Selasa, 30 September 2014

In My Opinion, #ShamedByYou #ShameOnYouSBY

0 komentar

Sebagai pengguna aktif internet, khusunya media sosial twitter, pasti lah tidak asing dengan #ShamedByYou atau #ShameOnYouSBY. Hampir satu minggu dua kalimat bertagar tersebut sering wara wiri dalam linimasa saya. Dan bahkan berhasil menjadi Trending Topic World Wide. Walaupun akhirnya Twitter memutuskan untuk menghilangkan #ShameOnYouSBY dari Trending Topic.

Rasa kecewa terhadap Pemerintah yang mengubah Pilkada langsung dari rakyat menjadi Pilkada berdasarkan DPR lah asal muasal dua kalimat tersebut muncul hingga ramai diperbincangkan oleh media lokal maupun internasional.

Dan saya melalui tulisan ini, ingin sedikit membagi opini pribadi saya mengenai hal tersebut. Juga, tulisan ini tidak bermaksud untuk membela atau mendukung siapapun. Murni hanya opini saya.

Mengetahui bahwa pilkada langsung dihapuskan dan kita kembali memakai pilkada melalui DPR pun jujur saya kecewa. Karena ketika negara lain berjuang untuk bisa menerapkan demokrasi, negara saya malah memutuskan untuk mundur. Walau para pencetus hal tersebut beranggapan pilkada langsung membuang banyak anggaran dan banyak kecurangan, namun setidaknya dari sanalah masyarakat awam seperti saya belajar mengenal politik, belajar untuk mengenal siapa pemimpinnya. Ya, karena kami dituntun untuk memilih. Seharusnya, mereka memperbaiki bukan meniadakan kembali.

Saya sungguh berada dalam kubu yang kecewa. Sungguh saya kecewa dengan bapak ibu wakil rakyat yang malah merampas hak rakyat. Namun, tidak srrta merta membuat saya menyalahkan satu orang dan membuat saya beranggapan berhak untuk mencaci orang tersebut. Yaitu Bapak Presiden.

Di dalam benak saya, mungkin ini juga bukan hal mudah untuk Bapak Presiden mengambil keputusan. Beliau--yang mungkin tanpa kita ketahui--pastilah memiliki pertimbangannya sendiri. Terlebih, tidak mudah untuk mengurus suatu negara. Selama kurun waktu 10 tahun, saya rasanya sudah sering sekali melihat banyak makian dan cacian yang ditujukan untuk Bapak Presiden. Dan ketika dua kalimat tersebut menjadi Trending Topic World Wide, rasanya saya malu.

Saya tidak melarang untuk memberikan kritik, tapi rasanya kurang sopan bagi kita--warga negara--jika mencaci, memaki dan mengolok-ngolok pemimpin tertinggi di negeri ini. Apalagi melalui media sosial yang semua orang dimanapun dapat langsung mengetahui.

Ketika dua kalimat tersebut menjadi Trending Topic, saya langsung terbesit pertanyaan "Apa yang akan orang asing pikirkan terhadap negara saya?" Tidakkah itu memalukan? Jika warganya sendiri tidak menghormati pemimpinnya, akankah pihak asing menghormatinya? Akankah juga menghormati negara saya?

Saya sungguh tidak melarang kritik kritik yang timbul namun setidaknya kita dapat membedakan antara kritik dan cacian juga makian.

Dan mungkin, kekecewaan yang timbul akibat kemunduran demokrasi ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semua, baik elit politik ataupun masyarakat awam, agar kita lebih dewasa untuk berpikir, berbicara dan bertindak. Agar kelak dapat kita nikmati hasil demokrasi yang bersih.

Rabu, 10 September 2014

Do'a Baikkah Ini?

0 komentar
"Panjatkan lah do'a-do'a baik dengan cara yang baik untuk orang lain, maka malaikat akan mendo'akan mu seperti yang kamu lakukan..."

Begitu lah kiranya, suatu kalimat yang pernah saya baca pada sebuah buku.

Setidaknya--sampai kemarin--saya masih beranggapan bahwa do'a yang baik adalah do'a yang membawa kebahagiaan. Do'a yang bila Allah kabulkan akan membawa senyum bahagia umatnya. Do'a yang tidak membuat siapapun bersedih atau harus meneteskan air mata--kecuali air mata bahagia. Do'a yang baik mestilah dipanjatkan dengan niat yang baik. Niat untuk tidak menyakiti siapapun melainkan membahagiakan siapapun.

Lalu, malam ini saya dihadapkan pada pertanyaan besar,

"Ya Allah, apakah do'a yang saya panjatkan ini baik? Ya Allah, apakah do'a yang saya panjatkan ini membawa kebaikan bagi orang lain? Ya Allah, apakah do'a yang saya panjatkan ini membawa kebahagiaan untuk saya? Untuk semua orang? Karena sungguh, saya tidak merasa do'a ini baik. Haruskah Ya Allah, saya panjatkan do'a ini? Haruskah Ya Allah, saya gantungkan do'a ini pada pintu-pintu di langitmu? Karena sungguh, saya tidak mampu berbahagia dalam memanjatkannya."

