Jumat, 27 September 2013

Untuk Kita Yang Percaya Bahwa Cinta Adalah Ada

0 komentar
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada, bahwa memaafkan tidak seberat memikul dendam.
 
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada, bahwa kita juga percaya bahwa ada rasa saling menghormati kepercayaan di dalam cinta.
 
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada, senyum dalam derita adalah kekuatan yang menguatkan.
 
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada dan untuk Tuhan yang membuat cinta menjadi ada, mari kita bersulang di dalam doa!
 
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada, terkadang kita menyalahgunakan keberadaannya.
 
Untuk kita yang percaya bahwa cinta adalah ada sedari awal kita memulai, kita hanya perlu saling meyakinkannya di tiap hari.
 
Puisi by Zarry Hendrik

Kamis, 26 September 2013

Angkasa... -2-

0 komentar
Lo dimana?
Lo baik-baik aja kan?
Jangan buat gue khawatir. Lo dimana, Thi?
Udah satu jam dan lo belum datang juga. Thi, please kasih tau gue keberadaan lo.
Lo udah sampai rumah, Thi?
Kubaca pesan singkat dari Angkasa. Ternyata dia meninggalkan beberapa pesan tadi. Juga beberapa panggilan.
Gue udah sampai rumah kok.
Balasaku singkat untuk pesan terakhirnya. Tanpa bertanya kembali apakah dia sudah sampai di rumahnya atau belum. Entahlah, aku tidak terlalu menyukai bertanya tentang hal-hal seperti itu. Aku merebahkan tubuhku, memainkan ulang kejadian sore tadi di Pulchra Café dalam lamunanku.
“Thia Salsabilla, lo memang bukan perempuan yang mampu membuat gue jatuh hati pada pandangan pertama. Tapi, lo mampu membuat gue mencintai diri gue sendiri, pada setiap hal yang terjadi dalam hidup gue.” Ucap Angkasa dengan raut wajah serius namun menenangkan.
“Lo buat gue mengerti, bahwa seharusnya kita terlebih dulu mencintai diri sendiri bukan sibuk mencari siapa yang akan kita cintai. Dari ke-enjoy-an lo menikmati waktu kesendirian lo, gue kemudian paham, bahwa sepatutnya tak perlu ada yang dirisaukan. Nikmati dan berbahagia saja selama masa tersebut. Jika sendiri saja tak mampu membuat kita bahagia, lalu bagaimana dengan berdua? Gue masih ingat betul perkataan lo itu.” Lanjutnya. Aku hanya diam mendengarkannya.
Kemudian lamunanku kembali ke waktu pertama kali kita berjumpa. Hari itu aku datang seorang diri ke Bandung. Begitupun dengan Angkasa. Kami duduk di meja yang sama. Aku tak banyak bicara kala itu, terlalu asik menikmati acaranya. Sampai akhirnya Angkasa menegurku basa-basi, bertanya ini itu yang aku jawab sekedarnya. Aku bukan tipe seseorang yang bisa dengan mudahnya akrab dengan orang yang baru kukenal. Aku bisa saja dengan mudahnya risih dengan pria seperti dia, tapi ternyata tidak.
Pertemuan kedua kami terjadi jauh setelah acara gathering tersebut. Itu pun tidak disengaja. Kami bertemu di salah satu mall, ketika jam makan siang. “Thia!” Sapanya seraya menyunggingkan senyum. Aku tak langsung membalas sapaannya, sibuk mengingat namanya. “Gue Angkasa. Pasti lo lupa. Gathering bloging Bandung itu lho.” Seakan mengerti aku tak ingat namanya.
Tanpa kami sadari selama ini, ternyata kantor kami berdekatan. Berawal dari situlah akhirnya kami sering bertemu. Ia beberapa kali meminta bantuanku untuk membaca ulang naskah yang telah ia edit.
Thi, bantuin gue mau gak? Baca ulang naskah yang udah gue edit.
“Kan dia yang editor, kok minta tolong sama gue?” Gumamku membaca pesan singkatnya.
“Jika memang Tuhan menciptakan setiap makhluknya berpasangan, mengapa aku masih saja berpasangan dengan kesendirian? Tanyaku pada Tuhan.” Ucapku mengulang satu kalimat dalam naskah yang telah Angkasa edit. Berawal dari kalimat tersebut, kami akhirnya berbagi pemikiran tentang kesendirian.
“Kenapa pertanyaan tersebut masih ditanyakan? Bukankah itu terlihat seperti kita tidak menikmati kesendirian itu sendiri?” Tanyaku pada Angkasa.
“Mengapa harus dipertanyakan? Nikmati dan berbahagia saja selama masa tersebut. Jika sendiri saja tak mampu membuat kita bahagia, lalu bagaimana dengan berdua?” Tanyaku lagi sebelum Angkasa menjawab pertanyaanku sebelumnya.
“Lo bahagia?” Tanyanya singkat.
“Tentu. Bukankah kita harus menikmati setiap fase dalam hidup?”
“Lo gak mau berbahagia berdua dengan orang yang mencintai lo?” Tanyanya lagi.
“Pasti mau, tapi daripada sibuk mencari seseorang itu, membuat kita lupa untuk mencintai diri sendiri, mencintai setiap hal yang telah DIA beri, bukankah jadinya sia-sia? Terlalu tinggi resiko untuk menyerahkan diri kita kepada seseorang yang tidak mencintai dirinya sendiri. Bagaimana kita bisa yakin dia kelak akan tetap mencintai jika dirinya sendiri saja tak mampu ia cintai?” Jawabku. Angkasa hanya tersenyum mendengarnya.

