Senin, 15 Desember 2014

Gugusan Kamu

0 komentar

Minggu, pukul sepuluh malam.

Malam ini kerlip bintang bersemarak dalam pekat langit nan hitam. Pun pula sinar bulan. Namun keduanya tak mampu begitu saja mengenyahkan gundah yang sedari tadi aku risaukan.

Aku pandangi lagi lekat lekat kemerlap bintang, namun sesuatu yang begitu membentang semakin tak terkalahkan.

Aku pandangi lagi diam diam sinar bulan, namun kosong dalam relung semakin tak terbantahkan.

Aku pandangi dan pandangi lagi, berusaha mencari sebab hati meracau sedari tadi namun tak jua mendapat jawaban.

Langit semakin pekat dan bintang semakin giat berkerlip. Kuhitung dalam diam gugusan bintang yang terbentang.

Satu.
Dua.
Tiga.
...
...
...
Kamu.

Terpaku aku dalam sunyi dengan apa yang baru saja diucap bibir ini. Mengunci mati racauan hati sedari tadi. Mengisi ruang di relung secara perlahan. Hanya dengan sebuah gugusan.....

....
....
....

Kamu.

Kamis, 16 Oktober 2014

Selamat Jalan, Wa...

0 komentar

12 October 2014,
09:50 WIB.

Waktu rasanya berjalan semakin cepat, gak kerasa sudah enam hari semenjak kepergian almarhum. Rasanya masih gak percaya, almarhum pergi secepat itu. Tapi mungkin delapan bulan berjuang melawan kanker bagi beliau berjalan begitu lama. Sakit yang gak pernah hilang bahkan selalu bertambah. Dan semua itu akhirnya berakhir. Kalau ingat itu, rasanya ingin marah sama diri sendiri karna susah sekali ikhlas melepas kepergian almarhum.

Sepuluh tahun lebih tinggal di satu rumah yang sama dan selama itu almarhum begitu menyayangi kami. Dan bahkan selama itu almarhum lebih sering menemani saya kemanapun. Jadi, bagaimanalah saya bisa semudah itu untuk melepas kepergiannya? Almarhum bahkan sudah lebih dari seorang paman, buat saya almarhum sudah seperti orang tua saya sendiri.

Selama hidupnya, saya jarang sekali mendengar almarhum mengeluh bahkan ketika almarhum terkena kanker. Dan saya tidak mampu untuk menahan tangis ketika almarhum menulis bahwa kepalanya sakit luar biasa (karena almarhum sudah tidak bisa berbicara ketika terkena kanker). Saya menyesal rasanya telat mengetahui sakit yang almarhum derita. Maafkan kami, Wa...

February 2014, ketika almarhum batuk dan mengeluarkan darah, dokter memvonis beliau terkena kanker thyroid stadium dua. Rasanya hati saya runtuh ketika mendengar hal tersebut. Ya Allah, mengapa kami begitu bodoh tidak mengetahui penyakit itu bersarang ditubuh almarhum? Bahkan ketika tanda-tandanya sudah ada.

Maret 2014, almarhum menjalani operasi pertama. Leher almarhum harus dilubangi untuk menyelamatkan pernafasnnya. Karena kanker sudah hampir menutupi pernafasannya. Operasi berjalan lancar. Namun dua hari setelah kepulangan almarhum ke rumah, almarhum batuk dan mengeluarkan darah dari mulut dan lubang pernafasan di lehernya. Rasanya begitu menyakitkan melihat almarhum masih sempat menghibur saya untuk kuat dan meyakinkan saya bahwa almarhum akan selalu bersemangat untuk sembuh.

May 2014, seharusnya 16 May 2014 almarhum dijadwalkan untuk operasi kedua. Operasi tersebut operasi inti untuk mengangkat kankernya. Tanggal tersebut tepat sekali dengan ulang tahun saya. Kesembuhan almarhum saya harap menjadi kado ulang tahun untuk saya saat itu. Namun, 4 hari sebelum operasi, dokter membatalkan operasinya dikarenakan kanker sudah naik menjadi stadium 4. Dan sudah menyebar ke lidah almarhum. Jika operasi tetap dijalani, lidah almarhum harus ikut diangkat. Kami tidak sanggup membayangkannya. Dan akhirnya setelah berdiskusi juga dengan almarhum, kami memutuskan untuk menunda dan menjalani kemo terlebih dulu untuk mengecilkan sel kanker tersebut.

Kemoterapi yang seharusnya dijalani almarhum adalah 25 kali. Namun kenyataannya, almarhum hanya sanggup menjalani 10 kali kemo. Juni, July, Agustus keadaan almarhum naik dan turun, ada kalanya almarhum sehat dan bahkan mampu membawa kendaraan tapi ada kalanya bahkan almarhum tidak sanggup untuk berdiri.

Sampai akhirnya September 2014, keadaan almarhum semakin parah. Almarhum semakin sering mengeluh giginya sakit, lehernya panas, bibirnya kebal dan kepalanya semakin sakit. Almarhum bahkan tidak sanggup mengunyah dan menelan makanan. Tapi dokter pun tidak bisa memberi obat apapun, karena sumbernya adalah kanker itu sendiri. Almarhum mulai makan melalui hidung menggunakan selang, itupun hanya mampu cairan.

Tapi almarhum masih bersemangat untuk sembuh. Sampai ketika almarhum dan orang tua saya mendatangi dr. Warsito (menurut sumber dr. Warsito memiliki pakaian penghilang kanker) tapi kenyataan pahit harus almarhum terima bahwa nyatanya kankernya sudah tidak bisa disembuhkan. Mungkin dari situ lah almarhum mulai ikhlas jika sewaktu-waktu malaikat maut menjemputnya. Kami pun bersiap, tapi sungguh... tidak secepat ini, Ya Allah. Hanya berselang beberapa hari.

10 October 2014, almarhum jatuh ketika ke kamar mandi dan sempat tidak sadarkan diri, 11 October 2014 semuanya sudah kembali normal. Aktifitas sudah seperti biasa. Dan kami tidak menyangka 12 October 2014, kami kedatangan tamu yang tidak kami ketahui kedatangannya sampai akhirnya ia pergi membawa almarhum selama-lamanya, ya malaikat Izrail, malaikat maut.

Saya sampai detik ini tidak pernah menyangka hari itu saya menyaksikan langsung kepergiannya. Saya tidak menyangka saya akan melihat almarhum meregang nyawa. Tapi sungguh, Allah begitu baik. Tidak saya lihat almarhum kesakitan, almarhum pergi begitu tenang. Sampai kami mengira almarhum tidur. Saya bahkan masih mengira almarhum pingsan ketika saya tidak dapat menemukan detak nadinya. Karena kepergiannya sungguh begitu tenang.


Ya Allah.....
Aku menyesal begitu banyak menyakitinya.
Aku menyesal tidak mampu membahagiakannya.
Aku menyesal tidak maksimal merawatnya.
Aku menyesal karna ketakutan ketika almarhum menatap untuk terakhir kalinya.

Ya Allah......
Sungguh sampaikan maaf dan penyesalan ini.

Ya Allah........
Hatiku sakit.
Aku kehilangan sosok almarhum yang selalu melindungi.
Aku kehilangan sosok almarhum yang selalu menyayangi.
Aku kehilangan sosok almarhum yang selalu mendukung.
Hatiku hancur.

Ya Allah........
Sungguh berkali-kali aku meyakinkan hati untuk ikhlas, tapi selalu berakhir perih di dalam sini.
Maafkanku jika air mata ini hanya memberatkan kepergian almarhum.

Ya Allah........
Berjanjilah, untuk menjaga almarhum.
Melindungi almarhum, menempatkan almarhum di sisi-Mu yang paling baik.
Hilangkan segala sakitnya. Mudahkan almarhum menjawab setiap pertanyaan malaikat-Mu. Aku percaya, Engkau adalah sebaik-baiknya penjaga.

-his little nephew-

Selasa, 30 September 2014

In My Opinion, #ShamedByYou #ShameOnYouSBY

0 komentar

Sebagai pengguna aktif internet, khusunya media sosial twitter, pasti lah tidak asing dengan #ShamedByYou atau #ShameOnYouSBY. Hampir satu minggu dua kalimat bertagar tersebut sering wara wiri dalam linimasa saya. Dan bahkan berhasil menjadi Trending Topic World Wide. Walaupun akhirnya Twitter memutuskan untuk menghilangkan #ShameOnYouSBY dari Trending Topic.

