah ia yang mampu menyisihkan waktu pun ketika dua puluh empat jam berlalu begitu cepat. Sahabat adalah ia yang menyapa walau tak sedang berjumpa. Sahabat adalah ia yang mampu menjaga walau tak sedang bersama. Dan sahabat adalah seseorang yang pertama kali aku ingat namanya di saat masalah mampu membuatku tak mengingat segala hal.

Dan DIA begitu baik, meski hanya memberi satu, namun memberi sahabat yang begitu sempurna. Yang dengan segala kelemahannya mampu membuatku kuat untuk tetap berdiri. Dan dengan segala kekuatannya mampu membuatku merasa lemah untuk menyadarkan bahwa aku memerlukan-MU.



My beloved bestfriend, My Mommy!

Rabu, 11 September 2013

Doa Untuk Dato

0 komentar


Jika ada mimpi dan harap yang menjadi nyata, pasti selalu ada doa beliau di belakangnya. Pun jika ada mimpi dan harap yang tak kunjung menjadi nyata namun aku masih sabar menanti, pasti doa beliau adalah alasannya. Tak perlu memintanya untuk mendoakan. Ia sudah paham betul jika kita mendoakan seseorang, maka malaikat pun akan mendoakan.

Untuk semua kebaikannya, maka Allah......
Ampunkanlah segala dosanya,
Kabulkanlah segala pintanya,
Mudahkanlah urusannya,
Sehatkanlah badannya,
Tentramkanlah jiwanya,

Allah,
Berikanlah dunia yang damai untuknya,
Dan,
Kelak,
Gantilah dengan surgamu bila dunia tak lagi mendamaikannya.....

Dato,
We love you.

Minggu, 08 September 2013

Kami; Kebahagiaan Memahami

0 komentar
Matahari pagi ini begitu cerah seperti ingin bersama merayakan kebahagiaan. Kebahagiaan yang mungkin sudah sejak lama aku tanyakan keberadaannya. Kali ini ia--kebahagiaan ini--datang menyambutku hangat.

Aku bahkan masih benar-benar ingat masa dimana aku mengutuk semua kebahagiaan. Masa dimana aku tak percaya setiap orang memiliki kebahagiaannya. Masa dimana aku bahkan tak mampu membahagiakan diriku sendiri. Sampai pada akhirnya Tuhan menghadiahiku kebahagiaan melalui kehadiran seseorang yang tak aku harapkan sebelumnya.

Aku--kala itu--sedang menjauh dari keramaian kota yang membuatku penat. Menjauh dari senyuman palsu mereka yang sudah tak lagi layak disebut makhluk sosial. Aku meninggalkan kota menuju desa kecil di ujung barat Indonesia. Bertekad menciptakan kebahagiaanku sendiri. Tak ada niat seperti mengajar anak-anak ataupun misi sosial lainnya, di sana aku hanya benar-benar ingin menciptakan bahagiaku sendiri. Aku kala itu tinggal seorang diri di satu rumah yang aku sewa untuk enam bulan.

Setiap pagi aku dapat melihat dengan jelas betapa indahnya matahari terbit. Pandanganku tak dihalangi oleh gedung-gedung tinggi. Indah. Damai. Penduduk di sini sangat ramah, mereka kerap kali berkunjung ke tempatku membawakan makanan buatan mereka sendiri. Tulus. Pun di saat bahasa menjadi penghalang kami. Ah, yang perlu diketahui, walau aku masih berada di Indonesia, namun mereka tak mampu berbahasa Indonesia dengan baik.

Awalnya aku tidak perduli dengan keadaan itu, sampai kemudian datang seorang pria yang datang dengan sejuta mimpi--yang menurutku terlalu muluk. Ia, yang mengetahui bahwa aku datang dari kota, dengan penuh percaya diri mengajakku untuk membantunya--mengajar penduduk di sini. Pahlawan kesiangan, pikirku saat itu. Untuk apa mengajarkan bahasa kepada mereka jika hati mereka sudah mampu berbicara? Tak seperti penduduk kota yang mampu sejuta bahasa namun hati bisu.

Sekeras aku berusaha menolak, sekeras itu pula pria ini membujuk. Karena dibanding hati, komunikasi tetap menjadi faktor utama saling memahami. Jelasnya kepadaku. Aku pun memutuskan membantunya, sedikit demi sedikit mengajarkan bahasa Indonesia kepada mereka. Entah apa yang ada dipikiran pria ini aku masih belum mengerti, bahkan ia tidak sepertiku yang kesulitan berkomunikasi. Ia sangat fasih berbahasa daerah. Lalu apa yang membuat ia kesulitan untuk saling memahami?

Pertanyaan itu lalu dijawab oleh Tuhan dengan membiarkan hati kami saling memahami.



Rabu, 04 September 2013

Sepucuk Rindu~

0 komentar
Ketika rasa tidak lagi sama, mungkin ada sesuatu yang salah.