Sekiranya seperti itu.

Saya sungguh tidak mampu mengenali apakah do'a yang akan saya panjatkan ini baik. Sungguh, saya tidak tau apakah do'a yang akan saya panjatkan pantas.

I really never imagined the day would come where i would kneel and raise my hands, then pray like this....

"Ya Allah, jika memang engkau memilih untuk menyembuhkannya, maka angkatlah penyakitnya. Sembuhkanlah ia. Namun jika tidak, maka angkatlah penderitaannya. Lapangkan dan mudahkanlah segalanya."

Though,

It's hurt me so deeply.
It drives me so crazy.
It makes me so sorry.

But...... i did.
Yes, i did.

So,

God, please forgive me.
God, please give him the best.

Senin, 08 September 2014

Berhentilah Beranggapan...

0 komentar
8 September 2014, 12:35 WIB.

Di tengah suasana makan siang yang disambi dengan mengobrol ringan dengan rekan kantor.

A: Iya bulan depan si I nikah, tahun depan kamu ya, La.
Me: Aku mau nikah tapi keluar dari kantor ini dulu.
B: Iya, di kantor ini bilangnya gitu. Di kantor setelahnya juga gitu. Karena malu gak punya pasangan ngomong gitu lagi. Terus nanti keluar, masuk kantor baru ditanya kapan nikah jawabnya gitu lagi. Gak nikah-nikah deh.

Begitulah kira-kira percakapan yang bikin mood seharian ini jadi berantakan. Mungkin niatnya bercanda, tapi buat gue yang emang lagi nahan sakit karena hari pertama datang bulan juga ditambah kerjaan yang gak kunjung selesai, pernyataan tadi lebih mengarah pada menghina. Apalagi, jika pernyataan tadi keluar dari mulut seorang bapak yang sebenarnya sungguh gue hormati di kantor itu.

Di usia--yang baru--dua puluh tiga ini, rasanya memang terlalu dini untuk menjadi sensitif jika ada pertanyaan mengenai pernikahan, tapi rasanya sudah cukup pantas untuk tersinggung jika ada yang menjadikan hal tersebut menjadi hal candaan.

Entah udah berapa tulisan yang gue posting mengenai itu. Entah udah berapa kali gue ngomong dan nulis di setiap linimassa "siapa sih yang gak mau nikah? perempuan mana sih yang gak punya mimpi akan pernikahannya?"

Sungguh.....
Gue capek. Hahahahaha...

Bahkan ketika kedua orang tua masih santai ngeliat anak gadis pertamanya masih asyik dengan dunianya sendiri, ada orang orang yang sibuk berkomentar bahkan menertawakan dunianya.

Memang gak semua orang bisa seperti yang kita inginkan. Bisa mengerti yang kita pikirkan. Bisa memahami apa yang kita lakukan. Tapi, sungguh gue gak ngerti dan gak paham kalau sampai ada orang yang tega melontarkan candaan seperti tadi.

Mungkin menjadi single sampai bertahun-tahun untuk sebagian dari kalian adalah suatu hal hina, tapi kalian tidak benar-benar tau ada hal-hal yang mungkin sedang diperjuangkan. Ada tangis yang ia coba tahan. Ada senyum yang ia coba perlihatkan. Ada doa yang tak pernah henti dipanjatkan.

Jadi tolonglah, berhenti beranggapan paling mengerti sampai beranggapan tak masalah untuk menyinggung sedikit perasaan orang lain. 

Minggu, 07 September 2014

Teruntuk kamu yang masih tetap sama

0 komentar

Hai, apa kabar kamu?
Ya, aku tau. Aku tak perlu merisaukanmu.
Kamu bahkan masih mampu tersenyum seceria itu setelah semua yang menimpamu.
Dan bagiku itu seakan menjauh-paksakan aku.

Kabarku?
Aku rasa sepatutnya kamu meluangkan pikiranmu untuk bertanya tentang itu.
Lalu akan ku jawab "aku merindukanmu" dengan keyakinan utuh.
Tak apa jika kau tak percaya.
Karna nyatanya pun aku juga tak percaya bahwa masih kamu satu-satunya nama yang ku pinta dalam tiap doa.

Dan sekarang apa kabar kamu setelah mengetahui hal itu?
Juga bila aku katakan aku benar-benar menginginkanmu.
Masihkah kamu mampu tersenyum seceria itu?

Our Dreams, Seoul! -5-

0 komentar

"A ha! Gue mau gantungin di sini gembok gue.” Ucap Iman bersemangat sambil sibuk menyiapkan dua gembok hatinya.

“Jangan nulis nama gue di gembok lo ya, Man. Jangan. Gue udah ada yang punya.” Teriak Sukma bercanda.

“Tau deh yang udah ada yang punya.” Aku, Ana dan Nita balas meledek Sukma berbarengan. Dan kami pun tertawa bersama.