Rasa kecewa terhadap Pemerintah yang mengubah Pilkada langsung dari rakyat menjadi Pilkada berdasarkan DPR lah asal muasal dua kalimat tersebut muncul hingga ramai diperbincangkan oleh media lokal maupun internasional.

Dan saya melalui tulisan ini, ingin sedikit membagi opini pribadi saya mengenai hal tersebut. Juga, tulisan ini tidak bermaksud untuk membela atau mendukung siapapun. Murni hanya opini saya.

Mengetahui bahwa pilkada langsung dihapuskan dan kita kembali memakai pilkada melalui DPR pun jujur saya kecewa. Karena ketika negara lain berjuang untuk bisa menerapkan demokrasi, negara saya malah memutuskan untuk mundur. Walau para pencetus hal tersebut beranggapan pilkada langsung membuang banyak anggaran dan banyak kecurangan, namun setidaknya dari sanalah masyarakat awam seperti saya belajar mengenal politik, belajar untuk mengenal siapa pemimpinnya. Ya, karena kami dituntun untuk memilih. Seharusnya, mereka memperbaiki bukan meniadakan kembali.

Saya sungguh berada dalam kubu yang kecewa. Sungguh saya kecewa dengan bapak ibu wakil rakyat yang malah merampas hak rakyat. Namun, tidak srrta merta membuat saya menyalahkan satu orang dan membuat saya beranggapan berhak untuk mencaci orang tersebut. Yaitu Bapak Presiden.

Di dalam benak saya, mungkin ini juga bukan hal mudah untuk Bapak Presiden mengambil keputusan. Beliau--yang mungkin tanpa kita ketahui--pastilah memiliki pertimbangannya sendiri. Terlebih, tidak mudah untuk mengurus suatu negara. Selama kurun waktu 10 tahun, saya rasanya sudah sering sekali melihat banyak makian dan cacian yang ditujukan untuk Bapak Presiden. Dan ketika dua kalimat tersebut menjadi Trending Topic World Wide, rasanya saya malu.

Saya tidak melarang untuk memberikan kritik, tapi rasanya kurang sopan bagi kita--warga negara--jika mencaci, memaki dan mengolok-ngolok pemimpin tertinggi di negeri ini. Apalagi melalui media sosial yang semua orang dimanapun dapat langsung mengetahui.

Ketika dua kalimat tersebut menjadi Trending Topic, saya langsung terbesit pertanyaan "Apa yang akan orang asing pikirkan terhadap negara saya?" Tidakkah itu memalukan? Jika warganya sendiri tidak menghormati pemimpinnya, akankah pihak asing menghormatinya? Akankah juga menghormati negara saya?

Saya sungguh tidak melarang kritik kritik yang timbul namun setidaknya kita dapat membedakan antara kritik dan cacian juga makian.

Dan mungkin, kekecewaan yang timbul akibat kemunduran demokrasi ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semua, baik elit politik ataupun masyarakat awam, agar kita lebih dewasa untuk berpikir, berbicara dan bertindak. Agar kelak dapat kita nikmati hasil demokrasi yang bersih.

Rabu, 10 September 2014

Do'a Baikkah Ini?

0 komentar
"Panjatkan lah do'a-do'a baik dengan cara yang baik untuk orang lain, maka malaikat akan mendo'akan mu seperti yang kamu lakukan..."

Begitu lah kiranya, suatu kalimat yang pernah saya baca pada sebuah buku.

Setidaknya--sampai kemarin--saya masih beranggapan bahwa do'a yang baik adalah do'a yang membawa kebahagiaan. Do'a yang bila Allah kabulkan akan membawa senyum bahagia umatnya. Do'a yang tidak membuat siapapun bersedih atau harus meneteskan air mata--kecuali air mata bahagia. Do'a yang baik mestilah dipanjatkan dengan niat yang baik. Niat untuk tidak menyakiti siapapun melainkan membahagiakan siapapun.

Lalu, malam ini saya dihadapkan pada pertanyaan besar,

"Ya Allah, apakah do'a yang saya panjatkan ini baik? Ya Allah, apakah do'a yang saya panjatkan ini membawa kebaikan bagi orang lain? Ya Allah, apakah do'a yang saya panjatkan ini membawa kebahagiaan untuk saya? Untuk semua orang? Karena sungguh, saya tidak merasa do'a ini baik. Haruskah Ya Allah, saya panjatkan do'a ini? Haruskah Ya Allah, saya gantungkan do'a ini pada pintu-pintu di langitmu? Karena sungguh, saya tidak mampu berbahagia dalam memanjatkannya."

Sekiranya seperti itu.

Saya sungguh tidak mampu mengenali apakah do'a yang akan saya panjatkan ini baik. Sungguh, saya tidak tau apakah do'a yang akan saya panjatkan pantas.

I really never imagined the day would come where i would kneel and raise my hands, then pray like this....

"Ya Allah, jika memang engkau memilih untuk menyembuhkannya, maka angkatlah penyakitnya. Sembuhkanlah ia. Namun jika tidak, maka angkatlah penderitaannya. Lapangkan dan mudahkanlah segalanya."

Though,

It's hurt me so deeply.
It drives me so crazy.
It makes me so sorry.

But...... i did.
Yes, i did.

So,

God, please forgive me.
God, please give him the best.

Senin, 08 September 2014

Berhentilah Beranggapan...

0 komentar
8 September 2014, 12:35 WIB.

Di tengah suasana makan siang yang disambi dengan mengobrol ringan dengan rekan kantor.

A: Iya bulan depan si I nikah, tahun depan kamu ya, La.
Me: Aku mau nikah tapi keluar dari kantor ini dulu.
B: Iya, di kantor ini bilangnya gitu. Di kantor setelahnya juga gitu. Karena malu gak punya pasangan ngomong gitu lagi. Terus nanti keluar, masuk kantor baru ditanya kapan nikah jawabnya gitu lagi. Gak nikah-nikah deh.

Begitulah kira-kira percakapan yang bikin mood seharian ini jadi berantakan. Mungkin niatnya bercanda, tapi buat gue yang emang lagi nahan sakit karena hari pertama datang bulan juga ditambah kerjaan yang gak kunjung selesai, pernyataan tadi lebih mengarah pada menghina. Apalagi, jika pernyataan tadi keluar dari mulut seorang bapak yang sebenarnya sungguh gue hormati di kantor itu.

Di usia--yang baru--dua puluh tiga ini, rasanya memang terlalu dini untuk menjadi sensitif jika ada pertanyaan mengenai pernikahan, tapi rasanya sudah cukup pantas untuk tersinggung jika ada yang menjadikan hal tersebut menjadi hal candaan.

Entah udah berapa tulisan yang gue posting mengenai itu. Entah udah berapa kali gue ngomong dan nulis di setiap linimassa "siapa sih yang gak mau nikah? perempuan mana sih yang gak punya mimpi akan pernikahannya?"

Sungguh.....
Gue capek. Hahahahaha...

Bahkan ketika kedua orang tua masih santai ngeliat anak gadis pertamanya masih asyik dengan dunianya sendiri, ada orang orang yang sibuk berkomentar bahkan menertawakan dunianya.

Memang gak semua orang bisa seperti yang kita inginkan. Bisa mengerti yang kita pikirkan. Bisa memahami apa yang kita lakukan. Tapi, sungguh gue gak ngerti dan gak paham kalau sampai ada orang yang tega melontarkan candaan seperti tadi.

Mungkin menjadi single sampai bertahun-tahun untuk sebagian dari kalian adalah suatu hal hina, tapi kalian tidak benar-benar tau ada hal-hal yang mungkin sedang diperjuangkan. Ada tangis yang ia coba tahan. Ada senyum yang ia coba perlihatkan. Ada doa yang tak pernah henti dipanjatkan.

Jadi tolonglah, berhenti beranggapan paling mengerti sampai beranggapan tak masalah untuk menyinggung sedikit perasaan orang lain. 

Minggu, 07 September 2014

Teruntuk kamu yang masih tetap sama

0 komentar

Hai, apa kabar kamu?
Ya, aku tau. Aku tak perlu merisaukanmu.
Kamu bahkan masih mampu tersenyum seceria itu setelah semua yang menimpamu.
Dan bagiku itu seakan menjauh-paksakan aku.

