Aku bahkan masih benar-benar ingat masa dimana aku mengutuk semua kebahagiaan. Masa dimana aku tak percaya setiap orang memiliki kebahagiaannya. Masa dimana aku bahkan tak mampu membahagiakan diriku sendiri. Sampai pada akhirnya Tuhan menghadiahiku kebahagiaan melalui kehadiran seseorang yang tak aku harapkan sebelumnya.
Aku--kala itu--sedang menjauh dari keramaian kota yang membuatku penat. Menjauh dari senyuman palsu mereka yang sudah tak lagi layak disebut makhluk sosial. Aku meninggalkan kota menuju desa kecil di ujung barat Indonesia. Bertekad menciptakan kebahagiaanku sendiri. Tak ada niat seperti mengajar anak-anak ataupun misi sosial lainnya, di sana aku hanya benar-benar ingin menciptakan bahagiaku sendiri. Aku kala itu tinggal seorang diri di satu rumah yang aku sewa untuk enam bulan.
Setiap pagi aku dapat melihat dengan jelas betapa indahnya matahari terbit. Pandanganku tak dihalangi oleh gedung-gedung tinggi. Indah. Damai. Penduduk di sini sangat ramah, mereka kerap kali berkunjung ke tempatku membawakan makanan buatan mereka sendiri. Tulus. Pun di saat bahasa menjadi penghalang kami. Ah, yang perlu diketahui, walau aku masih berada di Indonesia, namun mereka tak mampu berbahasa Indonesia dengan baik.
Awalnya aku tidak perduli dengan keadaan itu, sampai kemudian datang seorang pria yang datang dengan sejuta mimpi--yang menurutku terlalu muluk. Ia, yang mengetahui bahwa aku datang dari kota, dengan penuh percaya diri mengajakku untuk membantunya--mengajar penduduk di sini. Pahlawan kesiangan, pikirku saat itu. Untuk apa mengajarkan bahasa kepada mereka jika hati mereka sudah mampu berbicara? Tak seperti penduduk kota yang mampu sejuta bahasa namun hati bisu.
Sekeras aku berusaha menolak, sekeras itu pula pria ini membujuk. Karena dibanding hati, komunikasi tetap menjadi faktor utama saling memahami. Jelasnya kepadaku. Aku pun memutuskan membantunya, sedikit demi sedikit mengajarkan bahasa Indonesia kepada mereka. Entah apa yang ada dipikiran pria ini aku masih belum mengerti, bahkan ia tidak sepertiku yang kesulitan berkomunikasi. Ia sangat fasih berbahasa daerah. Lalu apa yang membuat ia kesulitan untuk saling memahami?
Pertanyaan itu lalu dijawab oleh Tuhan dengan membiarkan hati kami saling memahami.
Aku--kala itu--sedang menjauh dari keramaian kota yang membuatku penat. Menjauh dari senyuman palsu mereka yang sudah tak lagi layak disebut makhluk sosial. Aku meninggalkan kota menuju desa kecil di ujung barat Indonesia. Bertekad menciptakan kebahagiaanku sendiri. Tak ada niat seperti mengajar anak-anak ataupun misi sosial lainnya, di sana aku hanya benar-benar ingin menciptakan bahagiaku sendiri. Aku kala itu tinggal seorang diri di satu rumah yang aku sewa untuk enam bulan.
Setiap pagi aku dapat melihat dengan jelas betapa indahnya matahari terbit. Pandanganku tak dihalangi oleh gedung-gedung tinggi. Indah. Damai. Penduduk di sini sangat ramah, mereka kerap kali berkunjung ke tempatku membawakan makanan buatan mereka sendiri. Tulus. Pun di saat bahasa menjadi penghalang kami. Ah, yang perlu diketahui, walau aku masih berada di Indonesia, namun mereka tak mampu berbahasa Indonesia dengan baik.
Awalnya aku tidak perduli dengan keadaan itu, sampai kemudian datang seorang pria yang datang dengan sejuta mimpi--yang menurutku terlalu muluk. Ia, yang mengetahui bahwa aku datang dari kota, dengan penuh percaya diri mengajakku untuk membantunya--mengajar penduduk di sini. Pahlawan kesiangan, pikirku saat itu. Untuk apa mengajarkan bahasa kepada mereka jika hati mereka sudah mampu berbicara? Tak seperti penduduk kota yang mampu sejuta bahasa namun hati bisu.
Sekeras aku berusaha menolak, sekeras itu pula pria ini membujuk. Karena dibanding hati, komunikasi tetap menjadi faktor utama saling memahami. Jelasnya kepadaku. Aku pun memutuskan membantunya, sedikit demi sedikit mengajarkan bahasa Indonesia kepada mereka. Entah apa yang ada dipikiran pria ini aku masih belum mengerti, bahkan ia tidak sepertiku yang kesulitan berkomunikasi. Ia sangat fasih berbahasa daerah. Lalu apa yang membuat ia kesulitan untuk saling memahami?
Pertanyaan itu lalu dijawab oleh Tuhan dengan membiarkan hati kami saling memahami.
0 komentar:
Posting Komentar