Rabu, 25 September 2013

Angkasa...

Sore ini hujan turun deras sekali, padahal siang tadi langit cerah bahkan matahari begitu terik. Aku berjalan cepat agar tubuhku tak semakin basah. Aku tak membawa payung hari ini, ah sial memang padahal biasanya aku tak pernah lupa membawa payung. Sore ini aku sudah membuat janji dengan seseorang yang emosinya melebihi singa ketika lapar jika ia dibiarkan berlama-lama menunggu. Dan—lagi-lagi—sialnya aku sudah telat hampir satu jam karena macet yang tidak jelas apa penyebabnya. Handphone ku pun mati karena kehabisan baterai. Entah akan jadi apa aku ketika bertemunya nanti, itu pun jika ia masih bersedia menunggu kedatanganku.
“Kenapa sih dia mesti milih kafe yang jauh dari kantor? Bikin repot aja.” Umpatku dalam hati.
Setelah berjalan kurang lebih 300 meter dari halte, akhirnya aku menemukan kafe tersebut, Pulchra Café, nama kafe tersebut. Dilihat dari luar kafe ini seperti rumah tua. Aku semakin tak habis dengan Angkasa, mengapa ia menginginkan bertemu di sini.
Berbicara tentang Angkasa, dia adalah pria yang baru satu tahun ini aku kenal. Kami bertemu di Bandung kala itu, ketika sama-sama menghadiri gathering salah satu komunitas menulis. Semenjak memutuskan untuk sendiri dan tidak lagi terikat dalam hubungan yang tidak jelas—menurutku—sebut saja pacaran, aku kerap aktif ikut serta dalam kegiatan tulis-menulis, rasanya seperti menemukan kembali diriku yang sebenarnya. Ya, walau tulisanku tidak seberapa bagus tapi rasanya menyenangkan. Angkasa sendiri menurutku sudah professional dalam menulis, melihat latar belakang pekerjaannya sebagai editor di salah satu penerbit.
Aku memasukki kafe dan dengan mudah melihat Angkasa duduk di salah satu meja. Raut wajahnya terlihat panik sekali. Aku semakin enggan bertemu dengannya. “Ia pasti marah besar. Duh kenapa hari ini sesial ini sih?” Gumamku dalam hati. Aku berjalan pelan, tak ingin buru-buru menghampirinya. Namun ternyata ia sudah melihatku—entah dia sedang kenapa—tiba-tiba berteriak memanggil namaku, membuat seisi kafe melihat kearahku.
“THIA!” Teriaknya. Membuatku memutuskan untuk segera menghampirinya agar ia tak lagi berteriak.
“Lo bisa…..” Belum selesai aku berbicara dia sudah terlebih dahulu memotong “Lo kemana aja? Ini kenapa basah semua gitu? Handphone lo kemana? Lo gak kenapa-kenapa kan?” Tanyanya tanpa koma, membuatku heran luar biasa.
“Lo kenapa?” Tanyaku, tak menghiraukan pertanyaannya.
“Duduk. Gue pesenin hot cappucinno ya.”
Aku duduk dan tetap bingung. “Dia kenapa? Kok tumben gak marah gue telat gini?” Pikirku. Padahal sebelumnya ia marah besar ketika Lintang—temannya yang sudah lama menyukainya—datang terlambat.
“Lo kemana? Naik apa ke sini? Engga bawa payung? Handphone lo kenapa? Kok gak kasih kabar?” Tanyanya lagi, tetap tanpa koma.
“Tadi macet, gue naik bus dan gak bawa payung. Handphone gue mati, baterainya habis jadi gak bisa kasih kabar lo.” Jawabku.
“Kenapa lo gak pulang aja sih daripada hujan-hujanan gitu. Gue pikir lo kenapa-kenapa. Tadi gue telpon kantor lo, katanya lo udah pulang. Gue jadi makin bingung.”
“Lo kenapa sih, Sa?”
“Gue khawatir! Lo pikir gue gak bakal khawatir kalau orang yang gue sayang gak ada kabar ketika gue yang minta dia untuk nemuin gue?” Jawabnya.
Seketika aku terdiam. Berusaha mencerna kata-katanya. Aku pikir otakku sudah membeku. “Dia bicara apa tadi? Khawatir? Orang yang dia sayang? Siapa? Gue?” Tanyaku dalam hati.
“Gue gak lagi bercanda, gue serius. Gue khawatir sama lo. Gue sayang sama lo!” Jawabnya seakan mampu membaca pikiranku.
“Lo bisa baca pikiran gue?”  Tanyaku, yang ia jawab hanya dengan senyum.

0 komentar:

Posting Komentar

 

cinderlila's diary Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template