Rabu, 25 September 2013

Angkasa...

0 komentar
Sore ini hujan turun deras sekali, padahal siang tadi langit cerah bahkan matahari begitu terik. Aku berjalan cepat agar tubuhku tak semakin basah. Aku tak membawa payung hari ini, ah sial memang padahal biasanya aku tak pernah lupa membawa payung. Sore ini aku sudah membuat janji dengan seseorang yang emosinya melebihi singa ketika lapar jika ia dibiarkan berlama-lama menunggu. Dan—lagi-lagi—sialnya aku sudah telat hampir satu jam karena macet yang tidak jelas apa penyebabnya. Handphone ku pun mati karena kehabisan baterai. Entah akan jadi apa aku ketika bertemunya nanti, itu pun jika ia masih bersedia menunggu kedatanganku.
“Kenapa sih dia mesti milih kafe yang jauh dari kantor? Bikin repot aja.” Umpatku dalam hati.
Setelah berjalan kurang lebih 300 meter dari halte, akhirnya aku menemukan kafe tersebut, Pulchra Café, nama kafe tersebut. Dilihat dari luar kafe ini seperti rumah tua. Aku semakin tak habis dengan Angkasa, mengapa ia menginginkan bertemu di sini.
Berbicara tentang Angkasa, dia adalah pria yang baru satu tahun ini aku kenal. Kami bertemu di Bandung kala itu, ketika sama-sama menghadiri gathering salah satu komunitas menulis. Semenjak memutuskan untuk sendiri dan tidak lagi terikat dalam hubungan yang tidak jelas—menurutku—sebut saja pacaran, aku kerap aktif ikut serta dalam kegiatan tulis-menulis, rasanya seperti menemukan kembali diriku yang sebenarnya. Ya, walau tulisanku tidak seberapa bagus tapi rasanya menyenangkan. Angkasa sendiri menurutku sudah professional dalam menulis, melihat latar belakang pekerjaannya sebagai editor di salah satu penerbit.
Aku memasukki kafe dan dengan mudah melihat Angkasa duduk di salah satu meja. Raut wajahnya terlihat panik sekali. Aku semakin enggan bertemu dengannya. “Ia pasti marah besar. Duh kenapa hari ini sesial ini sih?” Gumamku dalam hati. Aku berjalan pelan, tak ingin buru-buru menghampirinya. Namun ternyata ia sudah melihatku—entah dia sedang kenapa—tiba-tiba berteriak memanggil namaku, membuat seisi kafe melihat kearahku.
“THIA!” Teriaknya. Membuatku memutuskan untuk segera menghampirinya agar ia tak lagi berteriak.
“Lo bisa…..” Belum selesai aku berbicara dia sudah terlebih dahulu memotong “Lo kemana aja? Ini kenapa basah semua gitu? Handphone lo kemana? Lo gak kenapa-kenapa kan?” Tanyanya tanpa koma, membuatku heran luar biasa.
“Lo kenapa?” Tanyaku, tak menghiraukan pertanyaannya.
“Duduk. Gue pesenin hot cappucinno ya.”
Aku duduk dan tetap bingung. “Dia kenapa? Kok tumben gak marah gue telat gini?” Pikirku. Padahal sebelumnya ia marah besar ketika Lintang—temannya yang sudah lama menyukainya—datang terlambat.
“Lo kemana? Naik apa ke sini? Engga bawa payung? Handphone lo kenapa? Kok gak kasih kabar?” Tanyanya lagi, tetap tanpa koma.
“Tadi macet, gue naik bus dan gak bawa payung. Handphone gue mati, baterainya habis jadi gak bisa kasih kabar lo.” Jawabku.
“Kenapa lo gak pulang aja sih daripada hujan-hujanan gitu. Gue pikir lo kenapa-kenapa. Tadi gue telpon kantor lo, katanya lo udah pulang. Gue jadi makin bingung.”
“Lo kenapa sih, Sa?”
“Gue khawatir! Lo pikir gue gak bakal khawatir kalau orang yang gue sayang gak ada kabar ketika gue yang minta dia untuk nemuin gue?” Jawabnya.
Seketika aku terdiam. Berusaha mencerna kata-katanya. Aku pikir otakku sudah membeku. “Dia bicara apa tadi? Khawatir? Orang yang dia sayang? Siapa? Gue?” Tanyaku dalam hati.
“Gue gak lagi bercanda, gue serius. Gue khawatir sama lo. Gue sayang sama lo!” Jawabnya seakan mampu membaca pikiranku.
“Lo bisa baca pikiran gue?”  Tanyaku, yang ia jawab hanya dengan senyum.