Kabarku?
Aku rasa sepatutnya kamu meluangkan pikiranmu untuk bertanya tentang itu.
Lalu akan ku jawab "aku merindukanmu" dengan keyakinan utuh.
Tak apa jika kau tak percaya.
Karna nyatanya pun aku juga tak percaya bahwa masih kamu satu-satunya nama yang ku pinta dalam tiap doa.

Dan sekarang apa kabar kamu setelah mengetahui hal itu?
Juga bila aku katakan aku benar-benar menginginkanmu.
Masihkah kamu mampu tersenyum seceria itu?

Our Dreams, Seoul! -5-

0 komentar

"A ha! Gue mau gantungin di sini gembok gue.” Ucap Iman bersemangat sambil sibuk menyiapkan dua gembok hatinya.

“Jangan nulis nama gue di gembok lo ya, Man. Jangan. Gue udah ada yang punya.” Teriak Sukma bercanda.

“Tau deh yang udah ada yang punya.” Aku, Ana dan Nita balas meledek Sukma berbarengan. Dan kami pun tertawa bersama.

Seselesainya menggantungkan gembok masing-masing di tempat pilihan terbaik menurut kami. Kami pun beranjak menuju kafe yang juga terletak di bagian dasar Namsan Tower. Di kafe ini pun unik, setiap pengunjung berhak menggantungkan atau menempelkan note yang entah berisikan pesan untuk kafe ini atau harapan atau hanya sekedar nama dan tanggal.

“Ayo cepetan cerita lo, Ma.” Paksa Iman setelah kami selesai memilih menu makanan.

“Kalian kok jadi kepo sih? Yampun gue jadi berasa Jessica yang lagi ditanya sama wartawan tentang Taecyon.” Canda Sukma yang berakhir dengan insiden pelemparan tissue oleh Nita.

Nita memang masih sensitif jika mendengar Jessica dan Taecyon diucapkan bersamaan.  Bahkan mungkin kami masih ingat betul patah hatinya Nita saat itu. Dua tahun lalu, ketika agency Jesicca dan Taecyon mengakui bahwa mereka benar-benar pacaran, kami sedang berada di rumah Ana, melepas rindu setelah satu tahun tidak pernah bertemu dengan formasi lengkap. Aku, Ana, Nita sedang asik di dapur, memasak menu andalan kami, toppoki dan mandu—walau mandu nya lebih terlihat seperti pastel tapi biarlah.

Sedangkan Sukma dan Iman sedang asik di depan laptop, Iman sedang memperlihatkan Sukma  isi tumblr nya yang semakin hari semakin keren. Iman terlihat sudah semakin serius menekuni hobi nya yang kini juga menjadi sumber penghasilannya, menjadi freelancer untuk majalah online.

“OMAYGAT! NITAAAA!” tiba-tiba Sukma berteriak sambil memegang handphone nya.

“OMAYGAT! SUKMA GUE KAGET!” Iman marah karena Sukma teriak persis di sampingnya.

“Kenapa sih?” Nita langsung menuju Sukma dengan penuh penasaran. Aku dan Ana pun mengikuti.

“O....maygaattt..........” Ucap Nita dengan nada sangat pasrah ketika membaca berita dari handphone Sukma. Ia pun seketika kehilangan keseimbangan lalu terjatuh terduduk di sofa dengan tatapan kosong.

“Kenapa sih? Nita lo kenapa?” Tanya Aku dan Ana yang masih belum tau ada berita apa.

“Jessica and Taecyon Dating.” Bacaku ketika membaca berita yang ditunjukan oleh Sukma.

Dan tiba-tiba ketenangan dan kebahagiaan yang kami rasakan berubah menjadi kacau balau dan berita yang amat sangat menyedihkan untuk kami semua. Terutama bagi Nita. Nita tak berhenti menangis saat itu, butuh waktu dua jam untuk menenangkannya. Bahkan mandu yang kami buat pun menjadi gosong karena sibuk menenangkan Nita.

“Cepet cerita deh gak usah bahas-bahas yang dulu-dulu.” Nita masih sebal.

“Oke oke teman-teman. Kalian masih ingat kan gue pernah cerita gue lagi dekat sama satu cowok dan dia ngajak serius? Ya, dia itu yang namanya Bani. Dia itu teman sekantor gue. Dari awal dekat sama dia, dia berkali-kali ngomong kalau dia mau serius sama gue. Awalnya sih gue gak terlalu mikirin, tapi lama kelamaan dia jadi makin serius. Bahkan dia pernah tiba-tiba main ke rumah gue dan kenalan sama orang tua gue.” Cerita Sukma dengan raut wajah yang begitu bahagia.

“Bani itu tiga tahun di atas gue, dia itu sosok pria yang serius tapi menyenangkan. Entah gimana caranya, dia bisa bikin gue nyaman untuk jadi diri sendiri. Sebelum berangkat ke sini, dia lagi-lagi ngomong kalau dia mau serius jalin hubungan sama gue.”

“Dia ikut ke sini?” Tanya Ana.

“Iya, ikut. Bahkan tadi dia mau ikut ketemu kalian, katanya mau kenal sama teman-teman gue. Tapi daripada nanti jadi makin heboh, gue tinggal aja dia.” Jawab Sukma.

“Ah payah bukannya dibawa. Kan gue pengen liat siapa sih yang bisa bikin sesosok Sukma pipinya jadi merah gini.” Goda Nita sambil menyikut Sukma. Aku, Ana dan Iman pun ikut menggodanya.

Kami pun melanjutkan bercerita sambil menikmati makanan yang telah tersedia. 
“Ngomong-ngomong, besok kita mau jalan kemana lagi nih?” Tanya Ana. “Gue mau ke Little France deh.” Ucap Nita.

“Gue sih kemana ajalah asal sama kalian, asal jangan ke hati Iman aja. Nanti Yonghwa marah.” Candaku.

“Yaudah gini aja, penginapan kalian dekat sama kafe pertama tadi kan? Kita ketemu di sana lagi aja dulu jam 9, baru nanti kita tentuin mau kemana. Gimana?” Atur Ana. 

“Oke Call!” Jawab Iman sok ke-korea-korea-an.

**To be continued**

Selasa, 29 Juli 2014

Jadi, Kapan Nikah?

0 komentar

H-1 Idul Fitri.

Gak kerasa udah sebulan Ramadhan dan besok kita sudah bersama-sama merayakan Idul Fitri atau lebaran. Banyak teman-teman yang mungkin sudah diperjalanan mudik ke kampung halaman. Bersiap merayakan lebaran dengan keluarga tercinta. Namun, rasanya untuk teman-teman seusia saya dan yang satu sampai lima tahun lebih tua dari saya, lebaran di kampung halaman terkadang menjadi hal yang berat ketika pertanyaan 'khas lebaran' berkumandang dimana-dimana. Ya, apalagi kalau bukan, "jadi, kapan nikah?", "calonnya mana?", "kok masih single aja." bla bla bla bla

Saya yang gak ngerasain mudik saja, terkadang sering juga ditanyakan hal semacam itu. "Kok pacarnya gak silahturahmi?" Saya kadang jengkel. Ya gimana engga jengkel kalau mereka sesungguhnya tau sudah dua tahun saya putus. *sigh*

Wajar sih memang kalau mereka bertanya, mungkin mereka terlalu sayang kepada kita hingga tak ingin membiarkan kita menikah terlambat--walaupun menurut saya tidak ada kata terlambat dalam menikah.

Mengapa?

Bagi saya, menikah ibarat menuntut ilmu. Tidak ada kata terlambat bukan bagi seseorang yang ingin menuntut ilmu? Bahkan Rasul pun menyampaikan tuntutlah ilmu sampai akhir hayat. Pun hal yang sama dengan menikah.

Dalam menuntut ilmu tersebut, tentulah kita tidak sembarangan mencari pengajar. Kita selalu berusaha mencari yang terbaik. Juga begitulah dalam mencari pasangan hidup. Bagi saya, pasangan hidup haruslah yang terbaik. Karena kelak, melalui dia lah saya berjalan menuju surga, begitu pun sebaliknya.

Bagi saya, menikah bukan perkara kemapanan harta, melainkan juga kemapanan hati. Bagi saya, menikah bukan perkara secepat apa, melainkan selama apa pernikahan tersebut dibina.