Dear kalian,
Ingat pernah menerima surat dari blog ini—tujuh bulan lalu?
Ingat pernah ada cerita—yang belum tamat—di blog ini tentang kita?
Ingat bagaimana kita pernah berkumpul lalu tertawa bersama—berlima?
Berlima. Bukan bertiga atau berdua. Pun bukan seorang diri.
Bagaimana keadaan multi-chat setelah kepergian tuan putri?
Tante baik-baik saja? Bagaimana kabar kita? Aku rindu. Peluk sejuta maaf juga sesal untukmu.
Paduka ratu sepertinya sudah lebih dewasa. Beberapa hari lalu, dia mengirimi pesan panjang lebar namun berakhir sama, kesulitan mencerna kata.
Mommy nongski masih berusaha menghindari nasi dan mengganti dengan burger juga kentang dan tak lupa soda? Semangat bekerjanya!
Papah sih baik-baik saja, ya? Kita bahkan baru menghabiskan waktu minggu lalu. Tidakkah juga rindu mereka?
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin disampaikan, namun otak terlalu buntu untuk mencerna setiap aba-aba dari hati. Seakan semua kata berlomba ingin keluar terlebih dulu. Entah itu rindu, benci, duka, suka, apapun.
Bagaimana sabtu lalu? Rasanya ingin sekali bertanya mengapa…… Ah tapi sudahlah. Toh bertanya pun tak dapat membalikkan waktu.
Coba ingat, kapan terakhir kita berlima tertawa bersama? Aku bahkan lupa.

Love,
Tuan Putri.

Ps: Tidakkah surat ini terlalu pendek? Sepertinya stok kenangan mulai menipis dan harus segera di-refill agar melupakan tidak menjadi pilihan. Lalu kapan bertemu?

Minggu, 01 September 2013

Pelangi ini abu-abu

0 komentar

Senja,  pada pukul lima dua puluh lima menit.

Aku terduduk dalam diam di sebuah cafe yang lumayan tenang. Menatap langit sambil sesekali minum kopi atau minum kopi sambil sesekali menatap langit—entahlah. Langit kali ini—seharusnya—sangat indah, guratan warna pelangi seperti mahkota menghiasi langit yang cerah ini. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Berpadu menjadi abu-abu dalam penglihatanku—semu.

Pelangi ini mengingatkanku pada dia yang sangat aku sayangi dalam suatu hubungan yang begitu indah. Sering, beberapa orang menganggap aku bermimpi tentang bagaimana aku memiliki hubungan seindah ini—dulu. Semua berjalan indah. Berbagi apa saja yang bisa kami bagi, entah bahagia pun duka. 

Aku buka kembali beberapa album dalam telepon genggamku, bukti kami benar-benar sebahagia itu. Tertawa penuh bahagia, dalam sorot mata penuh percaya, juga janji—bahwa kita akan tetap seperti ini. Beberapa orang pernah mengatakan, kami terpilih, karna Sang Pencipta begitu baik mempertemukan dua hati yang benar-benar tulus menjalin hubungan seperti ini. Pun mereka katakan kami perlu hati-hati jika kelak jarak menjauhi. Tak ada perkataan mereka yang aku dengar—kala itu. 

Aku yakin betul kami akan selalu mengasihi, berbagi cinta dengan sepenuh hati—tanpa pamrih. Selain kami berdua, beberapa orang pun masuk dalam lingkaran ini. Aku menjadi sangat yakin hubungan ini begitu mudah dijalani, semua akan terus baik-baik saja. Sampai kemudian aku menyadari, ada yang salah dalam hubungan ini. Beberapa kali aku memperingati kelak hubungan ini akan menjadi abu-abu, tak lagi berpelangi—tak ia hiraukan. 

Perlahan namun pasti, tujuh warna pelangi memudar, menjadi satu yaitu abu-abu—seperti kami. Kini kami memilih jalan sendiri-sendiri, jalan yang—untukku—begitu berbahaya untuk dilalui sendiri. Namun, aku sudah terlanjur sendiri. Kami, terpisah oleh sesuatu yang dulu sudah pernah mereka peringati, jarak—walau bukan dalam arti yang sebenarnya.

Jarak itu sudah begitu jauh untuk akhirnya kami kembali. Kami—aku entah ia pun rasakan juga—sudah tidak lagi mungkin kembali. Jarak memisah-paksa-kan kami. Aku bahkan tidak bisa lagi melihat senyum cerianya, mendengar suara gaduhnya, merasakan hangat hatinya. 

Beberapa kali kami berada dalam satu lokasi, namun hati sudah begitu membeku untuk sekedar saling menghangatkan. Kami tersenyum getir. Aku, bukan tidak ingin memperbaiki, namun aku tak mau ia tersakiti bila ia tau sesakit ini untukku—tanpanya. 