Senin, 16 September 2013

Hey, kakak sayang kamu!

0 komentar


September....
Lima belas tahun yang lalu, tiga september, pertama kalinya suara tangisnya memecah sepi malam itu. Mengubah cemas menjadi ucap syukur yang tiada henti diucap atas kelahiran putra kedua oleh kedua orang tua kami. Aku, saat itu tak berada disana. Tak menyaksikan kelahirannya. Mungkin masih terlalu kecil untuk ikut menyaksikan, usiaku saat itu baru tujuh tahun.

Waktu berjalan begitu cepat. Lima belas tahun rasanya terlalu cepat kami lalui. Ah, jika bisa aku putar ulang waktu, rasanya ingin sekali aku perbaiki segala prilaku yang menyakiti hatinya. Orang tua kami begitu percaya aku mampu menjadi kakak yang baik, yang dengan sepenuh hati menyayanginya, menjaganya. Namun tidak semudah itu. Beberapa kali aku marah atas kehadirannya, yang mengambil separuh hati orang tuaku.

Ia, dengan usianya yang begitu muda, kerap kali mengalah atas keegoisanku. Ah, bahkan seharusnya aku malu. Ia mengajariku banyak hal di usianya. Kasih sayangnya begitu tulus, walau tak mampu ia ucapkan. Aku, bahkan tak benar-benar mampu membencinya selama lima belas tahun ini. Jauh di dalam hati, aku begitu menyayanginya. Kelak, aku pastikan ia akan tersenyum bahagia dan tak akan pernah terluka. 

Sungguh, tak akan pernah ada saudara yang tak saling menyayangi. Pun kami.

Minggu, 15 September 2013

Belle~

0 komentar

Lapor kapten, misi temu kangen sudah terlaksana! Yeeaayy!