Beberapa teman, menikah hanya berbekal kesiapan hati. Beberapa lagi, memilih mundur walau telah memiliki calon yang mapan. Beberapa juga, masih menikmati masa sendirinya. Tak ada yang salah, ketiganya memiliki alasannya sendiri.

Karena menikah bagi saya adalah satu hal sederhana yang sangat 'mewah'. Yang mesti saya persiapkan dengan hati-hati.

Kamis, 24 Juli 2014

Sulung

0 komentar

Berat ya jadi anak pertama...

Kalimat tadi baru saja saya ucapkan untuk seorang teman yang sedang berbagi cerita mengenai tanggung jawab sebagai seorang gadis sulung. Ya, semua sulung pasti juga tau bagaimana rasanya mengemban julukan ini. Dilahirkan menjadi seorang sulung juga berarti dilahirkan sebagai calon penanggung jawab sebuah keluarga.

Menjadi sulung, sungguhlah bukan perkara mudah. Apalagi jika Ia jugalah seorang wanita. Mungkin itu yang saya sendiri rasakan. Menjadi sulung untuk sebuah keluarga. Ya, walaupun keluarga saya hanya terdiri dari ayah, ibu dan seorang adik. Juga walalupun kedua orang tua saya tak pernah melimpahkan tanggung jawabnya kepada saya. Namun, tetaplah, keluh-kesah tak pernah lepas.

Engga boleh egois mikirin diri sendiri...

Begitulah teman saya bilang. Dan saya sangat setuju. Kami—sebagai seorang sulung—memang ditakdirkan untuk terkadang menyampingkan keinginan diri sendiri. Terkadang kami juga harus siap menunda bahkan membenam mimpi kami sendiri agar mampu melihat mimpi adik-adik kami mencapai semua mimpi-mimpinya.

Dilahirkan menjadi sulung seperti dilahirkan menjadi seoarang diploma. Ya, kami diharuskan mampu memiliki kemampuan diplomasi untuk menjadi penengah yang baik. Menjadi sulung juga diwajibkan menjadi seorang pendengar yang baik. Kami diwajibkan untuk tidak memihak. Tidak membela siapapun. Dan tidak menggurui siapapun. Inilah hal terberat bagi saya menjadi seorang sulung.

Tapi,

Bersyukurlah menjadi sulung. Karena itu menandakan Tuhan percaya kami—para sulung—mampu dengan segala tanggung jawab yang ada. Dan saya sangat bersyukur, karena Tuhan menyediakan kado terindah untuk seorang sulung setelah semua tanggung jawabnya, yaitu  senyum bahagia keluarganya.

Rabu, 09 Juli 2014

Happy Election Day, IndONEsia!

0 komentar

Dua bulan lalu, pada pemilu legislatif saya memutuskan untuk tidak memakai hak suara saya. Dengan alasan tidak adanya calon wakil rakyat yang mampu membuka kebutaan saya akan politik dan mampu saya percaya untuk menaruh harapan pada mereka.

Dan hari ini, pemilu presiden tiba. Jujur, sampai hari ini--sebelum akhirnya saya memutuskan untuk menulis postingan ini--saya belum memutuskan untuk mendukung satu diantara dua calon. Saya berniat untuk lagi-lagi golput. Dengan alasan yang tak jauh berbeda dari sebelumnya; tak ada yang mampu membuka kebutaan saya akan politik dari visi dan misi yang mereka ajukan.

Sedari awal diumumkannya dua calon tersebut, saya ragu apakah mereka--yang terpilih nantinya--akan benar-benar mampu untuk memberikan perubahan kepada Indonesia--dengan segala visi dan misi mereka? Saya sudah cukup kecewa dengan pemerintah periode 5 tahun ini. Saya begitu berharap Indonesia akan menemukan sosok yang mampu membawa perubahan tersebut menjadi nyata, tak hanya janji semata. Namun, dengan hanya terpilih dua calon, harapan itu pupus--di awalnya.

Selama masa kampanye, tak ada satupun yang mampu membuat saya yakin untuk mendukung salah satu dari dua calon. Ditambah selama kampanye, banyak pendukung keduanya yang saling menjatuhkan. Saling menjelekkan. Saling hina. Saling benci. Saling maki. Membuat saya muak.

Beberapa kali saya memutuskan untuk membaca berbagai tulisan mengenai profil keduanya. Berharap saya mampu menjatuhkan pilihan. Namun, lagi-lagi, yang saya dapat hanya tulisan berat sebelah. Yang selalu berakhir pada mengungkit kesalahan yang kiri ataupun memfitnah yang kanan. Media pun seolah hanya mampu menyebarkan keunggulan satu pihak.

Sungguh saya muak.

Namun sungguh, kali ini saya ingin sekali memilih. Satu diantara dua. Dengan harapan Indonesia yang lebih baik. Satu diantara dua, Bapak Prabowo dengan segala kesalahan dan rekam jejak masa lalunya atau Bapak Jokowi dengan segala keberhasilan memimpinnya. Saya tidak mudah begitu saja memilih satu diantara mereka. Banyak hal yang membuat saya ragu, ditambah banyak pendukung mereka merupakan orang-orang yang sangat tidak saya suka.

Sampai akhirnya hari ini, ada keyakinan yang begitu saja muncul dalam hati saya untuk menyerahkan harapan saya pada Beliau. Entah, saya menjadi percaya--setidaknya saya akhirnya mampu untuk percaya--kepada Beliau.

Dan Bismillah, dengan penuh harap..... saya memilih #Satu untuk Indonesia satu.

Mengapa Bapak Prabowo?

Selain keyakinan yang begitu saja muncul dalam hati saya di detik-detik pemilu ini. Dengan segala rekam jejaknya di masa lalu, masa jaya nya sebagai tentara kemudian keterpurukan dan kebangkitannya lagi. Saya rasa saya tak perlu membeberkan lagi cerita masa lalunya. Semua orang sudah tau dan seolah merasa sangat paham betul apa yang terjadi pada dirinya. Kesalahan yang mereka katakan tak termaafkan. Kesalahaan yang menurut mereka tak perlu diberi kesempatan untuk berubah.

Ya, dengan akhirnya memutuskan untuk memilih Bapak Prabowo, saya memberi Beliau kesempatan untuk berubah memperbaiki diri dan juga untuk melakukan perubahan untuk Indonesia. Saya berharap, jika Beliau terpilih sebagai Presiden selanjutnya, Beliau mampu untuk mengembalikan lagi keyakinan rakyat Indonesia yang telah terluka karena kesalahannya. Saya berharap, jika Beliau terpilih, Beliau mampu membuat kita semua belajar untuk tak melulu mencap seseorang karena masa lalunya. Biarlah kita terlebih dulu memberikan kesempatan untuk Beliau--dan atau orang-orang dengan kesalahan masa lalu--untuk berubah. Saya yakin, masa lalu tersebut juga bukan hal yang mudah untuk Beliau. Tapi, melihat Beliau mampu bangkit dari keterpurukan masa lalunya, saya yakin--dan semoga keyakinan saya tidak disalahgunakan--Beliau mampu belajar dari masa lalunya tersebut untuk terus dan terus menjadi seseorang dan juga pemimpin yang lebih dan lebih baik.

Ya, semoga saja.

Mengapa tak Bapak Jokowi?

Pak Jokowi dengan segala keberhasilannya dalam masa kepemimpinannya memang menjadi angin segar untuk Rakyat Indonesia, terlebih lagi sosok beliau yang sederhana dan sangat merakyat. Sungguh pemimpin yang sangat Rakyat Indonesia rindukan. Lalu, mengapa saya tak memilih Beliau? Ada banyak hal, yang membuat saya menunda untuk memilih Beliau. Ya, saya bukan tidak memilih Beliau namun saya menunda. Pak Jokowi ibarat kepompong yang kelak akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang sangat indah. Sebelum menjadi kupu-kupu, biarkan Beliau bermertamorfosis secara alami. Tanpa campur tangan manusia lainnya. Ya, begitulah pemahaman saya tentang Bapak Jokowi. Saya tak ingin Beliau, pemimpin yang begitu sukses sejauh ini, menjadi 'kuda tunggangan' untuk permainan politik mereka yang menjadikan Beliau 'kupu-kupu' paksaan.

Kita semua tau, siapa yang memberikan perintah--atau mungkin bahasa halusnya tawaran--untuk Beliau maju menjadi Capres.

Ya, begitulah menurut pendapat saya.