Seseorang begitu sangat baik membantukku memperbaiki, namun semua sia-sia, karena justru kami—aku dan seseorang ini—saling melukai. Aku gemetar hebat, kala itu, membaca pesan yang ia tuliskan. Aku terkhianati, ia tersakiti. 

Air mata pun mengalir sederas-derasnya, melihat tak ada lagi namaku dalam sinar wajahnya—semoga tidak dalam hatinya. Jika ada yang ingin aku miliki sekarang ini, hanya abu-abu ini kembali menjadi pelangi. Masih banyak mimpi yang belum terealisasi atas nama kami. Semoga kelak kami masih menjadi orang terpilih hingga hubungan ini dapat kembali. Bersama kembali, berbagi kasih tanpa pamrih. Satu sama lain menjadi pilar untuk bersandar ketika letih. Ya, semoga, kelak, suatu saat nanti.


Semoga ini menjadi bukti, bahwa aku masih begitu menyayangi.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Tuan Pencipta Bahagia

0 komentar
Tuan pencipta bahagia,
Izinkan aku bertanya tentang makna setia
Tidakkah engkau terlalu loyal terhadapnya?


Entah dari mana datangnya, kalimat itu terlintas dalam benakku. Tidakkah seharusnya kesetiaan adalah sesuatu yang harus di-loyal-kan jika kita menginginkan bahagia? Untukku tidak. Aku membenci setia. Ya, kesetiaanmu pada wanita itu.

Aku, yang sudah sejak beberapa waktu lalu menginginkanmu, kemudian harus berhadapan dengan kesetiaanmu terhadapnya. Tidak bisakah kamu menyingkirkannya? Lalu lihat bagaimana aku begitu menginginkanmu. Sungguh terlalu cepat untukmu memutuskan setia terhadap satu wanita. Dalam hidup, terkadang pilihan diperlukan, Tuan. Tak perlu mengikat diri dan hatimu begitu erat. Berilah kebebasan kepada hatimu, biarkan waktu menjawab semua; siapa yang sebenar-benarnya membuatmu bahagia, ketika kelak waktunya tiba.


Tuan pencipta bahagia,
Tidakkah engkau mampu memberiku kesempatan tuk ciptakan bahagiamu?

Jumat, 23 Agustus 2013

Kamu dan Mimpi

0 komentar
Jika mimpi adalah pertanda, maka mungkin mimpi adalah satu hal yang 'kan paling aku benci. Entah dalam kondisi apapun, beberapa hari ini mimpi itu selalu kamu. Perlu aku lurusi dan kamu ketahui, dibanding kamu, sekarang ini aku lebih memilih memikirkan pekerjaan yang akhir-akhir ini seperti keadaan metromini pagi hari; penuh sesak. Aku bahkan tidak pernah lagi memikirkan bagaimana bahagianya bisa berjumpa lalu berbagi tawa denganmu. 

Namun, lagi-lagi mimpi ini, yaitu kamu, selalu menghantui. Dan entah siapa orang yang pertama kali mencetuskan "jika kita bermimpi tentang seseorang, itu pertanda; kita benar-benar rindu atau sesuatu hal terjadi" rasanya aku benci mengingatnya. Karena jelas-jelas tidak ada sesuatu hal yang terjadi padamu dan kamu dipastikan baik-baik saja. Aku bahkan juga tidak merindukanmu. Ah, atau lebih tepatnya tidak berusaha untuk mengingat bahwa aku benar-benar merindukanmu.

Entah bagaimana aku, dengan otak yang sudah penuh sesak karna pekerjaan ini, masih mampu menyisipkan satu ruang untukmu. Entah bagaimana juga, kamu bisa berlama-lama di sana. Tidakkah ini terlalu lama untuk bermain sesuka hatimu? 

Jika ada yang benar-benar aku hindari akhir-akhir ini, itu adalah mimpi dan kamu.