Seselesainya menggantungkan gembok masing-masing di tempat pilihan terbaik menurut kami. Kami pun beranjak menuju kafe yang juga terletak di bagian dasar Namsan Tower. Di kafe ini pun unik, setiap pengunjung berhak menggantungkan atau menempelkan note yang entah berisikan pesan untuk kafe ini atau harapan atau hanya sekedar nama dan tanggal.

“Ayo cepetan cerita lo, Ma.” Paksa Iman setelah kami selesai memilih menu makanan.

“Kalian kok jadi kepo sih? Yampun gue jadi berasa Jessica yang lagi ditanya sama wartawan tentang Taecyon.” Canda Sukma yang berakhir dengan insiden pelemparan tissue oleh Nita.

Nita memang masih sensitif jika mendengar Jessica dan Taecyon diucapkan bersamaan.  Bahkan mungkin kami masih ingat betul patah hatinya Nita saat itu. Dua tahun lalu, ketika agency Jesicca dan Taecyon mengakui bahwa mereka benar-benar pacaran, kami sedang berada di rumah Ana, melepas rindu setelah satu tahun tidak pernah bertemu dengan formasi lengkap. Aku, Ana, Nita sedang asik di dapur, memasak menu andalan kami, toppoki dan mandu—walau mandu nya lebih terlihat seperti pastel tapi biarlah.

Sedangkan Sukma dan Iman sedang asik di depan laptop, Iman sedang memperlihatkan Sukma  isi tumblr nya yang semakin hari semakin keren. Iman terlihat sudah semakin serius menekuni hobi nya yang kini juga menjadi sumber penghasilannya, menjadi freelancer untuk majalah online.

“OMAYGAT! NITAAAA!” tiba-tiba Sukma berteriak sambil memegang handphone nya.

“OMAYGAT! SUKMA GUE KAGET!” Iman marah karena Sukma teriak persis di sampingnya.

“Kenapa sih?” Nita langsung menuju Sukma dengan penuh penasaran. Aku dan Ana pun mengikuti.

“O....maygaattt..........” Ucap Nita dengan nada sangat pasrah ketika membaca berita dari handphone Sukma. Ia pun seketika kehilangan keseimbangan lalu terjatuh terduduk di sofa dengan tatapan kosong.

“Kenapa sih? Nita lo kenapa?” Tanya Aku dan Ana yang masih belum tau ada berita apa.

“Jessica and Taecyon Dating.” Bacaku ketika membaca berita yang ditunjukan oleh Sukma.

Dan tiba-tiba ketenangan dan kebahagiaan yang kami rasakan berubah menjadi kacau balau dan berita yang amat sangat menyedihkan untuk kami semua. Terutama bagi Nita. Nita tak berhenti menangis saat itu, butuh waktu dua jam untuk menenangkannya. Bahkan mandu yang kami buat pun menjadi gosong karena sibuk menenangkan Nita.

“Cepet cerita deh gak usah bahas-bahas yang dulu-dulu.” Nita masih sebal.

“Oke oke teman-teman. Kalian masih ingat kan gue pernah cerita gue lagi dekat sama satu cowok dan dia ngajak serius? Ya, dia itu yang namanya Bani. Dia itu teman sekantor gue. Dari awal dekat sama dia, dia berkali-kali ngomong kalau dia mau serius sama gue. Awalnya sih gue gak terlalu mikirin, tapi lama kelamaan dia jadi makin serius. Bahkan dia pernah tiba-tiba main ke rumah gue dan kenalan sama orang tua gue.” Cerita Sukma dengan raut wajah yang begitu bahagia.

“Bani itu tiga tahun di atas gue, dia itu sosok pria yang serius tapi menyenangkan. Entah gimana caranya, dia bisa bikin gue nyaman untuk jadi diri sendiri. Sebelum berangkat ke sini, dia lagi-lagi ngomong kalau dia mau serius jalin hubungan sama gue.”

“Dia ikut ke sini?” Tanya Ana.

“Iya, ikut. Bahkan tadi dia mau ikut ketemu kalian, katanya mau kenal sama teman-teman gue. Tapi daripada nanti jadi makin heboh, gue tinggal aja dia.” Jawab Sukma.

“Ah payah bukannya dibawa. Kan gue pengen liat siapa sih yang bisa bikin sesosok Sukma pipinya jadi merah gini.” Goda Nita sambil menyikut Sukma. Aku, Ana dan Iman pun ikut menggodanya.

Kami pun melanjutkan bercerita sambil menikmati makanan yang telah tersedia. 
“Ngomong-ngomong, besok kita mau jalan kemana lagi nih?” Tanya Ana. “Gue mau ke Little France deh.” Ucap Nita.

“Gue sih kemana ajalah asal sama kalian, asal jangan ke hati Iman aja. Nanti Yonghwa marah.” Candaku.

“Yaudah gini aja, penginapan kalian dekat sama kafe pertama tadi kan? Kita ketemu di sana lagi aja dulu jam 9, baru nanti kita tentuin mau kemana. Gimana?” Atur Ana. 

“Oke Call!” Jawab Iman sok ke-korea-korea-an.

**To be continued**

 

cinderlila's diary Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template