Namun, siapapun Presiden yang terpilih, semoga kelak kita tak malah perang saudara karena kekalahan calon yang kita dukung. Bagaimanapun, kita Satu Bahasa, Satu Nusa, dan Satu Bangsa..... Indonesia. Siapapun Presiden terpilih, saya percaya ada banyak hal yang mampu ia ubah dari Indonesia menuju yang lebih baik, menuju negara yang mandiri yang lebih sejahtera juga damai.

Dan selamat berpesta demokrasi, Indonesia!!

Minggu, 15 Juni 2014

Entah...

0 komentar

It has been 2 years since i'm no longer ngegandeng lelaki manapun dalam acara keluarga ataupun ke pernikahan sahabat maupun saudara.

Bukan waktu yang sebentar memang namun bukan juga waktu yang cukup lama sampai harus berulang-ulang-ulang-ulang kali mendengar pertanyaan yang sama "pacarnya mana?"

Pertanyaan semacam itu biasa memang namun rasanya semakin risih mendengarnya. Saya sendiri memang tidak perduli tapi... tidak berarti saya bisa dengan santai untuk tidak memikirkannya.

"Pacarnya mana?"
"Ajak dong pacarnya."
"Jomblo ya? Buruan cari pacar."
"Makanya, udah bener punya pacar kok ya malah dibuang."

Serius. Pertanyaan dan pernyataan di atas pernah mampir ke telinga saya dalam dua tahun ini. Dari yang biasa saja sampai akhirnya menatap sang penanya dengan sinis. Bukan karena merasa tersinggung, tapi... masalahnya untuk kalian--sang penanya--itu apa? Saya benar-benar kehilangan akal untuk menjawab pertanyaan saya sendiri.

Oke, anggaplah pertanyaan dan pernyataan tersebut karena kalian perduli. Tapi, taukah kalau nyatanya dalam dua tahun ini saya benar-benar merasa bahagia? Bahagia karena waktu yang tadinya saya habiskan berdua dengan dia--sebutlah pacar, kekasih, atau apalah sesuka kalian--dapat saya habiskan dengan diri saya sendiri? Cinta yang harusnya saya beri kepada dia dapat saya beri kepada diri saya sendiri?

Bukankah untuk dapat mencintai orang lain dengan tulus kalian diharuskan mampu untuk mencintai diri sendiri?

Bukankah untuk dapat membagi waktu dengan orang lain kalian diharuskan untuk mampu membagi waktu untuk diri sendiri?

Anggaplah saya sedang belajar untuk hal tersebut. Anggaplah saya sedang belajar untuk--kelak--mencintai pria tanpa perlu mengurangi sedikitpun cinta terhadap diri sendiri. Anggaplah saya sedang belajar untuk mampu membagi waktu untuk diri sendiri dan seseorang itu.

Sampai saya rasa waktunya sudah tepat, kelak saya akan membuka hati saya. Tidak. Bukan berarti sekarang saya tak membuka hati. Namun saya sedang berhati-hati untuk tak lagi jatuh ke hati yang tak tepat.

Sementara ini, saya ingin memiliki waktu untuk membahagiakan diri sendiri di sisa waktu sebelum akhirnya saya menghabiskan waktu untuk saling membahagiakan berdua.

"Nyamanlah dengan diri sendiri, maka dengan begitu berdua tak akan manjadi masalah." - anonymous

Minggu, 01 Juni 2014

Untitled

0 komentar

16 May 2014.

Dua puluh tiga.

Allah,

Terima kasih.

Allah,

Runtuhkan apa saja yang berkuasa di dalam sini jika bukan Engkau.

Karena sungguh,

Aku rindu memohon tak berdaya hingga tak lagi mampu bersuara.

Aku rindu meminta penuh sungguh hingga hilang semua keluh.

Sabtu, 08 Februari 2014

Hai, @ajeng_yf

0 komentar

Teruntuk ajeng yang engga lagi pacaran dan nemenin sahabatnya mamam esklim,

Hahahaahaaaha :)))) jangan syiok gitu ya dapat surat cinta dari gue, nanti esklimnya belantakan.

Um.... gue bingung sih ini mau nulis apa. Karena obrolan kita selalu absurd dan kadang makna cinta juga absurd, jadilah surat cinta ini mendarat di tab mention lo *padahal yang ngirim lagi mamam esklim di samping lo. Oke, sekarang serius.

Engga kerasa ya, udah hampir tahun kedelapan kita temenan, sahabatan, saudaraan kayak gini. Walau pas umur delapan tahun, gue masih asik naik delman dan lo udah berkeliling dataran eropa, engga ada yang nyangka kalau delapan tahun lalu kita ketemu dan berakhir semesra ini, mamam esklim berduaan. Semesta hebat!

Karena siapa sangka, lo, cewek tulen yang (DULUNYA) pendiem ini bisa betah jadi sahabat gue, cewek grasak-grusuk yang super bawel ini selama delapan tahun. Selama tiga tahun satu kelas dan selama itu jadi temen sebangku, ternyata masih belum cukup puas untuk ngukir cerita pertemanan kita. Walau harus beda kampus dan ketemu banyak teman baru, kita tetap ber-ada-gula-ada-semut-an.

Buat orang lain, mungkin delapan tahun engga ada apa-apanya. Tapi, buat kita, mungkin tepatnya gue, itu berarti banget. Karena selama delapan tahun ini, banyak banget hal yang dibagi satu sama lain, banyak pelajaran yang selalu bisa gue ambil dari cara lo bersikap. Terima kasih banyak, Jengs.

Lo masih ingat surat satu tahun lalu? Di sana tertulis, "Jengs, sesekali lo dong yang marah dan ngambek. Jangan gue terus." Dan tulisan itu gue sesali. Entah beberapa waktu lalu, kita itu kenapa. Tapi, dari delapan tahun ini, beberapa waktu lalu itu lah yang terburuk buat gue. Kalau orang lain mudah untuk bilang "yaudah sih, lo cari aja teman baru." Buat gue gak semudah itu, Jengs. Dan lo pasti tau, hati gue sangat 'pemilih' dalam berteman. Dan gue luar biasa lega, ketika inbox gue terisi pesan "dalila ketemu dong sebentar, mau cerita."

Jengs, terima kasih ya sudah menjadi sahabat yang begitu setia, yang selalu dengan mudah mengiyakan saat gue minta ketemu hanya untuk sekedar menyeka air mata gue. Terima kasih sudah menganggap gue seperti saudara sendiri. Terima kasih untuk delapan tahun yang sangat menarik. Kelak, gue akan mampu meyakinkan anak gue kalau seorang sahabat itu pasti ada.

Jangan ragu untuk bercerita, kapanpun itu, selama gue mampu pasti gue akan selalu menjadi pendengar yang baik. Karena menjadi sahabat yang baik buat lo adalah satu hal yang akan selalu dengan senang hati gue lakuin.

With love,
Dalila.

*Ps: Terima kasih karena sudah bersedia nemenin gue mamam esklim hari ini. :9

Jumat, 07 Februari 2014

Kepada Perokok

0 komentar

7 Februari 2014

Dear Perokok,

Sebelumnya, surat ini ditulis bukan untuk menggurui atau menasehati. Surat ini surat cinta, untuk tubuh yang kalian korbankan, untuk hilangnya kebahagiaan orang yang kalian sayang hanya karena sesuatu yang kalian cinta melebihi hidup kalian sendiri; rokok.

Hari ini bertepatan dengan ulang tahun ibu saya. Seharusnya ia berbahagia hari ini. Seharusnya kami merayakan dengan penuh suka cita hari ini. Seharusnya kami berpesta hari ini. Seharusnya. Kalau saja dokter tak memvonis salah satu dari keluarga saya terkena penyakit yang disebabkan oleh sesuatu yang kalian cintai; rokok.

Di hari ulang tahunnya, ibu saya harus berusaha untuk tetap kuat agar mampu untuk tetap menguatkan. Kebahagiaanya seketika runtuh hari ini. Kebahagiaan saya juga. Rokok, sesuatu yang sudah saya benci sejak dulu, hari ini meruntuhkan kebahagiaan kami.

Walau saya benci sampai mati dengan rokok, tapi banyak dari anggota keluarga saya perokok. Rasanya, sedih dan sangat kecewa. Saya membenci sesuatu yang begitu dicintai oleh banyak dari mereka yang sangat berarti bagi saya. Dan hari ini, rokok mencederai kebahagiaan kami. Ia meluluhlantahkan kesehatan salah satu keluarga saya.