Akhirnya setelah sekian lama nahan rindu untuk jumpa, sabtu ini kita bisa haha hihi bareng lagi! Walau kurang satu tapi ini aja udah syukur sih tanpa babibu langsung ketemu~ udah gak tau berapa lama semenjak lulus kuliah satu tahun lalu, jarang banget ketemu gini. Ketemu sih sering ya tapi gak pernah lengkap. Ini juga gak lengkap sih.... ( '-')

Walau hari ini ketemu cuma untuk ngabisin duit padahal belum gajian sekedar makan, ngobrol dan belanja belinji (karena kini kita semua sudah jadi cewek) tapi rasanya seneng banget. Mereka (Etty; depan kiri, Acha; depan kanan, Amel; belakang kanan) itu teman masa-masa kuliah. Kalau dipikir ulang lagi, gak nyangka sih kita bisa sedekat ini. Diantara mereka bertiga pertama kali ketemu itu sama Acha, waktu PPSPPT (plis jangan tanya apa kepanjangannya, lupak). Dia tuh tadinya abis PPSPPT mau pindah kampus tapi karna semesta emang ngijininnya dia jadi semut dan gula sama gue (dimana-ada-acha-disitu-ada-dalila-dimana-ada-dalila-disitu-ada-acha) jadi batal dan tetep satu kampus. Pas PPSPPT, dia belum berhijab lho, tapi emang dasarnya Allah tuh baik ya jadi pas pertama kali mulai kuliah dia datang dengan hijab. Dan gue senang karna ada temen ribet pake hijab seusai solat hehe... Waktu berjalan, kita sekelas terus, dan akhirnya jadi seakrab ini. Dia itu apa-apanya gue deh pokoknya; apa-apa sama acha, ada apa-apa laporannya acha, punya pacar pun gegara apa-apanya dia. ("--)

Kalau sama Amel, ini tadinya gue gak deket. Gak tau lupa deh tau-tau main ke rumah dia terus tau-tau jadi deket banget sampe-sampe nyokap gue pun akrab. Gue yang anak sulung, ketemu dia yang lebih tua 3 tahun, jadi serasa punya kakak. Ah, pokoknya aku bahagia deh bisa ketemu dia. Walau kalau curhat kadang jawabannya gak nyambung (maklumin aja, mungkin faktor umur) tapi pokoknya dia bisa deh menyabarkan gue yang keras kepalanya luarrrrr biasa. Walau dia yang paling tua diantara kita, tapi dia yang paling baru berhijab, gak apa. Aku sudah sangat senang akhirnya kamu kembali ke jalan yang benar, mbe ~~~\o/ hahaha. Dan, dia sudah jadi istri orang sejak semester 4. ( ._.)

Kalau sama Etty, dia ini dulu awal ngeliat dia tuh agak bete sebenernya diem aja dipojokan kelas. Mau masuk kuliah aja dianterin sama Aa-nya. Deuh, bikin gue sama acha jatuh hati~ hahaha. Awalnya sih pemalu, jaimnya luar biasa tapi akhirnya terkontaminasi sama hebringnya kita. Dia kecil-kecil gini umurnya 2 tahun diatas gue sama acha lhoooo ~~~~\o/ tapi engga pernah mau menerima kenyataan dia sudah tua (,--) dari yang pemalu sampe akhirnya bikin sensasi dengan pacaran sama sang ketua kelas, entah bagaimana pedekatenya. Etty juga sabar banget dan baik banget, saking baiknya kita pernah ke kostan dia, dia nya ngepel dan bebenah, kitanya boboookkkkk di kasur. ~~~\o/

Sejauh ini, Allah selalu baik. Memperkenalkan gue dengan mereka-mereka yang luar biasa baik. Yang dimanapun bisa bikin gue selalu ingat Allah. Yang selalu dengan ikhlas berbagi apapun; suka, duka, tawa, tangis, semangat. Walau sekarang cerita sudah gak seintensif dulu, tapi setidaknya kami saling tau kabar masing-masing.

Terima kasih untuk setiap hal yang sudah kita lakukan. Untuk setiap tangan yang setia mengusap tangis. Untuk setiap hati yang selalu menciptakan tawa. Tak perlu ragu mimpi-mimpi kalian tak menjadi nyata, tetap berusaha! Jangan menyerah! Ucapkan apapun yang kalian mau, lakukan apapun yang kalian bisa dan akan tiba saatnya semesta menjawab semua.



Sampai jumpa secepatnya!




Ps: Hijab mereka beraneka gaya ya? Aku masih tetap sama. Padahal mereka pemula. ( ._.)

