Lo dimana?
Lo baik-baik aja kan?
Jangan buat gue khawatir. Lo dimana, Thi?
Udah satu jam dan lo belum datang juga. Thi, please kasih tau gue keberadaan lo.
Lo udah sampai rumah, Thi?
Kubaca pesan singkat dari Angkasa. Ternyata dia meninggalkan beberapa pesan tadi. Juga beberapa panggilan.
Gue udah sampai rumah kok.
Balasaku singkat untuk pesan terakhirnya. Tanpa bertanya kembali apakah dia sudah sampai di rumahnya atau belum. Entahlah, aku tidak terlalu menyukai bertanya tentang hal-hal seperti itu. Aku merebahkan tubuhku, memainkan ulang kejadian sore tadi di Pulchra Café dalam lamunanku.
“Thia Salsabilla, lo memang bukan perempuan yang mampu membuat gue jatuh hati pada pandangan pertama. Tapi, lo mampu membuat gue mencintai diri gue sendiri, pada setiap hal yang terjadi dalam hidup gue.” Ucap Angkasa dengan raut wajah serius namun menenangkan.
“Lo buat gue mengerti, bahwa seharusnya kita terlebih dulu mencintai diri sendiri bukan sibuk mencari siapa yang akan kita cintai. Dari ke-enjoy-an lo menikmati waktu kesendirian lo, gue kemudian paham, bahwa sepatutnya tak perlu ada yang dirisaukan. Nikmati dan berbahagia saja selama masa tersebut. Jika sendiri saja tak mampu membuat kita bahagia, lalu bagaimana dengan berdua? Gue masih ingat betul perkataan lo itu.” Lanjutnya. Aku hanya diam mendengarkannya.
Kemudian lamunanku kembali ke waktu pertama kali kita berjumpa. Hari itu aku datang seorang diri ke Bandung. Begitupun dengan Angkasa. Kami duduk di meja yang sama. Aku tak banyak bicara kala itu, terlalu asik menikmati acaranya. Sampai akhirnya Angkasa menegurku basa-basi, bertanya ini itu yang aku jawab sekedarnya. Aku bukan tipe seseorang yang bisa dengan mudahnya akrab dengan orang yang baru kukenal. Aku bisa saja dengan mudahnya risih dengan pria seperti dia, tapi ternyata tidak.
Pertemuan kedua kami terjadi jauh setelah acara gathering tersebut. Itu pun tidak disengaja. Kami bertemu di salah satu mall, ketika jam makan siang. “Thia!” Sapanya seraya menyunggingkan senyum. Aku tak langsung membalas sapaannya, sibuk mengingat namanya. “Gue Angkasa. Pasti lo lupa. Gathering bloging Bandung itu lho.” Seakan mengerti aku tak ingat namanya.
Tanpa kami sadari selama ini, ternyata kantor kami berdekatan. Berawal dari situlah akhirnya kami sering bertemu. Ia beberapa kali meminta bantuanku untuk membaca ulang naskah yang telah ia edit.
Thi, bantuin gue mau gak? Baca ulang naskah yang udah gue edit.
“Kan dia yang editor, kok minta tolong sama gue?” Gumamku membaca pesan singkatnya.
“Jika memang Tuhan menciptakan setiap makhluknya berpasangan, mengapa aku masih saja berpasangan dengan kesendirian? Tanyaku pada Tuhan.” Ucapku mengulang satu kalimat dalam naskah yang telah Angkasa edit. Berawal dari kalimat tersebut, kami akhirnya berbagi pemikiran tentang kesendirian.
“Kenapa pertanyaan tersebut masih ditanyakan? Bukankah itu terlihat seperti kita tidak menikmati kesendirian itu sendiri?” Tanyaku pada Angkasa.
“Mengapa harus dipertanyakan? Nikmati dan berbahagia saja selama masa tersebut. Jika sendiri saja tak mampu membuat kita bahagia, lalu bagaimana dengan berdua?” Tanyaku lagi sebelum Angkasa menjawab pertanyaanku sebelumnya.
“Lo bahagia?” Tanyanya singkat.
“Tentu. Bukankah kita harus menikmati setiap fase dalam hidup?”
“Lo gak mau berbahagia berdua dengan orang yang mencintai lo?” Tanyanya lagi.
“Pasti mau, tapi daripada sibuk mencari seseorang itu, membuat kita lupa untuk mencintai diri sendiri, mencintai setiap hal yang telah DIA beri, bukankah jadinya sia-sia? Terlalu tinggi resiko untuk menyerahkan diri kita kepada seseorang yang tidak mencintai dirinya sendiri. Bagaimana kita bisa yakin dia kelak akan tetap mencintai jika dirinya sendiri saja tak mampu ia cintai?” Jawabku. Angkasa hanya tersenyum mendengarnya.