Hari ini, salah seorang yang sangat berarti bagi saya harus divonis tumor tenggorokan. Sudah beberapa minggu ini, beliau lemas dan beberapa kali mengeluarkan darah ketika terbatuk. Suaranya sangat serak. Dan hanya mampu menelan makanan lunak. Beliau, memang perokok berat, walau sudah berhenti beberapa bulan ini. Tapi ternyata, terlambat. Tumor tersebut sudah terlanjur ada. Beliau hanya bisa menyesali.

Melalui surat ini, saya bukan ingin dikasihani. Saya hanya ingin kalian tidak merasakan hal yang sama. Ketika kalian merasakan hal tersebut, sesungguhnya bukan hanya kalian yang tersakiti, bukan hanya kalian yang menyesali dan bukan hanya kalian yang harus tetap kuat dan ikhlas menjalani. Tapi, ada banyak, orang yang menyayangi kalian sepenuh hati, ikut tersakiti hatinya. Menyesali begitu dalam karena tak mampu menjaga kalian. Mereka pun harus berusaha kuat untuk bisa menguatkan kalian.

Maka, sebelum semuanya terjadi, cobalah untuk berhenti. Tak mudah memang, tapi bukan berarti sulit. Jika memang kesehatan diri sendiri tak lagi berarti untuk kalian, maka haruskah kalian juga menyakiti mereka yang kalian cintai? Perlahan tapi pasti. Karena pasti, tetap bersama dengan mereka yang kita cintai dalam keadaan sehat adalah kebahagiaan sejati. Sungguh, mampu untuk tetap tertawa bersama dalam keadaan sehat adalah penghilang stress paling ampuh.

Salam,
Dalila.

Kamis, 06 Februari 2014

Surat Cinta Untuk Hati

0 komentar

Kepada Hati,

Hei, dimana kamu? Masihkah berada di tempat semula? Jika iya, mengapa diam saja? Mengapa tak bekerja? Ah, aku rindu gejolak-gejolak yang kau stimulasikan pada hidupku. Sulitkah untukmu merasakan lagi gejolak itu? Atau masihkah kamu marah padaku karna tak kunjung membiarkannya pergi?

Jika iya, maka maafkan aku. Bekerjalah kembali. Jangan biarkan rasaku mati. Kini aku tak akan lagi melarangmu dalam memilih siapa yang akan menjadi penghunimu. Pilihlah siapapun yang kamu suka. Namun, jangan gegabah. Aku tak rela melihatmu kembali terluka.

Tertanda,
Pemilikmu.

Selasa, 04 Februari 2014

Surat Balasan Satu Tahun Lalu

0 komentar

Assalamulaikum, wanitaku...

Suratmu satu tahun lalu telah aku terima. Sebelumnya maafkan aku untuk tiga hal; pertama, karena tak juga memberitau dimana letak keberadaanku. Kedua, karena hal itu membuatmu kesulitan ketika mengantarkan suratmu hingga beberapa kali diterima oleh orang yang tak tepat. Ketiga, karena aku menuliskan balasan satu tahun setelahnya, aku tak menyadari kedatangan suratmu kala itu.

Wanitaku,
Kabarku di sini amat baik, IA begitu baik mencurahkan rahmatnya kepadaku setiap waktu. Aku yakin, semua itu juga karena doa yang tak pernah lelah engkau panjatkan. Pagiku tak secerah milikmu, sepertinya langit tengah bersedih akhir-akhir ini, matahari pun enggan menghiburnya. Kamu rindu subuh berjamaah denganku? Bersabarlah untuk sementara waktu, kelak aku tak akan melewatkan subuh berjamaah denganmu. Yang perlu kamu lakukan sekarang, solatlah pada awal waktu, karena itu sebaik-baiknya waktu. Bukankah kamu ingin kita bertemu dalam sebaik-baiknya waktu?

Wanitaku,
Pagi ini aku masih menyantap nasi goreng buatan ibu. Aku tak sabar untuk merasakan lezatnya masakanmu. Kamu juga tak perlu ragu, aku selalu menyisipkan namamu dalam setiap dhuha ku. Karena menyebutmu dalam tiap doaku adalah hal yang selalu membahagiakan pagiku. Maafkan aku karena membiarkanmu berangkat pagi-pagi buta untuk bekerja. Kelak, ketika bersama aku akan mengantar dan menjemputmu, walau sebenarnya aku lebih menyukai kamu berada di rumah saja tapi aku tak akan melarangmu. Aku percaya kamu mampu menyeimbangkan pekerjaan dan keluargamu.

Wanitaku,
Terima kasih telah percaya untuk tetap menunggu. Aku berjanji tak akan membuatmu menyesal untuk tetap menunggu kehadiranku. Aku di sini, akan berusaha semampuku menyiapkan segala hal yang terbaik bagi kebahagiaan kita kelak.

Wanitaku,
Tak perlu ragu, kelak kita akan berjumpa dalam sebaik-baiknya perasaan. Aku tak akan mampu menyakiti hatimu. Bagaimana mungkin aku mampu menyakiti hati seseorang yang telah IA percayakan kepadaku? Bagaimana mungkin aku mampu melukai hati seseorang yang telah mempercayakan aku tuk menjadi jalan menuju surga-NYA?

Wanitaku,
Maafkan aku masih menitipkanmu pada-NYA dan kedua orang tuamu. Bersabarlah dahulu, tak perlu gegabah karena pada saatnya tiba, aku pastikan akan menjemputmu dengan gagah. Tetaplah mendambaku dalam doa. Sampaikan salamku untuk kedua orang tuamu, katakan padanya, aku akan menjemputmu pada sebaik-baiknya waktu.

Dengan penuh rindu,
Calon imammu.

Selamat Dua Empat!

0 komentar

Tanggal empat bulan dua,

Untuk yang kedua puluh empat.

Hari ini mungkin untuk sebagian orang, biasa saja tak ada sesuatu yang spesial. Untukku tidak. Jika diperhatikan, hari ini semuanya serba dua dan empat. Tanggal empat bulan dua tahun dua ribu empat belas, surat cinta ke empat di bulan ke dua. Tak hanya tanggal, surat cinta ini juga ditujukan untuk dua orang yang begitu spesial yang telah melalui dua puluh empat tahun paling bahagia bersama; Mama & Ayah.

Selamat hari pernikahan yang kedua puluh empat tahun!

Hari ini pasti menjadi hari yang begitu spesial untuk kalian berdua. Melewati dua puluh empat tahun bersama aku yakin bukan perkara mudah. Berhasil menyatukan isi dua kepala yang berbeda untuk tetap beriringan bersama selama dua puluh empat tahun adalah sesuatu yang begitu indah pastinya. Bagaimana rasanya melewati dua puluh empat tahun bersama? Sebahagia pemikiranku, kah?

Semoga iya. Walaupun tidak, biarkanlah jawabannya iya. Agar aku pun mampu untuk tetap percaya bahwa cinta sejati memang ada. Bahwa dia yang kelak tetap setia walau usia tak lagi muda bukanlah isapan jempol semata.

Tapi, aku yakin jawabannya pasti iya. Buktinya, setiap duka yang berbalut luka mampu kalian ubah menjadi suka. Walau nyatanya memang tak mudah, tapi kalian tetap percaya.... bahwa cinta memang seharusnya berjuang bersama.

Selamat dua puluh empat tahun...
Tetaplah saling menjabat walau ragu kadang menyeruak begitu dahsyat.
Tetaplah saling menatap walau letih kadang menyapu segala harap.

Tetaplah bersama untuk merayakan dua puluh empat tahun yang kedua!

Ditulis dengan penuh cinta,
Gadis kecilmu.

Minggu, 02 Februari 2014

Tsurhat Cinta Untuk Bapak Walikota

0 komentar

Yang terhormat, Bapak Walikota.

Sebelumnya perkenalkan, pak. Saya Dalila, dua puluh tiga tahun dan sedang mencari kerja. Orang tua saya berdarah Jakarta - Sumatera, Pak. Tapi walau begitu, saya sudah lahir dan tetap tinggal di Depok sampai sudah seusia ini. Belum berencana meninggalkan Depok juga.

Bapak Walikota,
Surat ini adalah surat ketiga di #30HariMenulisSuratCinta yang diselenggarakan oleh @PosCinta. Dan surat ini untuk bapak. Bapak punya waktu senggang sekitar lima menit kan? Iya Pak, hanya lima menit saja untuk membaca surat ini.