Lihat dan Rasakan

0 komentar
Sore ini cuaca sangat bagus, langit masih saja cerah namun tidak lagi terik. Jam tanganku menunjukkan pukul tiga sore dan karena di kantor sudah tidak ada lagi yang bisa aku kerjakan, aku memutuskan untuk pulang. Beruntungnya, jam kerjaku tidak dibatasi, aku bisa datang dan pergi semauku. Seperti sekarang ini.
Daripada pulang ke rumah, yang sepi karena aku tinggal seorang diri di apartemen, aku lebih memilih untuk mampir terlebih dulu ke salah satu mall di jakarta. Jalanan sore ini belum macet, mungkin karna jam pulang kerja masih dua jam lagi. Aku membuka kaca jendala mobil, dengan kecepatan lumayan tinggi, hembusan angin menyibakkan rambut panjangku.
Seaampainya di mall, aku memilih untuk langsung ke salah satu cafe, sejujurnya aku tidak suka berjalan-jalan di mall untuk sekedar cuci mata. Aku duduk di bagian luar salah satu cafe di lantai dua. Cuaca hari ini terlalu indah untuk tidak dinikmati. Aku memesan segelas coffee dan sepotong cake, sambil asik memainkan tablet dan ditemani alunan musik dari cafe, sore ku ini indah sekali. Sampai akhirnya.......
Aku melihat seorang ibu, yang usianya mungkin sudah sekitar 50 tahun menggendong anaknya dan beberapa kantong kerupuk, sedang menyusuri pinggiran jalan. Yang membuatku tercengang adalah ibu ini buta. Ia berjalan menggunakan tongkatnya, anaknya, yang mungkin berusia enam tahun, menangis. Ibu itu menepi dan berhenti, aku dengan jelas melihat bagaimana sulitnya ia meraba pinggiran jalan untuk mencari tempat untuk duduk, sedang aku duduk nyaman di cafe ini.
Anaknya masih menangis, dan ibunya sibuk meraba ke dalam tas plastik hitam kecil yang ia bawa, kemudian ia mengeluarkan segelas air mineral dan satu bungkus roti, memberikannya pada anaknya. Habis, tidak ada yang tersisa untuk ibu itu. Sedang aku kerap kali tidak menghabiskan makananku.
Mungkin karena terlalu letih, ibu itu tidak langsung meneruskan perjalanan setelah anaknya berhenti menangis. Ia duduk dan meluruskan kaki. Sendal yang ia gunakan sudah sangat jelek. Entah bagaimana rasanya berjalan kaki dengan sendal seperti itu.
Ibu itu terlihat sibuk menghitung uangnya, entah bagaimana caranya ia bisa membedakkan uang-uang tersebut. Seusainya ia bangkit kembali, dan berlalu meneruskan perjalanan. Seakan ia tidak ingin membuang waktunya. Sedang aku di sini, sedang membuang waktuku.
Mataku masih tertuju di tempat ibu itu tadi, seketika hatiku berkecambuk. Beberapa waktu yang lalu aku masih merasa aku bahagia, namun sekarang hatiku bertanya, sudahkah aku benar-benar bahagia? Hidupku selalu berjalan mudah, sesuai dengan apa yang aku mau. Aku tidak perlu bersusah-susah berusaha, Tuhan sangat baik memberi apa yang aku ingini. Sedang ibu itu, ia berusaha sekuat tenaganya, namun tidak seberapa yang ia dapat, aku yakim bukan hal seperti itu yang selalu ia panjatkan dalam sujud dan doanya. Apa? Sujud? Doa? Entah sudah berapa lama aku tidak lagi melakukannya. Setika itu pula aku bangkit dari tempatku, sebelum airmata jatuh lebih deras.
Sesampainya di apartemen, aku menangis sejadi-jadinya. Mengingat bagaimana lancangnya aku kepada Tuhan. DIA berikan semua yang aku ingini, namun apa yang aku beri? Nihil. Jangan untuk sesama, untuk sekedar berterima kasih pada-NYA saja aku tidak lakukan. Rasanya tubuhku seketika lemas, rasanya hatiku seketika remuk, membayangkan apa yang harus aku ucapkan pada Tuhan nanti. Sudah berapa banyak orang, seperti ibu tadi, yang sudah aku bantu? Sudah berapa banyak syukur yang aku panjatkan? Dengan tertatih, aku berusaha bangkit, mengambil wudhu, lalu bersujud dalam-dalam.

Selasa, 20 Agustus 2013

Kepada Penggenggam Hati

2 komentar
Kepada penggenggam hati,


Sampai kapan aku menanti?
Tidak kah engkau rindu untuk saling mengisi?
Masih kah waktu dapat aku percayai untuk menanti?
Bagaimana kah jika ia mengkhianati?
Bisa kah engkau berjanji untuk menepati? Bahwa tidak ada hati lain yang memasukki.

Aku di sini menanti, dengan begitu banyak mimpi.
Bahwa kelak kita berjumpa lalu menyatukan hati.
Bersama-sama merajut mimpi dengan penuh cinta dari dua hati.

Selasa, 06 Agustus 2013

My Wedding Dream

0 komentar
"Every single woman has a dream about their wedding"

Pernikahan, setiap manusia pasti pernah memiliki harapan tentang bagaimana pernikahannya dilangsungkan, baik wanita ataupun pria. Sebagai wanita (semoga 1, 2 atau 3 tahun ke depan) yang juga akan melangsungkan pernikahan pun memiliki mimpi tentang bagaimana pernikahan itu dilangsungkan.

Bermimpi tentang bagaimana pernikahanku nanti, selalu menyenangkan. Mimpi tentang bagaimana pernikahan itu dilangsungkan, bukan tentang dengan siapa aku menikah. Siapapun ia, semoga kelak kami bertemu dalam sebaik-baiknya waktu dan perasaan. Semoga kelak kami adalah sebaik-baiknya pasangan untuk satu sama lain.

