Yang terhormat, Bapak Walikota.
Sebelumnya perkenalkan, pak. Saya Dalila, dua puluh tiga tahun dan sedang mencari kerja. Orang tua saya berdarah Jakarta - Sumatera, Pak. Tapi walau begitu, saya sudah lahir dan tetap tinggal di Depok sampai sudah seusia ini. Belum berencana meninggalkan Depok juga.
Bapak Walikota,
Surat ini adalah surat ketiga di #30HariMenulisSuratCinta yang diselenggarakan oleh @PosCinta. Dan surat ini untuk bapak. Bapak punya waktu senggang sekitar lima menit kan? Iya Pak, hanya lima menit saja untuk membaca surat ini.
Dear Bapak Walikota,
Hari ini saya harus berangkat pagi-pagi buta, pak. Mungkin saat saya sudah harus menggigil karena dinginnya air subuh dan sudah berdiri di depan peron stasiun, bapak masih bercengkrama dengan anak-anak bapak. Pagi ini, saya mungkin bahkan lebih pagi hadirnya dari matahari. Tapi, saya bersemangat pak. Demi masa depan lebih baik, bukan begitu pak?
Depok - Jakarta memang tidak jauh, pak. Tapi bapak tau kan hari ini hari apa? Senin pak. Sayangnya, hari ini semua serba ganas pak. Saya sudah berada di depan peron stasiun sedaritadi tapi tak juga bisa masuk ke dalam kereta pak. Sudah tiga kali saya terpental-pental oleh mereka yang tenaganya sepuluh kali lipat dari saya. Padahal saya tidak besar pak, tidak akan menghabiskan banyak ruang dalam kereta, tapi bahkan saya tidak bisa masuk. Semangat saya sedari pagi tadi pun ikut terpental-pental entah kemana pak. Sebenarnya hari ini saya ada test untuk pekerjaan, tapi kesabaran saya juga sudah diuji sebelum sampai ke lokasi. Untungnya stok sabar saya sudah diisi ulang.
Pak, saya warga Depok sedari lahir. Kartu tanda penduduk saya juga Depok. Saya menghabiskan waktu sekolah, kecuali SMA, yang juga di Depok. Saya juga menghabiskan akhir pekan di Depok pak. Bahkan ketika harus dirawat, saya juga dirawat di rumah sakit Depok pak. Saya warga Depok sejati pak. Tapi, dari semua hal yang saya lakukan di Depok, ada satu yang kurang. Iya, saya tidak bekerja di Depok.
Bapak Walikota,
Saya dan Depok menjadi saksi kehidupan masing-masing. Depok lahir ketika saya masih berseragam putih-merah, kami beda tujuh tahun. Namun, Depok berkembang begitu cepat. Pertumbuhan ekonomi pun melaju pesat, bukan begitu pak? Saya bersyukur Depok memiliki walikota-walikota yang kompeten. Jika tidak, Depok tidak akan berkembang pesat seperti ini. Namun, dari semua itu, warga Depok masih banyak sekali yang bekerja di Ibukota. Untuk itu, bisakah bapak menyediakan lapangan pekerjaan lebih banyak untuk saya? Tidak tidak, lebih tepatnya untuk orang-orang seperti saya.
Kelak saya akan menjadi istri dan ibu untuk anak-anak saya. Saya tidak dapat membayangkan jika harus meninggalkan mereka pagi-pagi buta untuk mencari uang yang hanya mampu untuk membelikan satu dua buah mainan. Lalu akan sampai di rumah ketika mereka sudah terlelap. Tapi tidak akan seperti itu kejadiannya jika saya dapat bekerja di Depok, pak. Saya bisa berangkat kerja setelah menyajikan sarapan untuk mereka, sepulang kerja masih dapat membantu mereka mengerjakan pekerjaan rumah lalu bercanda bersama dan tentunya saya masih mampu membelikan mereka satu dua buah mainan.
Sebelum surat ini bertambah panjang, baiknya saya harus mengakhiri surat ini karena bapak pasti akan sangat sibuk mengurusi setiap aspek di Depok. Semoga bapak bisa memikirkan kembali harapan saya tadi. Surat ini saya akhiri dengan doa agar bapak tetap selalu amanah menjalani tugas bapak. Saya yakin bapak tidak akan mengecewakan kepercayaan saya dan warga Depok lainnya. Saya juga berdoa semoga kita semua akan semakin ramah kepada lingkungan Depok yang sepertinya sangat cepat menua dari usianya, saya khawatir Depok akan jatuh sakit. Bagaimanapun, Depok adalah rumah untuk saya. Ke kota manapun saya pergi, Depok masih yang ternyaman untuk saya. Saya percayakan Depok kepada bapak. Semangat!
Salam hormat,
Saya.
*Ditulis sambil terjepit-jepit di kereta.
0 komentar:
Posting Komentar