Dear Bapak Walikota,
Hari ini saya harus berangkat pagi-pagi buta, pak. Mungkin saat saya sudah harus menggigil karena dinginnya air subuh dan sudah berdiri di depan peron stasiun, bapak masih bercengkrama dengan anak-anak bapak. Pagi ini, saya mungkin bahkan lebih pagi hadirnya dari matahari. Tapi, saya bersemangat pak. Demi masa depan lebih baik, bukan begitu pak?

Depok - Jakarta memang tidak jauh, pak. Tapi bapak tau kan hari ini hari apa? Senin pak. Sayangnya, hari ini semua serba ganas pak. Saya sudah berada di depan peron stasiun sedaritadi tapi tak juga bisa masuk ke dalam kereta pak. Sudah tiga kali saya terpental-pental oleh mereka yang tenaganya sepuluh kali lipat dari saya. Padahal saya tidak besar pak, tidak akan menghabiskan banyak ruang dalam kereta, tapi bahkan saya tidak bisa masuk. Semangat saya sedari pagi tadi pun ikut terpental-pental entah kemana pak. Sebenarnya hari ini saya ada test untuk pekerjaan, tapi kesabaran saya juga sudah diuji sebelum sampai ke lokasi. Untungnya stok sabar saya sudah diisi ulang.

Pak, saya warga Depok sedari lahir. Kartu tanda penduduk saya juga Depok. Saya menghabiskan waktu sekolah, kecuali SMA, yang juga di Depok. Saya juga menghabiskan akhir pekan di Depok pak. Bahkan ketika harus dirawat, saya juga dirawat di rumah sakit Depok pak. Saya warga Depok sejati pak. Tapi, dari semua hal yang saya lakukan di Depok, ada satu yang kurang. Iya, saya tidak bekerja di Depok.

Bapak Walikota,
Saya dan Depok menjadi saksi kehidupan masing-masing. Depok lahir ketika saya masih berseragam putih-merah, kami beda tujuh tahun. Namun, Depok berkembang begitu cepat. Pertumbuhan ekonomi pun melaju pesat, bukan begitu pak? Saya bersyukur Depok memiliki walikota-walikota yang kompeten. Jika tidak, Depok tidak akan berkembang pesat seperti ini. Namun, dari semua itu, warga Depok masih banyak sekali yang bekerja di Ibukota. Untuk itu, bisakah bapak menyediakan lapangan pekerjaan lebih banyak untuk saya? Tidak tidak, lebih tepatnya untuk orang-orang seperti saya.

Kelak saya akan menjadi istri dan ibu untuk anak-anak saya. Saya tidak dapat membayangkan jika harus meninggalkan mereka pagi-pagi buta untuk mencari uang yang hanya mampu untuk membelikan satu dua buah mainan. Lalu akan sampai di rumah ketika mereka sudah terlelap. Tapi tidak akan seperti itu kejadiannya jika saya dapat bekerja di Depok, pak. Saya bisa berangkat kerja setelah menyajikan sarapan untuk mereka, sepulang kerja masih dapat membantu mereka mengerjakan pekerjaan rumah lalu bercanda bersama dan tentunya saya masih mampu membelikan mereka satu dua buah mainan.

Sebelum surat ini bertambah panjang, baiknya saya harus mengakhiri surat ini karena bapak pasti akan sangat sibuk mengurusi setiap aspek di Depok. Semoga bapak bisa memikirkan kembali harapan saya tadi. Surat ini saya akhiri dengan doa agar bapak tetap selalu amanah menjalani tugas bapak. Saya yakin bapak tidak akan mengecewakan kepercayaan saya dan warga Depok lainnya. Saya juga berdoa semoga kita semua akan semakin ramah kepada lingkungan Depok yang sepertinya sangat cepat menua dari usianya, saya khawatir Depok akan jatuh sakit. Bagaimanapun, Depok adalah rumah untuk saya. Ke kota manapun saya pergi, Depok masih yang ternyaman untuk saya. Saya percayakan Depok kepada bapak. Semangat!

Salam hormat,
Saya.

*Ditulis sambil terjepit-jepit di kereta.

Sabtu, 01 Februari 2014

Dear February

0 komentar

Dear February,

January telah berlalu, dan hari ini adalah hari pertama kedatanganmu. Setelah tiga puluh satu hari melalui suka duka bersama January, kini hadirmu membawa sejuta harap baru bagiku. Karena mereka bilang, kamu adalah bulan penuh cinta.

Hari ini pun ada banyak harap yang mereka gantungkan padamu yang kubaca dalam lini masaku. Sebagian mereka berharap cinta yang baru, sebagian lagi berharap cinta yang lama tak cepat berlalu. Aku ada dalam opsi pertama. Entah mengapa aku masih terpaku dalam cinta yang sama begitu lama.

Jengah. Namun rasanya tak ingin beranjak dari sana. Entah memang ia yang begitu indah, atau memang aku yang tak mengerti caranya berpindah. Yang aku tau, cinta memang semestinya tetap berlama-lama dengan dia, yang tetap sama. Sampai tiba saatnya, waktu yang menghentikan semua.

Dear February,

Jika tak mudah untukmu menghadirkan cinta yang baru bagiku, sudikah engkau membuat seseorang yang sudah selama ini aku tempatkan pada kasta hati tertinggi untuk sekedar menyadari? Namun, tak perlu terlalu dipaksa. Karena cinta seharusnya kebebasan paling nyata.

Jika memang tak mudah juga menyadarinya, bisakah engkau berkompromi dengan waktu untuk menghentikan segala gejolak hati? Karena cinta nyatanya tak bisa hanya dari satu sisi.

Selasa, 21 Januari 2014

Pria Sabtu Minggu

0 komentar

Dear Pria Sabtu Minggu,
Ingatkah kamu beberapa waktu lalu, kita bertemu di depan sebuah pintu. Tanpa tegur atau senyum, kita saling tersipu malu. Beberapa kali mata bertemu namun tak jua kamu tau siapa aku, pun begitu denganku.

Dear Pria Sabtu Minggu,
Tak sadarkah kamu dengan letak dudukmu yang selalu di depanku? Aku pun tak tau mengapa selalu berada di belakangmu. Dan selama itu, aku tergugu-gugu melihat punggungmu yang seakan membeku. Beberapa jam berlalu namun waktu tak jua mampu mencairkan suasana yang sedaritadi kaku.

Dear Pria Sabtu Minggu,
Pagi ini entah sudah menjadi yang keberapa minggu kita bertemu. Dan selama itu, hanya segurat senyum satu-satunya jawaban dari setiap tatap mata yang tak pernah disengaja. Namun tak seperti sabtu sabtu lalu dan minggu minggu itu, kali ini kamu memilih duduk satu bangku di sampingku. Seketika degup jantungku seakan berpacu mengalahkan bom waktu.

"Siapa namamu?" Tanyamu.

Dear Pria Sabtu Minggu,
Tepat pada menit kesepuluh, kamu mencairkan waktu yang sekian lama kaku. Dan tepat pada saat itu, kamu membuat hatiku terbang begitu jauh.

Sabtu, 18 Januari 2014

Siapa Aku Untukmu?

0 komentar

"MAU KAMU APA SIH?"

Terdengar seseorang setengah berteriak dari sudut cafe ini. Dan hampir semua pengunjung, termasuk aku, yang tengah bersantai saat itu berpaling ke sumber teriakan tersebut. Ternyata seorang wanita, di depannya terlihat pria yang tengah terduduk diam, seperti sedang menahan sedih yang begitu dalam. Ia bahkan tak meminta wanitanya untuk tenang. Seperti ingin berkata, Marah lah sayang, setelahnya aku harap kamu mengerti.

***

Seketika ia meluapkan amarahnya tanpa perduli keadaan sekitarnya. Ia masih seperti ini, begitu mudah meluapkan perasaanya. Dan itulah yang membuatku begitu menyukainya.

"Mau kamu apa?" Ucapnya setengah berteriak seraya berdiri dari tempat duduknya.

Sontak semua pengunjung mengarahkan perhatiannya kepada kami. Aku hanya bisa diam dalam posisiku. Dibanding malu karena kini kami menjadi perhatian semua pengunjung, aku lebih malu terhadapnya. Aku paham sekali perasaanya, kecewanya pasti begitu dalam.