Pernikahanku nanti, aku harap sederhana saja. Sesederhana bagaimana kita menyatu–karenaNYA.  Pernikahanku nanti, tidak perlu dirayakan di gedung mewah nan megah, sederhana saja. Cukup di aula masjid (aku sudah punya masjid idaman untuk ini) yang designnya sudah cukup megah, untukku. Pesta resepsinya (semoga boleh) aku ganti dengan acara silahturahmi sederhana, yang tentunya tidak memerlukan pelaminan. Cukup kami (aku dan suamiku nantinya) yang menghampiri para tamu setelah prosesi akad selesai. Dan pastinya aku akan menyediakan cukup kursi untuk para tamu menikmati makanan yang dihidangkan setelah kami selesai saling bersilahturahmi.

Mengingat kelak kami yang akan menghampiri para tamu untuk bersilahturahmi, para tamu pernikahanku nanti tidak akan seramai pernikahan pada umumnya, cukup keluarga kami dan para sahabat. Dibanding berada ditengah orang banyak, aku juga lebih suka berada disekitar mereka yg menyayangiku, rasanya lebih nyaman. Oh ya, aku ingin mengundang beberapa anak kecil yang tidak lagi memiliki orang tua. Mengapa? Mama sering kali bercerita tentang bagaimana pernikahannya dilangsungkan, dan itu adalah salah satu cerita favoritku (setidaknya sampai satu hari menjelang pernikahanku. Setelahnya, kelak pernikahanku lah pernikahan favoritku) dan setiap mendengar ceritanya, aku selalu bersyukur, karena Tuhan sudah sangat baik mempersatukan mereka dan mempercayai mereka sebagai orang tuaku. Karnanya, aku ingin membagi perasaaan bersyukur karena Tuhan mempertemukan orang tua mereka (walau kini mereka tidak lagi memiliki orang tua).

Untuk busana yang akan kami gunakan, aku ingin mengenakan kebaya, rok span dan hijab berwarna putih dengan perpaduan silver. Calon suamiku nanti, ia juga akan mengenakan jas dan celana dengan warna yang sama. Untuk model busananya, sederhana saja. Yang paling penting kami harus nyaman saat digunakan untuk berjalan, terutama untuk rok ku. Untuk sepatunya, aku ingin menggunakan high-heels berwarna silver, tidak perlu terlalu tinggi, 5 atau 7 centi sudah cukup (untuk ini saja mungkin aku harus latihan berjalan jauh-jauh hari). Aku tidak ingin membawa bunga atau apapun, tanganku kelak cukup menggenggam tangan suamiku.

Dan dari semua mimpiku itu, semoga kelak ia, siapapun itu, calon suamiku, memiliki mimpi yang sama tentang bagaimana kelak pernikahan kita diselenggarakan . Agar kelak kita tidak perlu beradu agrumen ide siapa yg lebih baik (karena tentunya ideku yang lebih baik) :D

Senin, 15 Juli 2013

Dari Tuna Netra Kita Belajar

0 komentar
Selamat sore. Sudah lama sekali tidak menulis, dan kali ini di tengah perjalanan pulang (yang super macet) ada hal yang tiba-tiba saja menjadi inspirasi untuk menulis.

Di perjalanan pulang ini, ada seseorang tuna netra yang sedang berjalan di tepi jalan. Bukan untuk meminta-minta, tapi terlihat ia memanggul beberapa bungkus kerupuk. Berjalan seorang diri, membawa dagangannya, di tepi jalan yang penggunanya sering kali tidak memikirkan keselamatan orang lain, tentu bukan hal yang mudah. Apalagi, ia, tuna netra. Bisa dibayangkan bagaimana yang ia rasakan. Sulit bukan? 

Dari ia, sebenarnya kita bisa banyak belajar. Percaya diri, pelajaran pertama yang dapat kita ambil. Ia, dengan kekurangannya, tetap percaya pada dirinya sendiri. Ia percaya ia mampu berjalan seorang diri walau mata tak mampu melihat. Tak sedikit dari kita, yang tidak memiliki kekurangan fisik, tidak yakin dengan diri kita sendiri. Kita sering kali memandang rendah terhadap kemampuan diri sendiri. Jika dengan diri sendiri saja kita menganggap lemah, bagaimana kita menganggap orang lain?


Berprasangka baik. Ini adalah pelajaran kedua yang dapat kita ambil. Berjalan seorang diri dengan membawa barang dagangan, dengan mata yang tak mampu melihat, tidakkah ia terpikir "bagaimana jika nanti barang dagangan dicuri?" Tentunya, ia bepikir juga seperti itu. Jika saja ia terus berpikir seperti itu, pastilah ia tak akan pernah berjalan untuk berdagang mencari nafkah. Ia tetap berprasangka baik kepada orang lain dan tentunya kepada Tuhannya, yang menciptakannya dengan kekurangan tersebut. Ia tetap berprasangka baik baik, ia tau dan yakin benar bahwa DIA, Sang Pencipta, tidak menciptakannya dengan begitu saja. Namun, tidak sedikit dari kita, yang DIA ciptakan dengan sempurna, berani untuk berprasangka buruk. Menilai DIA tidak menyayangi kita. Padahal, tanpa pernah kita sadari, ada begitu banyak rahmat yang tercurah.