Jumat, 13 September 2013

Mereka; Pahlawan Batik

0 komentar


Batik, kain yang selama ini dibangga-banggakan sebagai salah satu identitas nusantara. Yang ketika negara tetangga mengakui sebagai miliknya, "kita" lantas marah. "Kita."

Kita, yang (mungkin) hanya tau jadi. Memilih motif lantas membeli. Yang (mungkin) tak pernah berpikir tentang makna ide kreatif dari setiap motif. Yang hanya menjadikan batik sekedar simbol nasionalis dan juga prestige.

Ketika kini batik menjadi salah satu kain kebanggaan nusantara, aku rasa ada hal yang harus digaris bawahi. Bukan "kita" yang menjadi pahlawan hingga berhasil membut negara tetangga mengakui batik milik negeri ini, namun mereka, yang tetap setia mencipta karya, yang tanpa peduli usia pun meski sudah renta. Ibu-ibu dalam foto ini salah satunya. Bukan dengan emosi namun karya seni. Sudahkah berterima kasih kepada mereka?


Solo, satu tahun lalu.

Kamis, 12 September 2013

My Beloved Bestfriend...

0 komentar
Sahabat, satu kata yang memiliki banyak makna. Setiap orang tidak akan benar-benar memiliki kesamaan dalam memaknai kata sahabat. Sahabat bisa saja adalah teman yang sudah sangat lama kita kenal dan masih memiliki hubungan baik. Atau bisa juga seseorang yang baru saja kita kenal namun mampu memberi ketentraman dalam hati. Ya, hati. Karena sesungguhnya kita menggunakan hati dalam memaknai arti sahabat.

Untukku, sahabat adalah ia yang mampu membahagiakan di saat duka datang. Sahabat adalah ia yang selalu mampu berbagi kebahagiaan. Sahabat adalah ia yang mampu menyisihkan waktu pun ketika dua puluh empat jam berlalu begitu cepat. Sahabat adalah ia yang menyapa walau tak sedang berjumpa. Sahabat adalah ia yang mampu menjaga walau tak sedang bersama. Dan sahabat adalah seseorang yang pertama kali aku ingat namanya di saat masalah mampu membuatku tak mengingat segala hal.

Dan DIA begitu baik, meski hanya memberi satu, namun memberi sahabat yang begitu sempurna. Yang dengan segala kelemahannya mampu membuatku kuat untuk tetap berdiri. Dan dengan segala kekuatannya mampu membuatku merasa lemah untuk menyadarkan bahwa aku memerlukan-MU.



My beloved bestfriend, My Mommy!

Rabu, 11 September 2013

Doa Untuk Dato

0 komentar


Jika ada mimpi dan harap yang menjadi nyata, pasti selalu ada doa beliau di belakangnya. Pun jika ada mimpi dan harap yang tak kunjung menjadi nyata namun aku masih sabar menanti, pasti doa beliau adalah alasannya. Tak perlu memintanya untuk mendoakan. Ia sudah paham betul jika kita mendoakan seseorang, maka malaikat pun akan mendoakan.

Untuk semua kebaikannya, maka Allah......
Ampunkanlah segala dosanya,
Kabulkanlah segala pintanya,
Mudahkanlah urusannya,
Sehatkanlah badannya,
Tentramkanlah jiwanya,

Allah,
Berikanlah dunia yang damai untuknya,
Dan,
Kelak,
Gantilah dengan surgamu bila dunia tak lagi mendamaikannya.....

Dato,
We love you.

Minggu, 08 September 2013

Kami; Kebahagiaan Memahami

0 komentar
Matahari pagi ini begitu cerah seperti ingin bersama merayakan kebahagiaan. Kebahagiaan yang mungkin sudah sejak lama aku tanyakan keberadaannya. Kali ini ia--kebahagiaan ini--datang menyambutku hangat.

Aku bahkan masih benar-benar ingat masa dimana aku mengutuk semua kebahagiaan. Masa dimana aku tak percaya setiap orang memiliki kebahagiaannya. Masa dimana aku bahkan tak mampu membahagiakan diriku sendiri. Sampai pada akhirnya Tuhan menghadiahiku kebahagiaan melalui kehadiran seseorang yang tak aku harapkan sebelumnya.