Aku tatap wajahnya dan seketika air mata deras mengalir di wajah mungilnya. Bahkan ia masih begitu cantik. Tenanglah sayang, duduklah terlebih dahulu. Hatiku berbicara.

Seakan mendengar hatiku berbicara, seketika itu pun ia kembali duduk. Aku genggam tangannya, namun air matanya menjadi semakin deras.

***

Aku kembali memalingkan pandanganku dari sejoli tersebut. Tak ingin begitu lama memperhatikannya, karena pasti mereka pun tak ingin menjadi bahan perhatian seperti itu. Namun karena posisiku tak jauh dari mereka, suara mereka masih dapat dengan jelas aku dengar.

Maksud hati untuk menghibur diri setelah suntuk dengan rutinitas sepanjang minggu, aku malah menjadi saksi pertengkaran sepasang kekasih. Hatiku berbicara sembari menertawakan diri sendiri.

Aku pun melanjutkan kegiatanku, aku kembali fokus dengan tulisanku. Berusaha melanjutkan untuk mengundang inspirasi yang pergi karena kegaduhan tadi.

"Kenapa kamu memilih pergi saat aku berusaha meyakinkan diriku untuk berusaha tetap bersamamu?" Dengan jelas pertanyaan tersebut terdengar di pendengaranku. Aku pikir itu adalah bisikan inspirasi, namun lagi-lagi sepasang kekasih tadi. Aku pun spontan memalingkan pandanganku kepada mereka lagi, seraya membuang nafas panjang.

***

"Kenapa kamu memilih pergi saat aku berusaha meyakinkan diriku untuk berusaha tetap bersamamu?" Kali ini ia bertanya dengan lembut. Namun pertanyaannya begitu menghujam hatiku amat dalam. Aku tidak tau harus menjawab apa. Segala usahaku untuk membuatnya benci kepadaku seakan berbalik kepadaku, seketika aku membenci diriku sendiri.

"Aku hanya ingin tidak ada lagi yang tersakiti. Apa kamu yakin kita akan tetap bahagia di saat orang di sekitar kita tersakiti hatinya?" Tanyaku dengan nada yang tidak tergesa-gesa.

"Dan kamu dengan yakin menyakiti hatimu sendiri." Jawabnya.

Jawabannya seakan membuat otakku berhenti berkerja. Mengapa ia menjadi begitu pandai meluluhlantahkan keyakinanku? Tanyaku sendiri.

"Sejak kapan hakikat cinta menjadi rela menyakiti diri sendiri?" Tanyanya lagi.

Aku semakin terdiam. Entah apa yang harus aku jawab.

"Silahkan lakukan keinginanmu itu. Jika kamu yakin memang tidak ada yang tersakiti. Sebelumnya, tanyalah pada hatimu, siapa aku untukmu? Dan lihatlah bagaimana keadaan hatimu setelah mengetahui jawabannya." Ucapnya lembut namun dalam.

Ia pun pergi dan menembakkan kembali segala peluru yang sedaritadi sudah berusaha aku tembakan kepadanya untuk membenci diriku. Kini, aku begitu membenci diriku sendiri.

***

Wanita itu pergi meninggalkan prianya yang masih terduduk diam. Aku yang memperhatikan mereka pun ikut terdiam karena pertanyaan terakhirnya. Siapa aku untukmu? Dan lihatlah bagaimana keadaan hatimu setelah mengetahui jawabannya. Pertanyaan tersebut seakan membawaku kembali pada beberapa waktu lalu.

Sabtu, 11 Januari 2014

Shocking!

0 komentar

Ketika postingan blog minggu lalu bertema tentang obrolan mengenai pernikahan, rumah, dan apapun itu yang berhubungan dengan masa depan. Pagi ini, dikejutkan karena keisengan buka facebook dan terpampang beberapa foto yang....... yang..... yang..... mengejutkan! Ya gimana gak mengejutkan, kalau pacarnya mantan tiba-tiba ngeposting foto lamaran. ("--)/|| ya walau emang salah sendiri nge-accept friend requestnya. *sigh*

Kaget dan super terkejutnya itu bukan karena masih ada rasa berbunga-bunga di sini *nunjuk hati sendiri*, terus tau-tau dia ngelamar orang lain, bukan. Tapi lebih ke..... engga nyangka. Dia yang dulu, engga sama sekali bertindak sedewasa itu, yang walau sudah kenal semua keluarganya tapi dia gak pernah berani nyusun mimpi itu, dan bahkan engga pernah berani untuk hanya sekedar berbicara, mengobrol tentang hal seserius itu.

Lalu, sekarang, dengan nyata foto-foto itu terpampang. Dan lo lihat. *sigh*

Dan, ternyata benar. Akan datang seseorang yang mampu membuat lo berubah. Yang mampu membuat lo berani melakukan hal besar hanya karna takut kehilangan seseorang itu. Akan datang dia, seseorang yang menjadikan lo berani merealisasikan mimpi yang bahkan dulu gak pernah lo pikirkan. Pada saatnya, akan datang seseorang itu.

Jika berbicara dengan kasus, gue yang masih punya perasaan, hal ini mungkin bakal pahit sekali untuk diterima, karna hanya dengan beberapa bulan, dia mampu yakin. Tidak seperti bertahun-tahun saat masih bersama gue.

Tapi, sekarang kasusnya beda. Walau engga munafik, karena gue tetap shock. Tapi, ada perasaan lega bahkan bahagia mengetahuinya. Lega karena seseorang yang dulu super kekanak-kanakan, sekarang mampu bertindak dewasa. Bahagia karena sekarang gak perlu lagi khawatir kalau-kalau dia sakit hati.

Dan akhirnya.......

Selamat berbahagia! ^^

Minggu, 05 Januari 2014

Time Flies So Fast

0 komentar

Minggu pertama di tahun 2014 ini, masih sama seperti minggu-minggu sepanjang 2013; masih hanya dilewati dengan berkumpul bersama keluarga atau teman-teman terdekat. Hanya dengan seperti itu pun, sudah terasa begitu menyenangkan. Bersama mereka, rumitnya rutinitas sepanjang bekerja terlupakan. Dan waktu begitu cepat ketika tengah berkumpul bersama mereka.

Berkumpul, bercerita tentang apa saja, mulai dari setumpuk pekerjaan yang kadang membuat emosi turun naik, begitupun perjalanan menuju kantor yang cukup membuat badan letih, dan yang tidak pernah terlupa yaitu tentang kesukaan yang memang sama. Seperti itu saja, dapat membuat kita lupa waktu.

Namun, entah sejak kapan, ada obrolan-obrolan baru yang terselip. Dengan siapapun itu, rasanya obrolan ini kerap kali aku perbincangkan. Entah siapa yang memulai, kami bisa asik sendiri membahas hal ini. Seakan menerawang ke dalam masa depan melalui lorong waktu impian.

Mungkin, karena memang usia kami yang tidak lagi belasan, obrolan ini pun sepertinya memang sudah layak kami pikirkan matang-matang realisasinya. Tentang bagaimana kami mampu menyelenggarakan resepsi pernikahan sesuai dengan impian kami. Tentang bagaimana kelak kami mampu menyediakan "surga"--yang kami sebut rumah--untuk anak-anak kami. Tentang bagimana kelak kami memberikan pendidikan berkualitas untuk anak-anak kami. Dan semuanya akan berujung kepada, bagaimana kami mampu memiliki penghasilan untuk mencukupi semua itu.

Aku sendiri tidak menyangka, obrolan ini menjadi obrolan yang kerap kali kami perbincangkan. Beberapa tahun yang lalu, aku bahkan tidak pernah benar-benar perduli. Namun waktu membawa kami begitu cepat.

Secepat itu, aku rasa, aku pun harus berjuang melawan waktu untuk mewujudkan satu persatu obrolan itu. Entah bagaimana caranya. Ah, mungkin dengan tidak bermain-main dengan waktu dan kesempatan yang ada, salah satunya.

Dari semua obrolan dan pemikiran tersebut aku berharap, seseorang yang kelak menjadi partner untuk mewujudkan semua itu juga sudah memiliki pemikiran yang sama. Bahkan harusnya sudah perlahan berjuang mewujudkannya. Perlahan namun pasti. Kelak, aku akan menjadi penyemangatmu dan kamu akan menjadi penenangku, untuk mewujudkan semua itu.

 

cinderlila's diary Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template