Semoga dengan tulisan ini, sedikitnya kita mampu belajar dari hal sekitar, termasuk dari mereka yang kita anggap kekurangan. Selamat berbuka puasa.

Jumat, 17 Mei 2013

Enam Belas Mei

0 komentar
Enam belas Mei,
Tepat hari itu, dua puluh dua tahun yang lalu, ada seorang bayi dari sepasang suami dan istri yang berbahagia terlahir ke bumi. Dua puluh dua tahun yang lalu, bayi itu menyabut semesta dengan tangis yang membelah cemas. Saat tangis itu meramaikan seisi ruang operasi, terlihat seorang perempuan dengan wajah letih menyambut dengan senang hati. Perlahan menimang bayi tersebut dengan lembut. Yang dengan segenap hati akan selalui ia kasihi. Dan saat itu pula, perempuan itu resmi dijuluki Ibu. 

Tepat di luar ruang operasi, ada pria dengan harap-harap cemas menanti, memikirkan bagaimana akan berekspresi. Bahagia sudah pasti, tapi rasa khawatir tak bisa dihindari. Ia berjalan pelan menuju ruangan, kemudian langkah terhenti, bukan karena tak berani, tapi ia terlalu takjub dengan peristiwa ini, karena kini akan ada dua perempuan yang ia cintai. Yang dengan segenap hati akan selalu ia lindungi. Dan saat itu pula, pria itu resmi dijuluki Ayah.

Enam belas Mei, dua puluh dua tahun kemudian,
Segalanya berubah. Bayi tersebut telah menjadi perempuan yang sedang berusaha memperbaiki diri. Perempuan yang tanpa henti bermimpi, tentang kehidupan yang akan ia jalani. Perempuan yang berusaha tetap berdiri, ketika hidup menjatuhkannya lagi dan lagi. Dan dari sekian banyak perubahan, ada dua yang tidak pernah berubah. Perempuan yang dua puluh dua tahun yang lalu resmi dijuluki Ibu & pria yang dua puluh dua tahun yang lalu resmi dijuluki Ayah; tetap mengasihi & melindungi.


*****************************************************************************

Mama & Ayah, 
Terima kasih untuk kasih yang tak bersyarat dan tanpa henti.



-Bayi mungil dua puluh dua tahun yang lalu-


Rabu, 15 Mei 2013

The Miracle of Giving

0 komentar
Assalamualaikum. Selamat malam... Ah~ Sudah lama sekali gak ngeblog. *sigh*
Akhir-akhir ini banyak hal yang buat suasana hati jadi amburadul gak menentu yang bikin males banget buat ngeblog. Hm.... Untungnya sih gak bikin males buat tetap berjuang. Baiklah lupakan permasalahan tersebut.

Malam ini, mau sedikit berbagi pengalaman lagi tentang sedekah. Hari ini, setelah satu setengah tahun yang lalu, aku dibuat benar-benar takjub lagi sama keajaiban sedekah. Selama jeda itu tentunya banyak hal juga yang terjadi berkat sedekah, tapi yang hari ini aku rasakan, prosesnya itu bikin terkejut. Gak ada yang nyangka. Oh iya sebelumnya, kalau ada yang belum baca keajaiban sedekah yang dulu aku rasakan, silahkan bisa dibuka di sini

Jadi gini, sebelum resmi lulus dari Universitas, Alhamdulillah aku udah dapat pekerjaan sebagai akuntan sampai pada pertengahan bulan Maret 2013 ini akhirnya aku mengajukan resign. Dikarenakan jarak kantor yang lumayan jauh dari rumah, dengan fisik yang cuma tinggal 'segini-gininya' aku rasa gak sanggup untuk terus kerja di sana. Karena prosesnya harus satu bulan jadi aku masih kerja disana sampai akhir April. Tapi, awal bulan April tiba-tiba Ayah cerita kalau Ia akhirnya mengajukan resign juga dengan alasan tertentu. Kaget. Itu yang aku rasain.

Setelah mendengar kabar itu, aku sendiri jadi ragu untuk resign karena selama ini Ayah masih jadi tulang punggung satu-satunya di keluarga. Aku, pendapatan aku saat itu sebagai fresh graduate masih belum cukup untuk memenuhi pengeluaran keluarga. Apalagi ada adik yang harus masuk SMA tahun ini. Tapi karena setelah diskusi dengan kedua orang tua, akhirnya diputuskan untuk tetap resign. Selama satu bulan masa pengajuan resign itu, aku juga sembari apply-apply ke perusahaan lain. Beberapa kali juga sempat diundang interview namun belum juga memuaskan hasil sampai akhir April. Akhirnya, aku resign dengan belum dapat pekerjaan baru.