Aku--kala itu--sedang menjauh dari keramaian kota yang membuatku penat. Menjauh dari senyuman palsu mereka yang sudah tak lagi layak disebut makhluk sosial. Aku meninggalkan kota menuju desa kecil di ujung barat Indonesia. Bertekad menciptakan kebahagiaanku sendiri. Tak ada niat seperti mengajar anak-anak ataupun misi sosial lainnya, di sana aku hanya benar-benar ingin menciptakan bahagiaku sendiri. Aku kala itu tinggal seorang diri di satu rumah yang aku sewa untuk enam bulan.

Setiap pagi aku dapat melihat dengan jelas betapa indahnya matahari terbit. Pandanganku tak dihalangi oleh gedung-gedung tinggi. Indah. Damai. Penduduk di sini sangat ramah, mereka kerap kali berkunjung ke tempatku membawakan makanan buatan mereka sendiri. Tulus. Pun di saat bahasa menjadi penghalang kami. Ah, yang perlu diketahui, walau aku masih berada di Indonesia, namun mereka tak mampu berbahasa Indonesia dengan baik.

Awalnya aku tidak perduli dengan keadaan itu, sampai kemudian datang seorang pria yang datang dengan sejuta mimpi--yang menurutku terlalu muluk. Ia, yang mengetahui bahwa aku datang dari kota, dengan penuh percaya diri mengajakku untuk membantunya--mengajar penduduk di sini. Pahlawan kesiangan, pikirku saat itu. Untuk apa mengajarkan bahasa kepada mereka jika hati mereka sudah mampu berbicara? Tak seperti penduduk kota yang mampu sejuta bahasa namun hati bisu.

Sekeras aku berusaha menolak, sekeras itu pula pria ini membujuk. Karena dibanding hati, komunikasi tetap menjadi faktor utama saling memahami. Jelasnya kepadaku. Aku pun memutuskan membantunya, sedikit demi sedikit mengajarkan bahasa Indonesia kepada mereka. Entah apa yang ada dipikiran pria ini aku masih belum mengerti, bahkan ia tidak sepertiku yang kesulitan berkomunikasi. Ia sangat fasih berbahasa daerah. Lalu apa yang membuat ia kesulitan untuk saling memahami?

Pertanyaan itu lalu dijawab oleh Tuhan dengan membiarkan hati kami saling memahami.



Rabu, 04 September 2013

Sepucuk Rindu~

0 komentar
Ketika rasa tidak lagi sama, mungkin ada sesuatu yang salah.

Dear kalian,
Ingat pernah menerima surat dari blog ini—tujuh bulan lalu?
Ingat pernah ada cerita—yang belum tamat—di blog ini tentang kita?
Ingat bagaimana kita pernah berkumpul lalu tertawa bersama—berlima?
Berlima. Bukan bertiga atau berdua. Pun bukan seorang diri.
Bagaimana keadaan multi-chat setelah kepergian tuan putri?
Tante baik-baik saja? Bagaimana kabar kita? Aku rindu. Peluk sejuta maaf juga sesal untukmu.
Paduka ratu sepertinya sudah lebih dewasa. Beberapa hari lalu, dia mengirimi pesan panjang lebar namun berakhir sama, kesulitan mencerna kata.
Mommy nongski masih berusaha menghindari nasi dan mengganti dengan burger juga kentang dan tak lupa soda? Semangat bekerjanya!
Papah sih baik-baik saja, ya? Kita bahkan baru menghabiskan waktu minggu lalu. Tidakkah juga rindu mereka?
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin disampaikan, namun otak terlalu buntu untuk mencerna setiap aba-aba dari hati. Seakan semua kata berlomba ingin keluar terlebih dulu. Entah itu rindu, benci, duka, suka, apapun.
Bagaimana sabtu lalu? Rasanya ingin sekali bertanya mengapa…… Ah tapi sudahlah. Toh bertanya pun tak dapat membalikkan waktu.
Coba ingat, kapan terakhir kita berlima tertawa bersama? Aku bahkan lupa.

Love,
Tuan Putri.

