Pagi ini hujan turun cukup lebat, cukup untuk menambahkan catatan dosa saya karena di sepanjang perjalanan di Trans Jakarta saya mengumpat tiada henti pada alam yang menurunkan berkahnya di waktu yang tidak tepat, setidaknya menurut saya. Coba kalian bayangkan, bagaimana bisa saya bersyukur atas berkah hujan yang diberikan Tuhan sepagi ini saat saya menyadari bahwa tidak ada payung lipat di ransel saya yang sudah super berat ini. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa hujan membuat perjalanan saya kian lambat padahal saya harus datang pada waktu yang tepat untuk mempersiapkan rapat dengan para pejabat.
"Kenapa sih harus hujan di pagi hari gini? Kenapa engga nanti siang aja sih jadi gue gak perlu ikut-ikutan gabung makan siang sama geng penjilat."
"Emang lo bawa sial sih."
"Sial banget emang. Makasih lho hujan udah bikin kacau hari gue."
Sebelum umpatan yang terlontar dari mulut saya yang biasanya tidak banyak bicara ini semakin banyak, Trans Jakarta sudah berhenti di Halte tempat saya harus turun. Jarak kantor saya dengan halte ini memang tidak jauh, hanya sekitar 150 meter jalan kaki, aktifitas yang menjadi favorite saya sebenarnya setiap pagi karena di sepanjang jalan ada banyak tukang jajan yang bisa menjadi amunisi agar tetap kuat menghadapi suasana kantor yang panasnya selalu seperti ada celah neraka di setiap ruangan.
Setelah turun dari Trans Jakarta saya memiliih jalan lambat, barangkali sesampainya saya di akhir tangga halte ini, hujan akan reda. Saya bahkan sudah tidak memikirkan lagi makanan apa yang akan saya beli pagi ini. Meski rasanya saya sudah jalan bak ratu siput yang super lambat, hujan tidak juga menunjukan tanda-tanda akan reda. Saya juga tidak pernah melihat adanya ojek payung di halte ini, itu lah mengapa saya selalu membawa payung lipat yang hari ini menghilang begitu saja seperti kisah cinta saya.
Saya berusaha mencari cara bagaimana kemeja dan rok ini tidak basah karena kenyataannya saya tidak pernah memiliki baju cadangan di laci meja kantor. Lagi pula, siapa sih yang begitu rajin menyimpan baju cadangan di kantor? Bagusnya ransel saya ini anti air, setidaknya itu yang salesnya katakan saat menawari saya ransel yang mirip tempurung kura-kura di badan saya yang seada-adanya ini. Beruntungnya lagi, saya menyimpan sepatu heels saya di kantor dan selalu berangkat dengan menggunakan sendal jepit andalan.
Pagi ini, halte tidak terlihat begitu ramai. Sepertinya orang-orang memilih membawa kendaraannya sendiri, beruntungnya mereka yang bisa menyetir kendaraan entah motor atau mobil, apalah daya saya yang hanya bisa menggowes sepeda, itu pun roda empat. Sesampainya pada penghujung halte, saya melihat anak kecil, tidak terlalu kecil sih, mungkin remaja yang sudah duduk di bangku SMP, berdiri menatap ke dalam lorong halte dengan payungnya yang super besar.
"OJEK PAYUNG?????" Saya terheran-heran dalam hati.
"Payungnya kak?" Anak itu berkata seraya menyodorkan payung super besarnya kepada saya.
"IYA IYA DEK KE GEDUNG ANGKASA YA." Ucap saya bersemangat, ternyata alam masih tau diri untuk tidak membiarkan saya bertambah sial hari ini.
Kami berjalan beriringan, namun ia tidak berada di dalam payung meski seharusnya muat jika ia ingin berjalan lebih dekat dengan saya.
"Gak apa-apa, kak. Kakak saja yang pakai payungnya biar gak kebasahan dan gak sakit biar bisa semangat kerjanya. Kalau saya kan memang sudah kerjaannya hujan-hujanan. Udah akrab saya kak sama air hujan. Saya makasih banget malah sama hujan, setiap ada hujan saya jadi bisa nabung untuk tambahan daftar sekolah tahun depan." Celotehnya panjang lebar dengan senyum yang tidak kalah lebarnya.
Tau apa yang terjadi? Air mata saya menetes begitu saja. Entah ada apa dengan saya hari ini. Saya bahkan tidak mengeluarkan air mata sedikitpun saat melihat mantan saya update foto pernikahan dengan sahabat saya sendiri. Tapi bisa-bisanya air mata saya mengalir dan nafas saya menjadi berat saat mendengar perkataan anak remaja yang baru saya temui hari ini.
Tidak ingin terlihat aneh, saya berjalan menundukan kepala dan tentu terdiam sepanjang jalan. Untungnya jarak ke gedung tempat kantor saya berada, tidak jauh. Sesampainya di Lobby Gedung Angkasa, saya mengembalikan payung tersebut kepada Raka, nama remaja ojek payung tersebut. Saya bergegas mengambil dompet untuk memberikan upahnya. Saya mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari dompet saya dan memberikan kepadanya.
"Yah kak, kakak orang pertama hari ini. Saya belum punya kembalian. Gak ada lima ribu aja kak?" Ucapnya kepada saya sambil menolak uang lima puluh ribu saya.
"Gak ada, gak apa-apa ambil aja buat tambahan kamu nabung." Sesungguhnya, saya punya empat lembar uang lima ribuan, tapi sepertinya benar, bahwa hujan mendatangkan berkah dan kebaikan seperti malaikat yang berhasil menang dari setan pagi ini di hati saya.
"Bener kak?" Tanyanya tidak percaya dan dengan mata yang bersinar.
"Iya ambil aja."
"TERIMA KASIH BANYAK KAK. TERIMA KASIH BANYAK YA KAK. SEMOGA KAKAK BAHAGIA SELALU DAN DILANCARKAN REJEKINYA. TERIMA KASIH BANYAK YA KAK." Ucap Raka menggebu-gebu seperti sedang mendapatkan hadiah lima puluh juta secara cuma-cuma.
Saya pun tersenyum dan terburu-buru berjalan masuk ke dalam gedung, karena sepertinya air mata sudah ingin tumpah dari tempatnya. Bahagia selalu? Saya teringat doanya, doa yang jarang sekali saya panjatkan namun pagi ini diucapkan oleh seorang anak remaja yang bahkan saya ragu ia sudah mengerti arti kata bahagia.
Tunggu... sepertinya saya yang terlalu rumit mengartikan kata bahagia, karena baginya bahagia hanya sesederhana menerima uang lima puluh ribu yang untuk saya hanya senilai satu gelas kopi di siang hari. Iya, ternyata bahagia tidak pernah serumit yang saya pikirkan.
Ditulis dengan imajinasi dalam rangka #30DaysWritingChallenge hari ke sembilan dengan tema Happiness. Bagi saya sendiri, bahagia sesederhana pada akhirnya kamu dan saya berada pada perasaan yang sama.
0 komentar:
Posting Komentar