Awal bulan Mei, aku dapat undangan test dan interview di salah satu perusahaan di Kawasan Komersil Cilandak. Waktu itu berangkat untuk datang ke panggilan interview itu, aku naik kendaraan umum. Dan saat itu aku belum paham rute menuju kesana, akhirnya meminta bapak supirnya untuk menurunkan di tempat berhenti angkot selanjutnya. Bapak supirnya itu saat itu membawa anaknya kembar, masih kecil-kecil, di angkotnya. Karena bapaknya yang baik banget mau ngedrop sampai pemberhentian angkot selanjutnya, dan saat itu aku inget ada program "Sedekah Kembalian" akhirnya kembalian dari ongkos angkot itu engga aku ambil. Nominalnya sedikit tapi saat itu aku juga niatkan agar interview hari ini berjalan lancar. Dan Alhamdulillah, interviewnya lancar dan selang beberapa jam dikasih kabar lagi untuk interview tahap selanjutnya besok.

Besoknya, aku yang udah liat bagaimana profil perusahaan tersebut jadi sangat tertarik untuk bisa bergabung dan berharap banget agar bisa lolos. Saat itu aku mau niatin lagi sedekah pas berangkat semoga dilancarkan, tapi karena supir angkotnya yang 'selengean' aku tunda untuk ngasih. Interviewnya sendiri berjalan lancar tapi Bapak Manager Financenya itu terlihat ragu dengan kemampuan yang aku punya. Di akhir interview juga beliau sempat bilang seperti ini, "Yaudah, nanti kita kabari lagi ya. Kita juga mau cari kandidat lain dulu untuk perbandingan. Mungkin akhir minggu ini akan dikabari." Saat itu hari Kamis. Aku mendengar Bapak Managernya bilang seperti itu jadi down duluan tapi masih berharap bisa lolos. Akhirnya di jalan pulang, dengan udah gak semangat, aku inget niat sedekah tadi pagi yang belum kesampean. Saat itu uang tunai di dompet cuma tinggal sedikit, kurang dari Rp 30.000 akhirnya aku menyisakan untuk ongkos naik ojek ke rumah dari depan jalan dan sisanya aku sedekahin ke pembangunan masjid. Saat itu aku bener-bener niatin banget semoga perusahaan ini jadi rejeki aku, supaya aku bisa lolos.

Selama nunggu kabar itu, di setiap doa selalu aku selipkan doa "Semoga aku bisa lolos di sana, Ya Allah." Tapi, sampai hari Minggu sore belum ada jawaban juga dari perusahaan. Aku saat itu udah down banget. Berpikir kalau aku gak lolos, tapi di hati itu masih berharap banget bisa lolos di sana. Hatinya itu 'ngeyel' banget dibilangin buat berhenti berharap. Sampai udah ke hari Jumat selanjutnya, pun belum ada jawaban. Dan saat itu aku udah pasrah, udah gak mau berharap banget, udah mau mengikhlaskan saja. "Mungkin ada lagi yang lebih baik yang Allah simpan. Allah baik. Sangat baik." Kata-kata itu aku berusaha yakini banget.

Hari Jumat itu, aku juga ada panggilan interview lain. Kantornya dekat dengan rumah, bergerak di bidang advertising (aku selalu ingin untuk bisa kerja di perusahaan yang bergerak dibidang ini, dan beberapa kali pernah gagal), dan di sana aku bakal menangani pajak (kebetulan, aku suka sekali pajak dari kuliah). Setelah test dan interview, ternyata mereka langsung memberitau aku lolos, karena mereka butuh cepat orang untuk bergabung, dan mereka menawarkan untuk mulai bekerja hari senin dengan status masa percobaan tiga bulan. Setelah diskusi dengan orang tua, akhirnya aku ambil. Dan mulai senin aku bekerja di sana.

Hari pertama kerja di sana, aku masih baik-baik aja, walau ada beberapa aturan dan orang yang gak pas sama karakter aku tapi masih aku acuhkan karena di situ aku mau sambil belajar bagaimana menangani pajak di perusahaan. Hari kedua, suasana makin engga enak. Jadi makin engga nyaman sama lingkungan kerja, ditambah sistem mereka yang berantakan dan aku harus ngerapihin dari awal. Akhirnya terpikir untuk keluar aja, karena aku gak akan bisa kerja dengan suasana dan sistem seperti di sana. Dan, Alhamdulillah kedua orang tua selalu mendukung dengan setiap keputusan yang aku ambil (walau mungkin kadang mereka kecewa). Akhirnya, hari ini aku memutuskan untuk keluar.

Hari ini, sekitar pukul 12 siang, aku buka e-mail. Niat awalnya sih untuk coba apply lagi ke perusahaan lain. Tapi ada satu e-mail masuk yang bikin aku speechless banget. E-mail itu berasal dari HRD perusahaan yang aku pengenin itu. Mereka mengundang untuk interview final jam 10 pagi hari ini, dan saat itu udah pukul 12 siang. Alhamdulillah di handphone masih ada nomor HRD yang pernah kirim pesan, aku hubungi dan ternyata mereka mengajukan re-schedule hari ini jam 4 sore. Dan ternyata mereka kemarin menghubungi aku via telepon cuma gak terjawab karena waktu itu masih bekerja dan handphone ada di dalam loker. 