Ps: Tidakkah surat ini terlalu pendek? Sepertinya stok kenangan mulai menipis dan harus segera di-refill agar melupakan tidak menjadi pilihan. Lalu kapan bertemu?

Minggu, 01 September 2013

Pelangi ini abu-abu

0 komentar

Senja,  pada pukul lima dua puluh lima menit.

Aku terduduk dalam diam di sebuah cafe yang lumayan tenang. Menatap langit sambil sesekali minum kopi atau minum kopi sambil sesekali menatap langit—entahlah. Langit kali ini—seharusnya—sangat indah, guratan warna pelangi seperti mahkota menghiasi langit yang cerah ini. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Berpadu menjadi abu-abu dalam penglihatanku—semu.

Pelangi ini mengingatkanku pada dia yang sangat aku sayangi dalam suatu hubungan yang begitu indah. Sering, beberapa orang menganggap aku bermimpi tentang bagaimana aku memiliki hubungan seindah ini—dulu. Semua berjalan indah. Berbagi apa saja yang bisa kami bagi, entah bahagia pun duka. 

Aku buka kembali beberapa album dalam telepon genggamku, bukti kami benar-benar sebahagia itu. Tertawa penuh bahagia, dalam sorot mata penuh percaya, juga janji—bahwa kita akan tetap seperti ini. Beberapa orang pernah mengatakan, kami terpilih, karna Sang Pencipta begitu baik mempertemukan dua hati yang benar-benar tulus menjalin hubungan seperti ini. Pun mereka katakan kami perlu hati-hati jika kelak jarak menjauhi. Tak ada perkataan mereka yang aku dengar—kala itu. 

Aku yakin betul kami akan selalu mengasihi, berbagi cinta dengan sepenuh hati—tanpa pamrih. Selain kami berdua, beberapa orang pun masuk dalam lingkaran ini. Aku menjadi sangat yakin hubungan ini begitu mudah dijalani, semua akan terus baik-baik saja. Sampai kemudian aku menyadari, ada yang salah dalam hubungan ini. Beberapa kali aku memperingati kelak hubungan ini akan menjadi abu-abu, tak lagi berpelangi—tak ia hiraukan. 

Perlahan namun pasti, tujuh warna pelangi memudar, menjadi satu yaitu abu-abu—seperti kami. Kini kami memilih jalan sendiri-sendiri, jalan yang—untukku—begitu berbahaya untuk dilalui sendiri. Namun, aku sudah terlanjur sendiri. Kami, terpisah oleh sesuatu yang dulu sudah pernah mereka peringati, jarak—walau bukan dalam arti yang sebenarnya.

Jarak itu sudah begitu jauh untuk akhirnya kami kembali. Kami—aku entah ia pun rasakan juga—sudah tidak lagi mungkin kembali. Jarak memisah-paksa-kan kami. Aku bahkan tidak bisa lagi melihat senyum cerianya, mendengar suara gaduhnya, merasakan hangat hatinya. 

Beberapa kali kami berada dalam satu lokasi, namun hati sudah begitu membeku untuk sekedar saling menghangatkan. Kami tersenyum getir. Aku, bukan tidak ingin memperbaiki, namun aku tak mau ia tersakiti bila ia tau sesakit ini untukku—tanpanya. 

Seseorang begitu sangat baik membantukku memperbaiki, namun semua sia-sia, karena justru kami—aku dan seseorang ini—saling melukai. Aku gemetar hebat, kala itu, membaca pesan yang ia tuliskan. Aku terkhianati, ia tersakiti. 

Air mata pun mengalir sederas-derasnya, melihat tak ada lagi namaku dalam sinar wajahnya—semoga tidak dalam hatinya. Jika ada yang ingin aku miliki sekarang ini, hanya abu-abu ini kembali menjadi pelangi. Masih banyak mimpi yang belum terealisasi atas nama kami. Semoga kelak kami masih menjadi orang terpilih hingga hubungan ini dapat kembali. Bersama kembali, berbagi kasih tanpa pamrih. Satu sama lain menjadi pilar untuk bersandar ketika letih. Ya, semoga, kelak, suatu saat nanti.


Semoga ini menjadi bukti, bahwa aku masih begitu menyayangi.
 

cinderlila's diary Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template