Perjalanan ke sana itu gak hentinya baca dzikir supaya dipermudah interview final ini. Dan................... Sesampainya di sana, bertemu dengan HRDnya, ternyata gak ada interview tapi mereka langsung bilang aku diterima. Alhamdulillah banget. Engga nyangka, bener-bener engga nyangka. Karena sebelumnya aku udah gak lagi berharap dan udah ikhlasin aja kalau ternyata aku gak lolos. Alhamdulillah banget, sedekah itu, yang engga seberapa itu, membuahkan hasil. Dan ini jadi kado terindah dari Allah buat ulang tahunku besok. Allah punya rencana, mungkin DIA mau lihat sampai sejauh apa aku sabar dan ikhlas. Allah baik. Sangat baik. :")


Ya, itulah kejaiban sedekah yang aku rasakan. Mungkin untuk sebagian orang cerita ini biasa dan gak ada apa-apanya, tapi untukku, ini luar biasa. Semoga sedikit pengalaman ini bisa jadi inspirasi agar tidak ragu bersedekah. Aku pun bukan orang suci yang benar-benar taat, tapi percaya, Allah selalu ada, selalu dekat. Bahkan lebih dekat dengan nadi kita. :")

Sabtu, 16 Maret 2013

Tujuan Hidup

0 komentar

"Tujuan hidup adalah sebuah ketetapan yang mendasari semua rencana dan kerja kita, dan yang menjadi penjaga arah perjalanan." - Mario Teguh

Berbicara tentang tujuan hidup tentunya semua manusia memiliki tujuan dalam hidupnya masing-masing, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek. Dan dalam postingan kali ini saya akan bercerita sedikit tentang tujuan hidup saya. Sebetulnya, postingan kali ini juga sebagai tugas dari mata kuliah Manajemen Strategi.

Saya sendiri memiliki banyak tujuan dalam hidup saya, seperti lulus jenjang S1 dengan IPK memuaskan dalam waktu 1,5 tahun. Disamping tujuan tersebut, masih banyak tujuan yang ingin saya capai dalam hidup saya. Salah satu tujuan jangka panjang saya yaitu kelak menjadi seorang istri dan ibu yang baik bagi keluarga saya. Dan disamping itu, saya ingin sekali memiliki usaha sendiri ketika kelak sudah berumah tangga.

Saya lebih memilih untuk menjadi wiraswasta dibanding menjadi karyawan karena saya berpikir, untuk menyeimbangi tujuan saya menjadi istri dan ibu yang baik nantinya, bekerja sebagai karyawan tidak cukup efektif untuk tujuan saya tersebut, karena sebagai karyawan pastinya waktu saya menjadi sangat terbatas. Beda halnya jika saya menjadi wiraswasta, karena pekerjaan tersebut adalah usaha milik saya sendiri maka waktu saya pun menjadi fleksibel, karena waktu kegiatan usaha bisa saya tentukan sendiri. Karena saya sendiri pernah menjadi pengajar disalah satu bimbingan belajar untuk anak usia dini, dan saya sangat menyukainya, maka usaha yang ingin saya miliki ya seperti itu, membuka bimbingan belajar untuk anak usia dini dengan harga yang terjangkau. 

Dan berdasarkan tujuan saya itu, kegiatan yang saya lakukan saat ini memang masih berada pada tahap awal untuk mencapai tujuan tersebut. Saya sendiri sekarang masih bekerja sebagai akuntan disalah satu perusahaan manufaktur. Walau pekerjaan saya sebagai akuntan sudah sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, tapi bekerja di perusahaan tempat saya bekerja sekarang masih jauh dari kata sesuai untuk tujuan saya. Namun ini tetap saya lakukan sebagai bentuk pembelajaran bagi saya juga untuk menyiapkan modal bagi usaha saya kelak. Karena segala bentuk usaha butuh modal, bukan? :))

**********************************************************************************

Visi dan Misi Perusahaan tempat saya bekerja


Visi:
1. Memberi kepuasan kepada konsumen dengan produk rumah tangga yang memiliki kualitas tinggi dengan harga yang terjangkau.
2. Meningkatkan semangat wirausaha produk dalam negeri dengan produk berkualitas dan dapat mengembangkan produk hingga seluruh wilayah Indonesia.

Misi:
1. Selalu mengembangkan produk dengan bervariasi dengan kualitas terbaik dan sesuai dengan kebutuhan konsumen.
2. Mengembangkan dan melakukan evaluasi pemasaran produk sehingga produk mampu berkembang di seluruh wilayah Indonesia.
 

cinderlila's diary Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template